Rayna Sasa Revalia, gadis dengan karakter blak-blakan, humoris, ceria dan sangat aktif. Dia harus meninggalkan orang tua serta kehidupan sederhananya di kampung karena sebuah kesialan sendiri yang men-stransmigrasikan jiwa gadis itu ke dalam sebuah karakter novel.
Sedih? Tentu. Namun ... selaku pecinta cogan, bagaimana mungkin Rayna tidak menyukai kehidupan barunya? Masalahnya, yang dia masuki adalah novel Harem!
Tapi ... Kenapa jiwa Rayna harus merasuki tubuh Amira Rayna Medensen yang berkepribadian kebalikan dengannya?! Hal terpenting adalah ... Amira selalu di abaikan oleh keluarga sendiri hanya karena semua perhatian mereka selalu tertuju pada adik perempuannya. Karena keirian hati, Amira berakhir tragis di tangan semua pria pelindung Emira—adiknya.
Bagaimana Rayna menghadapi liku-liku kehidupan baru serta alur novel yang melenceng jauh?
~•~
- Author 'Rayna Transmigrasi' di wp dan di sini sama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Koleksi Cogan
Rayna mengikuti Emira keluar kamarnya. Ini kali pertamanya Rayna keluar kamar setelah ia bangun kemarin. Sepanjang jalan, mulut Rayna terbuka dengan mata memandang takjub seisi rumah. “Mir, ini rumah kita?”
“Iya, Kak. Rumah siapa lagi?” Emira sudah tidak aneh dengan pertanyaan kakaknya. Ia hanya menganggap kakaknya tidak mengingat. Semalaman ia menangis mengetahui kakaknya tidak mengingat apa-apa. Walaupun hatinya masih sedih, ia yakin kakaknya pasti akan mengingat kembali.
Setelah menuruni tangga, mereka sampai di meja makan yang sudah terdapat semua keluarganya dengan sarapan yang sudah tersaji. Emira yang biasanya menyapa, kini duduk tanpa menatap maupun menyapa mereka. Lalu menoleh ke arah Rayna yang masih bingung. Emira tersenyum menepuk kursi di sampingnya. “Kak, di sini.”
Rayna mengangguk. Dengan patuh duduk dengan kepala tertunduk. Suasana hening. Rayna mengangkat kepalanya mendapati semua mata menatapnya. Gue lakuin kesalahannya, ya?
Rayna tidak menyadari betapa beda penampilannya sekarang. Tentu saja orang tua dan kedua kakaknya kaget. Biasanya, penampilan Amira selalu suram dengan rambut tergerai dan poni menutupi matanya yang cantik. Tapi, penampilan Rayna sekarang terlihat cerah. Rambut di kuncir kuda menampilkan setengah leher yang tertutupi kerah. Poni di keningnya terlihat imut.
Emira tidak mengatakan apa-apa. Biasanya ia akan mencium satu persatu pipi keluarganya. Namun, saat ini dia terlihat tanpa ekspresi bahkan tanpa menyapa mereka. Suasana hening menjadi canggung, tapi tidak dengan Rayna, gadis itu menatap sarapan orang kaya di hadapannya. Roti, beberapa macam selai, dan lainnya.
“Gak ada gorengan, ya?” Gumaman Rayna terdengar jelas di keheningan. Semua mata menoleh lagi dengan heran.
“Sejak kapan lo suka gorengan?” Alveno—kakak kedua dari Amira bertanya seraya mengerutkan kening.
Rayna menatapnya sambil berpikir. “Sejak gue lahir kali.”
Kerutan Alveno semakin dalam. Ia merasa aneh semenjak adiknya bangun, seakan dia menjadi orang lain. Tapi ia tidak mau tahu, atau lebih tepatnya gengsi. Alveno diam tanpa berbicara lagi.
“Kakak mau gorengan?” tanya Emira.
Rayna menggeleng. “Eh, gak usah. Gue Cuma becanda, kok.” Tapi gue beneran pengen, batinnya. Walaupun tidak setiap hari, Rayna sangat suka dengan gorengan. Ia selalu memakan makanan berminyak itu sebelum berangkat sekolah.
Emira mengangguk. Mereka mulai sarapan dengan suasana tidak enak. Emira mengambilkan sebuah roti yang sudah di isi selai cokelat kesukaan kakaknya. Rayna menerimanya dengan senang hati. Untung ia juga sangat suka cokelat. Saat memakannya, mata Rayna melebar. Hmm, enak juga.
Rayna makan tanpa memperdulikan suasana. Tidak seperti keluarga biasanya, karena tidak ada kehangatan sedikit pun. Biasanya Emira yang akan membawa kehangatan itu, tapi hari ini Emira sangat pendiam kecuali dengan Rayna. Orang tuanya ingin bertanya tentang sebab kemarahan Emira semalam, tapi mereka merasa waktunya tidak tepat.
Satu persatu orang pergi setelah menyelesaikan sarapan. Kedua kakak lelaki Amira selalu dingin, seakan bujukan mereka ketika Rayna nangis kemarin hanya ilusi. Galih—kepala keluarga Medensen, menghela nafas dengan keadaan keluarganya. Apalagi putri bungsunya yang lebih dingin pagi ini.
Emira menyelesaikan sarapannya. Lalu menoleh ke samping menatap kakaknya yang masih asik makan. Lantas bertanya. “Belum selesai, Kak?”
Rayna menoleh dan tersenyum malu. Setelah menelan kunyahan roti di mulutnya, Rayna mengangguk dengan enggan. “Udah, kok. Ayo berangkat!”
“Beneran udah?”
Rayna mengangguk lagi. “Em.”
Emira tersenyum. “Ya udah, ayo.”
Keduanya beranjak. Kedua orang tua mereka belum beranjak dari meja makan. Rayna berputar menghampiri kedua orang tua barunya membuat ketiganya memperhatikannya dengan bingung. Rayna menyodorkan tangannya ke arah Galih yang belum bereaksi. Gadis itu tersenyum manis dan berkata. “Salim, Papah.”
Galih tertegun, begitu pula Alisa—ibu kandung Amira yang duduk di samping Galih. Dengan kaku Galih mengulurkan tangannya. Rayna mengambil dan mencium punggung tangannya. Lalu Rayna menghampiri Alisa dan melakukan hal sama tanpa menunggu Alisa memberikan tangannya. Rayna mengambil tangannya dan menciumnya.
Ketika kedua kakak Amira turun, mereka di sambut dengan pemandangan ini. Langkah mereka berhenti. Tentu saja reaksi mereka sama. Walaupun Rayna selalu mereka abaikan, dia tidak akan berinisiatif mendekati mereka. Apalagi mencium tangan kedua orang tuanya. Mencium kedua tangan orang tua di kalangan keluarga kaya manapun hampir punah. Anak-anak mereka hanya berpamitan lalu pergi. Walaupun Emira selalu sopan dan mencium pipi keluarganya, tapi dia sangat jarang mencium kedua tangan orang tuanya yang merupakan penghormatan terbesar.
Emira merasa malu, begitupula Alvano dan Evando—kakak tertua Amira. Ketiganya tiba-tiba menghampiri Galih dan Alisa. Dengan canggung melakukan hal sama seperti yang Rayna lakukan. Kedua orang itu yang masih belum bereaksi, menatap kosong ketiga anaknya yang mengambil dan mencium tangan mereka. Mereka merasa hangat dan tersanjung, namun di sisi lain ada penyesalan kepada Rayna.
Rayna hanya tersenyum. Lalu memegang lengan Emira. “Pah, Mah, Rayna sama Emira pamit dulu, ya!” Tanpa menunggu tanggapan mereka, Rayna menarik tangan Emira.
Bingung dengan rumah besar itu, langkah Rayna berhenti membuat Emira ikut berhenti. Rayna membalikan badannya menatap Emira malu. “Jalan keluarnya ke mana?”
Emira menganga. Lalu tertawa kecil. Berganti posisi ia yang menarik tangan kakaknya. “Ikut aku.”
Rayna mengangguk dan mengikutinya. Mereka keluar rumah dan menghampiri sebuah mobil yang sudah siap. Mereka memang selalu bersama ketika pergi ke sekolah, tapi Amira jarang mengobrol dengan Emira sepanjang jalan. Sedangkan Alveno membawa mobil sendiri, begitu pula Evando ke universitasnya.
Rayna tercengang lagi. Bukan hanya karena mobil, tapi karena betapa megahnya rumah keluarga Medensen dari luar. “Kita naik mobil?”
Emira tertawa. “Iya, Kakak. Gak mungkin ‘kan kalo jalan kaki? Sekolah kita lumayan jauh, lho.”
Rayna mengangguk kosong. Ia masuk setelah seorang supir membukakan pintu untunya. Ia tak pernah menaiki mobil, motor pun sangat jarang. Rayna selalu jalan kaki ke sekolahnya. Setelah sopir menyalakan mobilnya, mobil mulai berjalan santai.
Sepanjang jalan, Rayna menatap keluar jendela. Ia sungguh tak percaya, dunia ini adalah dunia novel, kehidupan, tempat, semuanya nyata. Sepanjang jalan juga, Emira memberitahu tentang sekolahnya. Jumlah kelas, estrakulikuler, pembelajarannya, dan letak kelas kakaknya itu.
Rayna mendengarkan dengan serius. Ia sudah membayangkan bagaimana sekolah yang Emira ceritakan. Apalagi jumlah kelas setiap tingkatan. Sangat banyak. Bahkan beberapa lipat lebih banyak dari sekolah di dunianya dulu.
Mereka sampai setelah kurang dari 20 menit perjalanan. Emira keluar, tapi tidak mendapati kakaknya keluar mobil. Emira menunduk menatap kakaknya yang masih linglung di dalam. “Kak? Ayo, keluar.”
“Gue gak bisa bukain mobilnya.” Rayna mencicit.
“Hah?” Emira melongo. “Bahkan kakak lupa cara buka mobil?” Rayna mengangguk malu.
Emira di buat geleng-geleng kepala. Sedangkan si sopir bingung mendengarnya. Dia berjalan memutar dan membuka pintu dari luar seraya berkata. “Ayo.”
Rayna keluar setelah menyampirkan tas dibahunya. Setelah Emira berpamitan dengan supir, mereka berdua mulai berjalan beriringan. Hanya saja, keduanya harus berpisah karena kelas yang beda. Untungnya Emira sudah menjelaskan, jadi Rayna tidak perlu di antar.
Rayna tercengang dengan mata terbuka lebar melihat sekolahnya yang seperti hotel bintang 5. “Innalillahi, ini beneran sekolah gue?” gumamnya tidak percaya. Rayna berdiri mematung dengan ekspresi melongonya yang tidak berubah menatap gedung sekolah. Para siswa yang melewatinya menatapnya aneh.
Bruk!“Aw!” ringis Rayna kesakitan meraba bahunya yang ditabrak dari belakang. Melihat si penabrak berlalu begitu saja, Rayna langsung marah dan jengkel.
“Hei! kamu! Punya mata ga? Jangan asal tubruk atuh! Ga tanggung jawab lagi! Dasar onta arab!” marah Rayna dengan logat sundanya menunjuk seorang cowok jangkung yang berada di depan beberapa meter darinya.
Langkah cowok itu berhenti. Ia berbalik ke arah Rayna. Mata Rayna terbelalak. Kepercayaan dirinya dan keberaniannya hilang. Rayna langsung menciut dengan bulu kuduk berdiri melihat tatapan dinginnya. Kenapa ni cowok ganteng pisan? Kalo matanya gak nyeremin gitu, udah gue terkam tu cogan.
Rayna gelagapan, “Gu-e gak pa-pa kok, Bang. Jangan khawatirin gue. Lanjutin aja jalannya. Hehe ….”
Mata cowok itu menyipit tajam memerhatikan Rayna. Lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya.
Melihat punggung dinginnya, keberanian Rayna datang kembali. Tapi bulu kuduknya masih berdiri. “Hmmp! Awas lo, gak bakal gue daftarin ke dalam koleksi cogan gue.”
Rayna berjalan seraya terus menerus menggerutu. Sesekali mengutuk cowok yang menabraknya itu ketika merasakan bahunya sakit.
biar flashback
kok pindah NT?😅