Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pencarian
Di sebuah kamar bernuansa hitam putih, terdapat seorang lelaki tampan dengan wajah dingin tengah menatap langit-langit kamarnya. Ia terlihat memakai baju basketnya yang berkeringat karena beberapa menit lalu dia baru saja pulang dari sekolah.
Ting! Suara notifikasi ponsel di samping membuatnya mengalihkan pandangan ke benda pipih itu. Lalu, dia membuka grup dengan teman-temannya yang terdapat pesan baru.
...WhatsApp...
...Radhit Adinata mengganti nama Grup menjadi 'Barisan Cowok Gans'...
Radhit Adinata
| Oy! Keren gak nama grup yang gue bikin?
Rafka Aprilio A.
| B aja.
Deva Aldwin
|'2
Alvin vio P.
|'3
Radhit Adinata
|Ah! Pada gak asik lo pada!
Dilihat 4
Ravael Revano A.
| Bro! Bisa bantuin gue, gak? Genting nih! Tolong cariin Adek gue. Dia belum pulang nyampe sekarang! Teleponnya juga gak diangkat.
Deva Aldwin
|Serius lo?
Radhit Adinata
|Si Alena?! Kuy, lah. Berangkat!
Rafka Aprilio A.
|Gue jalan.
Alvin vio P.
|Kumpul dulu gak?
Ravael Revano A.
|Gue serius, njir.
|Kita kumpulnya di rumah gue aja
^^^ Dilihat 5^^^
Setelah melihat pesan teman-temannya, Andreas menyimpan ponselnya nya di samping, lalu menundukkan badannya yang sempat rebahan. Andreas tengah memikirkan gadis yang dibicarakan di grup teman-temannya.
Dia ... gadis cantik yang cukup lugu. Pertama kali bertemu, dia di beri pelototan gadis itu. Sikapnya sangat alami tanpa kepura-puraan. Dia tidak tahu apa yang membuatnya terkejut, sehingga mata almond nya melotot lucu ketika mendengar namanya. Memikirkan itu, membuatnya terkekeh. Tidak ada yang bisa mendengar suara kekehannya yang jarang terdengar.
Lalu Andreas beranjak ke kamar mandi bersiap-siap untuk ikut berkumpul bersama teman-temannya.
Setelah 15 menit, Andreas keluar dengan kaus hitam dan celana panjang dalam keadaan segar dengan handuk di pundaknya. Dia memeriksa kembali benda pipih itu yang tergeletak di atas kasur
...WhatsApp...
...Barisan Cowok Gans...
Ravael Revano A.
|Btw, tadi adek gue sempet ngangkat telepon gue, katanya dia lagi di rumah temannya, tapi teleponnya langsung mati sebelum dia sebutin alamat itu. Tadi, sopirnya udah pulang, dia bilang Alena main di alamat rumah si Audrey. Tapi, waktu gue periksa ke sana, dia udah gak ada. Alena udah pulang sendiri kata satpamnya.
| Gue minta tolong dan gercep buat cariin adek gue! Gak usah ke sini dulu. Udah malem banget, dia belum sampe di rumah! Sorry ngerepotin!
Dilihat 5
Andreas dengan cepat mengambil jaket hitam kebiruan yang ia gantung dan mengenakannya. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar kamar. Setelah membuka pintu, langkahnya terhenti. Di depan pintu kamarnya, terdapat seorang wanita paruh baya yang masih cantik yang sepertinya bersiap untuk mengetuk pintu, sehingga tangannya tergantung di udara.
Awalnya, wanita itu sedikit terkejut dengan pintu yang sudah terbuka terlebih dahulu,alu dengan cepat memulihkan ekspresinya menjadi senyuman hangat.
Tapi, tidak dengan Andreas. Ekspresinya sangat dingin. "Ada apa?"
Wanita di depan Andreas sedikit kewalahan dengan sikap dinginnya. Namun, ia tetap mempertahankan senyum ramah di bibirnya. "Oh, i-tu ... tadi Ayah kamu nyuruh makan malam dulu di bawah. Ibu udah nyiapin makanannya."
"Maaf, Anda bukan Ibu saya. Dan ...," tekannya menatap wanita itu tajam. "... tolong minggir. Jangan ngehalangin jalan gue."
Dengan kaku dia melangkah ke samping untuk memberi jalan. Setelah wanita itu menyingkir, Andreas pergi setelah menutup pintu kamarnya.
Luntur sudah senyuman hangat dan ramah wanita paruh baya itu. Tangannya terkepal, giginya menggertak. Dia berusaha sabar dan menyusul anak angkatnya itu.
Setelah Andreas sampai di bawah, dia melewati meja makan yang terdapat seorang gadis seusianya, di sana juga ada ayahnya yang terlihat geram.
"Andreas!" panggil ayahnya tegas.
Andreas menghentikan langkahnya dan menoleh acuh tak acuh.
Pria di meja makan itu semakin geram. "Cepat! makan! Ibu dan adik kamu sudah kerja keras masakinnya! Sekali aja hargai, bisa gak?!"
"Gak pa-pa, Mas. Mungkin Andreas lagi buru-buru." Suara lembut dan hangat wanita yang baru saja datang dari arah kamar Andreas, sedikit menenangkan pria yang marah itu.
"Denger baik-baik, Ayah. Andreas gak punya Ibu dan adik kayak mereka! Ibuku cuma Mamih!" tukas Andreas penuh penekanan, namun itu cukup mencubit hati pria itu.
Amarahnya semakin memuncak. Nada suaranya menjadi lebih tinggi. "Andreas! Jangan omong kosong, kamu! Dia Ibumu sekarang!"
Dia berdiri sehingga tak sengaja menyenggol meja membuat makanan yang ada di meja sedikit tumpah. Gadis yang duduk di meja itu berjengit kaget, tapi tetap diam.
"Cih," decihnya mengernyit jijik menatap bergantian kedua ibu anak di sana.
Andreas langsung keluar dari rumah menyebalkan itu. Ia berjalan menuju motor kesayangannya yang jarang terpakai, karena ia terbiasa memakai mobil.
Setelah memakai helm full face-nya, dia mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata untuk melampiaskan amarah terhadap orang-orang di rumah. Dia lupa tujuannya, dia hanya ingin menenangkan pikiran.
Hari sudah gelap. Dia sempat melewati rumah sahabat kecilnya. Hanya berhenti sebentar, dan menoleh ke rumah besar itu. Tidak tahu apa yang dipikirkan, lalu dia melanjutkan perjalanan.
Ketika dia melewati jalan yang lumayan sepi, Andreas melihat seseorang di halte duduk sendirian sambil memegang kakinya. Dia kurang percaya dengan makhluk halus, namun karena rasa penasaran, dia menghentikan motornya di depan sosok itu.
Gadis itu mendongak terlihat terkejut. Andreas teringat pesan di grup, dan sekarang Andreas melihatnya dengan jelas, apalagi motif seragamnya. Rambut yang biasa di ikat sedikit berantakan, raut wajahnya terlihat takut dan lelah.
Tapi untuk memastikan lagi, Andreas membuka suara dengan ragu. "Alena?"
Dia terlihat was was. Andreas semakin yakin. Lalu, ia membuka helmnya dan turun dari motor untuk menghampirinya.
"Alena? Lo ngapain duduk diem disini malem-malem?" tanyanya pura-pura bingung.
Wajah lelahnya terlihat heran. "Andreas?"
"Iya, ini gue. Lo ngapain di sini?"
Alena menghela nafas lega. "Aku gak tau, tapi kayaknya kesasar, deh. Ponsel aku mati, terus gak ada taksi lewat. Jadi ... aku jalan lama dan duduk disini kecapean," celotehnya lesu.
" ... aku udah cape banget, Andreas. Jadi ... boleh gak aku numpang buat pulang?" lanjutnya bertanya sedikit mengeluh.
Meskipun malu, Alena benar-benar tak punya pilihan. Ia tak peduli dan melupakan siapa Andreas, keletihan menyerangnya saat ini. Alena terlihat memijat-mijat kakinya, membuat Andreas simpati, namun menahan tawa.
Melihat keterdiaman Andreas, Alena cemas dia menolak, namun ia juga merasa malu, canggung, dan lesu. "Boleh, ya, boleh? Nanti aku bayar, deh."
Runtuh sudah wajah datar Andreas, dia menahan image-nya untuk tidak tertawa lepas, jadi hanya kekehan yang terdengar.
"Eh, kok malah ketawa, sih!"
Andreas berdehem menghentikan kebodohannya. "Heh, emang gue tukang ojek? Gue emang sengaja nyari lo disuruh Ravael."
"Kak Ravael?" tanya ulang Alena mengerutkan kening.
Andreas membalas dengan dehaman.
Setelah bereaksi, Alena tersenyum semringah "Ah! Aku sayang kak Rava!"
Sungguh hangat hati Alena. Ia yakin, pasti kakaknya itu mencarinya dengan segala cara, namun tak menduga akan sampai menyuruh Andreas.
Andreas sedikit terkejut dengan teriakan dan perubahan ekspresinya, namun dengan cepat kembali semula.
"Kalo gitu, ayo! pulang!" pekik Alena semangat
Saking tidak sabarnya, Alena melewati Andreas untuk mendekati kotor itu. Ekspresinya terlihat mendesak.
Andreas entah harus berekspresi bagaimana, ia terdiam kaku di tempat.
"Andreas! Cepet!”
Andreas menghela nafas sabar. Apa gadis itu lupa bahwa dia hanya menumpang?
Ia berjalan mendekat dan naik untuk duduk serta mengenakan helmnya sendiri. Saat menoleh, Andreas melihat Alena bengong. "Apa?"
"Helm buat aku mana?" tanyanya polos.
Andreas menepuk jidatnya yang sudah tertutup helm. "Gak ada," singkatnya cuek.
"Yaaah ...." Alena mendesah kecewa.
"Cepet, naik. Mau pulang gak?"
Alena dengan tergesa langsung menaiki motor itu sedikit kesusahan.
Andreas yang melihat itu, menghela nafas jengkel. Dia kembali turun. Dengan santai mengangkat ringan pinggang Alena dan mendudukkannya ke atas motor membuat orang yang diangkat melotot kaget seraya memekik. "Andreas!"
Tapi, tidak Andreas hiraukan, namun dia hanya tersenyum kecil. Lalu, setelah menaikinya kembali, ia melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata. Alena mendengus sebal.
Akhirnya, mood gue membaik, batin Andreas.
Tidak ada yang bicara selama perjalanan. Alena hanya fokus melihat jajanan di pinggir jalan, membuatnya menelan ludah. Lalu, menyentuh perutnya yang keroncongan.
Sedangkan, Andreas menatap fokus ke depan. sekali-kali, melihat spion yang terdapat ekspresi Alena yang kelaparan.
Bisa ia dengar suara perut Alena, membuatnya tertawa geli tanpa Alena tahu. Dia tidak mau menawarkan. Dia hanya menunggu, apakah Alena akan memintanya sendiri. Dan benar saja ...
"Andreas," panggilnya di dekat telinga kiri Andreas yang tertutup helm.
Tangannya menepuk pelan pundak cowok itu, tapi matanya berkeliaran melihat jajaran pedagang makanan yang terlewati di pinggir jalan
"Hm," sahutnya berdehem, namun masih terdengar ke belakang.
"Ayo, mampir dulu," ajak Alena antusias
Andreas mengangkat alis. Pura-pura tidak tahu. "Mampir kemana?"
"Ke rumah makan, hehe," jawab Alena menyengir.
"Oke."
Andreas tidak sadar, malam ini dia banyak tersenyum. Dia tidak sadar, bahwa dia menuruti apa yang Alena katakan. Dia tidak sadar, bahwa dia banyak bicara. Bahkan, dia tidak sadar, dia melupakan semua masalahnya.
***
Alena mengajak Andreas untuk memakan makanan di tepi jalan. Awalnya, cowok itu menolak karena tidak 'higienis' katanya, tapi Alena tetap bersikeras yang di akhiri kekalahan Andreas.
Alena memakan lahap baksonya yang sudah dipesan beberapa menit yang lalu. Walaupun di kantin sekolah juga terdapat bakso, tapi ini berbeda. Di sekolah lebih mahal dan terjamin kebersihannya.
Andreas terdiam hanya memerhatikan Alena. Yang diperhatikan, tidak peduli. Bukan, bukan Alena yang Andreas tatap, tapi baksonya. Dia cukup tergiur melihat dan mencium makanan itu. Apalagi, dia belum sempat makan. Gengsi.
Alena mendongak, lalu tersenyum kemenangan dengan kuah yang belepotan di sekitar mulutnya. "Mau?" tawarnya seraya menyodorkan satu bakso kecil.
Andreas memalingkan muka, lalu menghela nafas meruntuhkan gengsinya. "Bang! Satu mangkuk lagi!" pinta Andreas sedikit berteriak yang di balas hormatan di jidat si tukang bakso.
Alena yang mendengar itu, tertawa. "Huh! makannya, jangan gengsi-gengsi kalo lapar," celetuknya mengejek.
Andreas mendengus.
"Oh ... jadi, kalian enak-enakan makan bakso di sini? Sedangkan kita berkeliling hampir dua jam nyari orang yang nikmatin bakso?"
Ucapan lembut mengandung kekesalan seseorang membuat keduanya menoleh dengan kaget.
Alena dan Andreas menoleh berbarengan ke arah samping. Di sana, sudah ada lima lelaki dan satu perempuan, mereka sama-sama berkacak pinggang berwajah menyeramkan membuat Alena dan Andreas menelan ludah.