NovelToon NovelToon
MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu Cantik

Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.

Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.

Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bagian 14

Malam turun pelan di kota. Lampu-lampu gedung menyala satu per satu, memantul di kaca jendela apartemen. Bianca baru saja selesai membersihkan diri ketika ponselnya bergetar di atas meja.

Nama Mama Hanum tertera di layar.

Bianca menghela napas sebentar sebelum mengangkat panggilan itu. Ia sudah bisa menebak nada di balik telepon tersebut.

“Assalamualaikum, Nak,” suara Mama Hanum terdengar lembut, tapi jelas diselipi kekhawatiran.

“Waalaikumsalam, Ma,” jawab Bianca hangat. “mama apa kabar?baru sehari ga ketemu aku udah kangen.”

“Kamu gimana? Dewa baik-baik saja?” tanya Mama Hanum tanpa basa-basi.

Bianca tersenyum kecil, meski Mama Hanum tidak bisa melihatnya.

“Aku baik, Ma. Semua aman terkendali.”

Kalimat yang rapi. Terlalu rapi untuk sebuah kebenaran utuh.

Di seberang sana, Mama Hanum terdiam sejenak. Lalu ia berkata pelan, “Mama tahu Dewa keras. Mama tahu dia belum bisa menerima keadaan.”

Bianca duduk di tepi sofa, punggungnya bersandar, menatap lampu kota di kejauhan.

“Tapi Mama percaya sama kamu, Bianca,” lanjut Mama Hanum. “Kamu satu-satunya yang bisa bikin Dewa sadar.”

Jantung Bianca mencelos.

Ia tidak menjawab.

“Sejak kecil, Dewa selalu dengar kamu,” suara Mama Hanum bergetar. “Mama mohon… jangan menyerah hadapi Dewa. Jangan tinggalin dia.”

Bianca menggigit bibirnya. Tangannya mengerat di atas pangkuan.

“Ma…” suaranya hampir tak terdengar. “Aku juga manusia,kalau aku capek aku bakalan berhenti.”

Mama Hanum terisak pelan. “Mama tahu. Tapi Mama nggak punya siapa-siapa lagi.”

Kalimat itu jatuh seperti beban yang tidak diminta, tapi terpaksa dipikul.

Bianca memejamkan mata.

“Iya, Ma,” katanya akhirnya. “Aku akan berusaha.”

Mereka terus berbincang tentang hal-hal kecil, tentang masa kecil Bianca dan Sadewa, tentang rencana Mama Hanum yang ingin datang ke kota. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu lama hingga suara Mama Hanum mulai melemah.

“Sudah malam, Nak. Istirahat ya,” ujar Mama Hanum.

“Iya, Ma. Mama juga.”

Telepon terputus.

Bianca menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum meletakkannya perlahan. Dadanya terasa penuh, bukan oleh cinta, melainkan oleh harapan orang lain yang disematkan padanya harapan yang tidak pernah ia minta.

Ia berdiri, berjalan ke meja kerja kecil di sudut ruang tamu. Bianca membuka laptopnya, layar menyala menampilkan file proyek yang belum selesai.

Inilah dunianya.

Satu-satunya hal yang masih bisa ia kendalikan.

Bianca merapikan rambutnya, membuka dokumen desain, dan mulai bekerja. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, pikirannya tenggelam dalam detail garis dan konsep ruang.

Di tengah sunyi apartemen, Bianca bekerja bukan hanya untuk kliennya, tapi untuk dirinya sendiri.

Karena jika ia berhenti sekarang, ia tahu ia akan tenggelam.

Dan Bianca Kartika tidak pernah dibesarkan untuk menyerah, meski ia sedang menjadi istri yang tidak diinginkan, dan harapan bagi terlalu banyak orang.

 

Pintu apartemen terbuka pelan.

Sadewa masuk dengan langkah berat. Jasnya sudah dilepas dan disampirkan sembarang di lengan, dasinya menggantung longgar di leher. Wajahnya lelah bukan hanya oleh pekerjaan, tapi oleh hari yang terus menggerus kesabarannya sejak pagi.

Lampu ruang tamu menyala redup.

Sadewa menghentikan langkahnya saat melihat sosok di meja kecil dekat jendela.

Bianca.

Ia tertidur dengan kepala sedikit tertunduk, rambutnya menutupi sebagian wajah. Laptop di depannya masih menyala, menampilkan layar desain yang belum disimpan. Tangan Bianca terlipat di samping keyboard, tubuhnya diam dalam posisi yang tidak nyaman.

Sadewa berdiri beberapa detik, menatap tanpa bergerak.

Ada sesuatu yang mencubit dadanya sesuatu yang tidak ingin ia beri nama.

Ia mendekat perlahan. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Sadewa menghela napas pendek, lalu menekan tombol sleep pada laptop itu, memastikan pekerjaan Bianca tersimpan sebelum menutup layarnya.

Ia ragu sejenak.

Kemudian, dengan gerakan hati-hati, Sadewa menunduk dan menyelipkan satu lengannya di punggung Bianca, satu lagi di bawah lututnya. Tubuh Bianca ringan, jauh lebih ringan dari yang ia kira.

Bianca sedikit menggeliat, mengerang pelan. “Dewa…” gumamnya lirih, masih terjebak di antara sadar dan tidur.

Sadewa menegang seketika.

Ia tidak menjawab.

Dengan langkah perlahan, Sadewa membawa Bianca menuju kamar tamu. Setiap langkah terasa lebih berat dari biasanya bukan karena tubuh Bianca, tapi karena perasaan asing yang muncul tanpa izin.

Di dalam kamar, Sadewa menurunkan Bianca ke atas ranjang dengan hati-hati, memastikan kepalanya tidak terbentur. Ia merapikan posisi tubuh Bianca, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.

Bianca bergerak kecil, menarik selimut itu lebih erat tanpa membuka mata.

Sadewa berdiri di samping ranjang beberapa saat, menatap wajah Bianca yang tertidur. Wajah yang tenang. Wajah yang tidak menuntut apa pun.

Untuk pertama kalinya malam itu, Sadewa merasa… lelah dengan kebenciannya sendiri.

Ia berbalik hendak pergi, tapi berhenti sejenak. Tangannya hampir terulur untuk menyingkirkan rambut Bianca dari keningnya namun ia mengurungkan niat itu.

Sadewa melangkah keluar kamar, menutup pintu dengan pelan.

Di balik pintu tertutup itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ada satu tindakan kecil yang tidak tercantum dalam kontrak.

Dan mungkin, tidak ingin ia akui.

 

Bianca terbangun dengan perasaan aneh.

Ia menatap langit-langit kamar tamu yang asing namun kini terasa sedikit lebih akrab. Selimut menutupi tubuhnya dengan rapi terlalu rapi untuk ukuran dirinya sendiri yang biasanya tertidur tanpa sadar.

Alisnya berkerut.

Semalam… bukankah ia tertidur di ruang tamu?

Bianca bangkit perlahan, menurunkan kaki ke lantai. Tidak ada rasa pegal di leher atau punggung seperti biasanya jika tertidur di kursi. Ia menggeleng kecil, mencoba mengusir kebingungan itu.

Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Bianca melangkah ke dapur dengan rambut masih setengah basah.

Aroma kopi menyambutnya.

Sadewa berdiri membelakangi meja makan, mengenakan kemeja santai berwarna gelap. Di tangannya ada cangkir kopi hitam. Gerakannya tenang, seolah pagi ini tidak berbeda dari pagi-pagi sebelumnya.

Bianca berhenti beberapa langkah darinya.

“Oh… kamu sudah bangun,” ucap Bianca pelan.

Sadewa menoleh sekilas. “Hm.”

Bianca duduk di kursi, tangannya bertumpu di meja. Ia menatap Sadewa beberapa detik, ragu, lalu bertanya dengan wajah polos yang sama sekali tidak menyimpan kecurigaan.

“Dewa… semalam kamu yang mindahin aku ke kamar?”

Tangan Sadewa yang memegang cangkir kopi berhenti sejenak sangat singkat, nyaris tak terlihat.

“Aku nggak lihat kamu di ruang tamu semalam,” jawabnya cepat, terlalu cepat. “Waktu aku pulang, apartemen kosong.”

Bianca terdiam.

“Oh…” katanya pelan, lalu mengangguk kecil. “Berarti sebelum tidur aku ke kamar sendiri ya.”

Sadewa tidak menjawab. Ia menyesap kopinya, memalingkan wajah ke jendela.

Bianca berdiri, mengambil roti dari lemari. “Mau aku bikinin sarapan?,” katanya ringan.

“Nggak usah,” sahut Sadewa singkat. “Aku sudah makan.”

Bianca mengangguk lagi, tidak mempermasalahkan.

Ia menyalakan pemanggang roti untuk dirinya sendiri, sementara Sadewa menyelesaikan kopinya dalam diam. Tidak ada percakapan lanjutan. Tidak ada kehangatan. Tapi juga tidak ada pertengkaran.

Saat Sadewa berjalan kembali ke kamarnya, Bianca memperhatikannya sebentar.

Ada sesuatu yang ganjil… tapi ia memilih tidak menggali.

Karena kadang, kepolosan adalah cara bertahan terbaik.

Di dalam kamar, Sadewa menutup pintu dan bersandar di sana. Ia menghela napas panjang, dadanya terasa penuh.

Ia berbohong.

Dan entah kenapa, kebohongan kecil itu terasa lebih berat daripada semua kemarahannya kemarin.

 

1
Dewi Susanti
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!