NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24: Pertunangan Ryan & Raya

...15 menit kemudian ......

Setelah keempat orang tersebut selesai makan, kini Raya, Ryan, Liu, dan Rudianto duduk di ruang keluarga yang megah. Ruangan itu berukuran luas dengan dominasi warna krem dan cokelat tua. Sofa berbahan kulit asli dengan bantal empuk tersusun rapi di tengah ruangan, mengelilingi meja kaca yang dihiasi vas bunga segar. Lampu gantung kristal besar menggantung di langit-langit, memberikan cahaya hangat yang membuat suasana terlihat elegan.

Dinding ruangan dipenuhi foto keluarga dalam bingkai emas, menunjukkan keharmonisan yang terlihat sempurna. Aroma harum kayu manis dari diffuser ruangan tercium lembut, membuat suasana terasa nyaman meskipun hati Raya penuh kecemasan.

"Papa ingin membicarakan apa? Apa ini soal pernikahan, sama seperti yang Mama katakan kemarin?" tanya Ryan dengan nada tegas, memecah keheningan. Wajahnya tampak serius, dengan tatapan yang tajam.

"Iya, kamu sudah paham, Ryan, jadi kami tidak perlu menjelaskan lagi kepadamu. Dan kamu, Raya, Om ingin bertanya beberapa hal," ujar Rudianto sambil duduk tegap di sofa, tatapannya tertuju langsung pada Raya.

"Ya, Om?" sahut Raya, berusaha bersikap santai meskipun hatinya bergemuruh. Tangannya yang berada di pangkuan bergetar halus.

"Di mana orang tuamu sekarang? Apa mereka tahu kalau istri saya ingin kalian menikah secepatnya?" tanya Rudianto dengan nada datar namun penuh wibawa. Raya terdiam sejenak. Matanya menatap lantai marmer yang berkilauan sebelum menjawab dengan suara pelan.

"Aku tidak tahu di mana orang tuaku berada sekarang. Yang aku tahu, mereka ada di suatu tempat yang entah di mana." Pikirannya kembali melayang pada kejadian kelam saat Arka membelinya dengan uang sepuluh juta, hingga akhirnya orang tuanya pergi tanpa jejak.

"Apa pendidikanmu sudah hampir selesai? Apa kamu ingin melanjutkan kuliah lagi?" tanya Rudianto, tampak tidak terpengaruh oleh jawaban sebelumnya.

"Iya, aku akan lulus lebih awal karena nilai-nilai ku cukup bagus. Aku ada niat untuk melanjutkan kuliah, tapi aku lebih tertarik mengejar cita-citaku menjadi seorang penulis," jawab Raya dengan suara mantap.

"Baiklah... Kamu sudah pernah memiliki kekasih?" Rudianto bertanya lagi dengan ekspresi datar. Raya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab.

"Ya, sudah," Jawab Raya pada akhirnya.

"Sampai sekarang masih berhubungan?" lanjut Rudianto tanpa jeda.

"Tidak, kami sudah selesai sejak aku kecil dulu," jawab Raya dengan nada getir.

"Ada hal yang kamu inginkan? Misalnya apa?" tanya Rudianto lagi, kali ini dengan nada yang sedikit lebih lembut.

Raya terdiam, merasakan berat di dadanya. Tidak ada yang ingin dia sampaikan. Semua harapannya terasa kosong. Dia hanya menggeleng pelan, merasa percuma untuk berharap banyak dalam situasi seperti ini. Matanya menatap kosong ke meja, seolah berharap ada sesuatu yang bisa mengalihkan perasaan hatinya yang sesak.

"Baiklah... kalian akan menikah dua minggu lagi, dan untuk orang tuamu, Raya, semua itu urusan kami. Mereka akan datang saat acara dimulai. Dan ya, untuk cita-citamu itu, om pastikan itu akan jadi kenyataan. Kamu tidak perlu bersusah payah ikut dengan temanmu ke-bali untuk mewujudkan semua itu. Om yang akan menyelesaikan semuanya. Kamu bisa hidup tenang dengan putra kami, cukup patuh pada suamimu, dan berikan kami keturunan. Om sudah dengar semuanya dari istri om tentang dirimu," ujar Rudianto dengan suara lembut, namun kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti tajam menusuk.

Terdapat penekanan yang jelas, seolah-olah Raya harus patuh pada Ryan dan keluarga ini, serta memberikan keturunan untuk keluarga Sudrajat agar kehidupannya akan terjamin.Itu lah yang dapat Raya tangkap dari keseluruhan ucapan Rudianto. Sebuah ultimatum yang tak bisa dihindari.

"Ryan akan membahagiakanmu, Raya. Kamu bisa percaya kan padanya?" ujar Rudianto, suaranya terdengar begitu meyakinkan, seolah-olah meyakinkan Raya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Ak... Aku..." ucapnya terbata-bata, suaranya terdengar lemah dan hampir tak terdengar.

"Tante mohon, sayang," ujar Liu, matanya penuh harap, masih kekeh mencoba meyakinkan Raya, seolah ingin menghapuskan semua keraguan yang ada.

"Tante..." Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Raya setelah beberapa saat terdiam.

"Menikahlah dengan ku," ujar Ryan tiba-tiba, sambil menatap Raya dengan tatapan yang datar. Mata Ryan tampak seakan tak memperlihatkan perasaan apapun, seolah ini hanya formalitas.

Raya tahu alasan Ryan mengucapkan kata itu. Ryan sangat tidak suka melihat keluarganya memohon pada siapapun. Itulah kenapa, untuk menjaga harga diri keluarganya, dia menyetujui pernikahan ini tanpa ragu.

Terpaksa... Ya, itulah yang Raya rasakan saat ini. Hatinya bimbang, bergejolak antara perasaan dan kewajiban. Mendengar ucapan Ryan, Raya tahu bahwa semua ini hanya untuk membodohi keluarga Ryan. Begitu juga dengan dirinya, dia merasa tidak jauh berbeda dengan saat itu, saat dia bertunangan dengan Arka hanya untuk membodohi keluarga mereka. Semua ini terulang kembali, dan Raya merasa dirinya terjebak dalam lingkaran yang sama.

"Raya... kamu percaya kan pada Tante? Tante menganggap kamu sebagai anak Tante sendiri sejak hari itu. Tante tidak mungkin kan membiarkan dirimu kembali bersedih?" kata Liu, suara penuh harap, matanya memancarkan rasa kasih sayang yang mendalam. Ia melihat Raya dengan tatapan penuh perhatian, seolah-olah ingin menenangkan hati Raya yang sedang kacau.

"Tante merawat putra Tante dari bayi sampai menjadi pria dewasa seperti dia," lanjut Liu, sambil menoleh dan menunjuk ke arah Ryan, yang duduk di sebelahnya.

"Jadi, apa kamu meragukan didikan Tante? Kamu menganggap Tante ibu kamu kan? Lalu, apa kamu tidak percaya jika didikan ibu mu ini baik?" tanya Liu, yang kini posisinya sudah ada di samping Raya, seolah berusaha menenangkan dan meyakinkan Raya lebih dalam lagi.

"Aku percaya!" ujarnya dengan berat hati, suaranya hampir tidak terdengar.

"Papa sudah menyangka ini akan berhasil, jadi papa sudah menyiapkan cincin pertunangan ini untuk kalian," ujar Rudianto, sambil menyodorkan sepasang cincin pertunangan yang berkilauan di tangan Ryan Cincin itu begitu indah, menyilaukan mata, dan membuat Raya terdiam sesaat. Mungkin, jika semuanya bukanlah sebuah sandiwara, dia akan merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia ini. Tapi, sayang, dia tahu betul bahwa tidak ada yang semudah itu dalam kenyataannya.

"Tanganmu, Raya," ujar Ryan dengan wajah datar. Suaranya tidak menunjukkan emosi apapun, hanya sebuah perintah yang tidak bisa dibantah. Raya terhenyak sejenak, tetapi dengan ragu, dia menyodorkan tangannya pada Ryan, pria yang akan menjadi suaminya itu.

Ryan memakaikan cincin tersebut di jari manis Raya, terlihat dia hanya menatap datar kerah raya tanpa ada sedikitpun ekspresi di wajah tampannya itu.

"Ayo... sekarang giliranmu, sayang! Ryan...." ujar Liu dengan semangat, senyumnya cerah, setelah melihat putra nya memakaikan cincin pada Raya

Raya mengikuti perintah itu, dia pun pun dengan cepat memasangkan cincin yang sama di jari manis Ryan. Liu tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, langsung memeluk dan mencium pipi Raya, sebagai tanda kebahagiaan karena putranya akan segera menikah.

"Mama ingin mengambil foto kalian, mendekatlah," perintah Liu dengan penuh semangat. Tanpa diduga, Ryan langsung mendekat dan merangkul pundak Raya. Ia menatap Liu dengan wajah datar, lalu berkata.

"Ambil lah, Mah."

Dengan senang hati, Liu mengambil beberapa foto dengan pose yang berbeda-beda dari putranya dan calon menantunya. Setiap senyuman yang ditampilkan tampak sempurna di mata Liu, namun bagi Raya, senyum itu terasa kosong dan tidak berarti. Ia hanya bisa tersenyum kecil, merasa terjebak dalam kebahagiaan yang tampaknya palsu, seolah semuanya adalah pertunjukan yang tidak bisa ia hentikan. Di dalam hatinya, Raya merasa seperti sedang berperan dalam drama yang tidak ada habisnya.

"Sudah... terimakasih," ujar Liu, terus tersenyum dengan kebahagiaan yang seakan melimpah, tetapi Raya hanya bisa memalingkan pandangannya, enggan menanggapi kebahagiaan itu.

"Ma, aku akan mengajak Raya keluar, sekadar untuk saling kenal, supaya lebih dekat saja," ujar Ryan, memberikan kode pada Raya lewat cengkraman tangannya pada pundak Raya. Cengkraman nya terasa dingin dan kasar, seolah ia tidak peduli sama sekali dengan perasaan Raya.

Raya yang merasa sedikit canggung, hanya bisa mengangguk pelan, mengiyakan ucapan Ryan. Sementara itu, Ryan melepaskan rangkulannya dengan ekspresi datar, seolah ia hanya melakukan kewajiban, bukan karena ia peduli pada Raya.

"Pergilah... jangan pikirkan apapun tentang masalah pernikahan kalian, itu semua akan menjadi tanggung jawab kami. Kalian bersenang-senang saja," ujar Liu dengan senyum kebahagiaannya yang tampak cerah.

"Terima kasih sudah melakukan ini untukku, Mah," ujar Ryan dengan suara khasnya.

"Iya... sana, pergilah dan jaga Raya baik-baik. Mama tidak ingin terjadi apapun pada calon menantu Mama," ujar Liu dengan penuh perhatian.

•••

Sementara itu di kediaman Arka, suasana terasa menegangkan. Kegelapan malam seolah semakin tebal, menyelimuti setiap sudut ruang yang berserakan barang-barang pecah.

''Akhhhhhhhhhhhhhhh! Sialan, dasar bajingan, berengsek!'' teriak Arka, suaranya membahana di dalam kamar nya yang kini tampak kacau. Barang-barang berhamburan, beberapa vas bunga pecah, dan gelas-gelas pajangan yang tak berdosa terguling ke lantai. Debu-debu tipis berterbangan mengikuti gerakan tangannya yang tak terkendali. Kemarahan Arka menguap ke udara, menciptakan atmosfer yang penuh kekacauan. Di sudut ruangan, layar ponsel yang terjatuh memperlihatkan foto Raya, wajah cantik dan polos yang seakan mengingatkan Arka akan ketidakberdayaannya.

Setelah pulang dari rumah Raya, dan bertengkar hebat dengan Ryan—hingga dirinya sendiri dipukuli oleh Ryan—pria itu kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Arka merasakan darahnya mendidih, pikirannya dipenuhi oleh kekesalan yang meluap-luap. Ia menatap foto Raya di layar ponselnya dengan pandangan yang penuh kemarahan dan hasrat.

''Raya, apapun yang terjadi, lo hanya milik gue! Ga ada yang boleh dapetin lo kecuali gue,'' ujar Arka dengan suara gemetar, matanya tajam, seolah mengancam foto tersebut. Ia meremas ponselnya, hampir menghancurkannya, namun tak bisa menahan tatapan yang penuh nafsu itu.

Arka memang telah jatuh hati pada wanita sederhana seperti Raya. Hal ini terdengar aneh, bahkan tidak masuk akal, tapi itulah kenyataannya. Wanita polos itu berhasil menyihir hatinya, mencuri segala rasionalitasnya, dan membuatnya jatuh cinta dengan caranya yang sederhana. Namun sayangnya, Arka belum berani mengatakan apapun kepada Raya. Alih-alih mengungkapkan perasaannya, ia terus menerus berbuat kasar pada Raya, berharap bahwa dengan begitu, Raya akan tetap tinggal. Tapi kenyataannya, justru yang terjadi adalah ketakutan. Raya takut padanya, bukan karena cinta, melainkan karena ketakutan akan kekerasan yang dilontarkannya.

''Gue mau dia, Tuhan! Kasih dia buat gue!'' teriak Arka lagi, suaranya serak, hampir tidak bisa dikenali.

 Arka mengamuk seperti orang gila, matanya terbeliak, giginya terbaring rapat, dan tangannya menghancurkan semua barang-barangnya dengan kekuatan yang semakin tak terkendali. Dinding rumah yang biasanya terlihat rapi kini dihiasi dengan goresan-goresan tak beraturan akibat kebenciannya yang meluap.

Namun, untungnya, di rumah itu hanya ada dirinya dan beberapa pelayan saja, karena orang tuanya sedang dalam perjalanan bisnis ke luar negeri. Hal itu memang sudah biasa terjadi. Sejak kecil, Arka memang sering ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.

Pria yang memiliki nama lengkap KEVIN ARKANA ini sejak kecil lebih sering diasuh oleh babysitter yang bekerja di sana daripada oleh ibu kandungnya. Pria tampan yang memiliki darah campuran itu bahkan pernah mengalami depresi karena ingin mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Namun, itu sangat sulit karena kedua orang tuanya lebih sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, dan tidak pernah memikirkan apa yang putra mereka inginkan.

Drrrrt... drrrrt... drrrrt...

Di tengah lamunannya tentang masa kecilnya, Arka kembali tersadar saat ponsel yang tadi ia lempar berdering. Ia meraih ponsel itu dengan kesal dan melihat siapa yang meneleponnya.

''Ada apa?!'' ujar Arka tanpa basa-basi, suaranya terdengar datar dan penuh amarah.

''Lo nggak mau ikut party sama kita, Ar? Udah dua minggu ini lo nggak pernah gabung lagi bareng kita, lo lupa apa gimana?'' tanya Arif, salah satu teman dekat Arka yang hanya satu-satunya anggota pria di circle pertemanannya.

''Lo nelpon gue malam-malam gini cuma buat ngomongin hal nggak penting kayak gitu, sialan?'' ujar Arka kesal, mengerutkan kening, dan tampak jelas jika ia sedang tidak mood.

''Ar, lo kenapa sih akhir-akhir ini seolah menghindari kita semua? Ada masalah apa? Lo bisa cerita sama gue, Citra, atau Anna. Jangan tiba-tiba berubah kayak gini!'' ujar Arif dengan nada sedikit khawatir, mencoba mencari tahu alasan perubahan sikap Arka yang tiba-tiba.

''I'm busy... Lo aja sama yang lain, gue nggak bisa datang,'' jawab Arka singkat dan tegas, suaranya terdengar semakin ketus.

''Ar, gue tanya sekali lagi... Lo kenapa jadi menghindari kita gini? Apa ini ada hubungannya sama si Raya itu?'' tanya Arif yang merasa tidak puas dengan jawaban Arka, memicingkan mata, mencurigai ada yang tidak beres.

''Lo nggak usah ikut campur dalam urusan pribadi gue, Rif. Kalau gue bilang gue sibuk, artinya gue sibuk. Kalau lo pada mau party, tinggal party aja, apa susahnya?'' jawab Arka seraya mematikan teleponnya dengan kasar.

''Gimana?,'' tanya Anna yang ada di sebelah Arif, menunggu respon dari Arif, yang tampak ragu.

''Lo denger sendiri barusan... Dah lah, gue pusing denger yang kayak gitu,'' jawab Arif sambil beranjak dari tempat duduknya. Wajahnya tampak kecewa, bingung dengan perubahan sikap Arka yang tiba-tiba berubah begitu drastis.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!