Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LANGKAH BERAT
"Benarkah? Aku tak percaya. Kedatangannya di sini tidak mungkin hanya karena itu saja. Sepertinya dia menyukaimu. Jangan menyembunyikan sesuatu padaku, Ruby," desak Megan, tangannya menyentuh lengan Ruby dengan lembut namun penuh penekanan.
"Jika kau tidak percaya, ya sudah," jawab Ruby, sedikit ketus. Dan berusaha melepaskan lengannya dari genggaman Megan. "Aku harus kembali ke dapur, kau juga harus kembali melayani pelanggan. Lihatlah, bistro mulai ramai." Sambil menunjuk ke arah meja-meja yang mulai dipenuhi pengunjung.
"Jelaskan dulu padaku, aku benar-benar ingin tahu."
"Aku harus menjelaskan apa lagi, kau saja tidak percaya padaku." Ruby frustasi. Ia memutar tubuhnya, berusaha menghindari Megan dan kembali melangkah ke dapur.
"Baiklah-baiklah... dia putra majikanmu. Lalu, kau benar-benar tidak memiliki hubungan padanya?"
"Ruby, Hei!" Megan yang penasaran setengah mati, mengekor pada Ruby. Terus mendesaknya untuk bercerita, sementara ia hanya diam, mula fokus pada berbagai bahan dapur yang kacau.
...........
Rhys melewati lobi kantor. Wajahnya terpasang dingin, para karyawan yang berpapasan dengannya menganggap hal itu biasa, tapi tak dipungkiri sebagian dari mereka sedikit terganggu. Ketukan marmer dengan heels tinggi bergema bersama langkah wanita yang tergesa-gesa mengimbanginya.
Ia tak memperdulikan isyarat itu, bahkan Rhys semakin mempercepat langkahnya menuju lift.
"Maz, bisakah kau sedikit pelan? Aku tak bisa mengimbangimu!" protes Amber, terengah-engah.
"Aku tidak memintamu mengikutiku."
Keduanya tiba di lift, Amber bergegas mencari tempat di sisi Rhys. Meskipun pria yang tidak lain adalah sepupu tirinya itu berubah semakin dingin padanya, Amber tetap tersenyum tipis, matanya berbinar berharap. Ia tahu, ia akan belajar untuk terbiasa. Lift mulai bergerak naik, dan Amber mencari kesempatan itu untuk bisa kembali berdekatan dengan Rhys, ataupun menjalin hubungan semakin baik. Ia menyampirkan rambut merahnya ke belakang telinga, gugup namun tetap berusaha terlihat tenang.
"Thomas mengatakan kau memecat sekertarismu. Apa kau tidak ingin mencari penggantinya, Maz?"
Rhys menatap pantulan dirinya di pintu lift yang mengkilap. Ia membalas tanpa berfikir. "Aku belum memikirkan hal itu. Untuk sementara, Thomas yang akan mengurusnya."
"Aku khawatir Thomas akan kewalahan. Um, maksudku... dia kan asistenmu, Maz, dan juga memiliki tanggung jawab besar di perusahaan ini. Aku takut dia akan abai pada tugas-tugasnya karena harus mengurus semuanya, bahkan di luar jam kerja."
Rhys tersenyum, sebuah senyum yang tampak dingin. "Thomas sudah terbiasa dengan beban kerja besar, dan dia selalu mampu mengatasinya. Kau tak perlu khawatir, karena ini bukanlah ranahmu."
"Apa salahnya aku khawatir. Aku mengenalnya, dia bahkan menjadi saksi dalam hubungan kita dulu. Dan ingat, bagaimana dia mengurus semua pekerjaanmu demi kau berlibur berminggu-minggu bersamaku, hingga berakibat dua klienmu memutuskan kontrak. Berarti dia tak sepenuhnya bisa."
"Itu karena kesalahanku sendiri. Aku terlalu naif mengikuti kemauanmu yang tak masuk akal."
Belum sempat membalas, pintu lift terbuka di lantai atas, menampilkan koridor yang mewah. Rhys keluar dengan langkah panjang dan pasti, wajahnya tegang. Amber bergegas mengikutinya, langkahnya sedikit terhuyung. Rhys berjalan cepat, Amber berusaha mengejar, namun tetap beberapa langkah di belakangnya. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, merasa frustrasi.
"Mengapa sikapmu semakin dingin? Aku tak menyukainya."
"Kau bisa pulang sekarang, Amber." Ia berhenti di ambang pintu ruangan kantornya.
"Mengapa kau kejam sekali Maz. Padahal aku hanya ingin bersamamu, sebelum jadwal pemotretanku semakin padat."
"Bagaimana dengan Liam? Kau tak berniat mengunjunginya sebentar saja?" Sesungguhnya Rhys a tak sudi membahas tentang Liam, namun ia cukup penasaran dengan hubungan kedua sejoli itu.
"Aku belum siap bertemu dengannya. Aku juga sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita, setelah aku siap menemuinya. Meskipun aku mencintai Liam, tapi aku tidak mau memiliki kekasih seorang kriminal, itu memalukan."
Rhys menghela napas panjang, tatapannya lembut namun tegas saat ia menatap Amber di sisinya. "Itu keputusan yang bagus," katanya pelan. "Lepaskan dia, dan carilah pria lain yang tulus mencintaimu." Dengan itu, ia mendorong pintu ruangannya dan masuk, membiarkan pintu perlahan tertutup di belakangnya, meninggalkan Amber yang terpaku.
Thomas bangkit dari sofa menyambut kedatangan bosnya, senyum tipis terukir di wajahnya. Di waktu yang sama, pintu kembali terbuka, yang tak lain pelakunya adalah Amber. Mengabaikan Thomas yang terlihat terkejut, dan langsung menghampiri mantan kekasihnya dulu.
"Maz, apa kau kembali bekerja setelah makan siang? Jika iya, aku akan menemanimu di sini. Kau juga belum memberi pendapat tentang majalahku yang akan rilis nanti."
Rhys melepaskan jasnya, melemparkan kasar diatas sofa. "Thomas, kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang." Ia mengusap wajahnya dengan lelah, mendaratkan bokongnya di kursi kerja, menggeram pelan. "Jika perlu seret saja, dia tidak akan berhenti menggangguku," ucapnya hampir berputus asa.
"Dimengerti, Signor," kata Thomas patuh, mengangguk. Lalu mendekati Amber yang terlihat kebingungan.
Amber, yang memperhatikan ekspresi Thomas, mengerutkan dahinya. Ia mundur perlahan, saat Thomas semakin dekat padanya. "Thomas! Jika kau semakin berani mendekat aku tak segan mendorongmu!"
"Kalian berusaha ingin mengusirku, huh? Maz! Tidak, Thomas! Jangan mendekat."
"Scusi, Signor ina. Aku harus melakukannya." Thomas selanjutnya menangkap lengan Amber yang berusaha memberontak. Di tahan begitu kuat, hingga wanita itu tak bisa lagi menghindari perlakuannya.
Amber terus mengamuk pada Thomas, namun suaranya tenggelam oleh suara Rhys yang menghela nafas panjang di balik meja kerjanya.
"Lepaskan brengsek! Aku akan pergi sendiri! Jangan sentuh aku!"
Dengan sentakan kuat, Amber melepaskan diri dari cengkeraman Thomas. Nafasnya memburu, dada naik turun hebat. Ia menatap nyalang Thomas dan Rhys secara berganti. Tanpa ragu membuka pintu sangat kasar, mendorong dirinya sendiri untuk keluar dari ruangan Rhys.
Kepala Rhys berselonjor nyaman di sandaran kursi yang menopang dengan sempurna. Ia bernafas dengan lega, bebannya terasa berkurang. Dan pada akhirnya, ia bisa tenggelam lebih dalam dengan berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja tanpa gangguan.
"Atur meetingku dengan klien minggu depan. Buatkan jadwal untuk mereka, dan konfirmasi setelah selesai. Aku sudah kirimkan data klien padamu," perintahnya, tanpa menatap Thomas.
"Baik, Signor," balas Thomas patuh, kemudian berlalu.
Dengan berbagai tumpukan kertas di meja, ia tak tertarik mengambil salah satunya. Sorotnya yang tajam itu, menatap grafik-grafik rumit yang berdenyut di layar komputernya. Angka-angka berwarna hijau dan merah berkejaran, mewakili miliaran dolar yang berputar dalam perusahaannya, sebuah raksasa multinasional dengan cabang di tiga benua. Rhys tersenyum miring, sebuah senyum bangga. Ia sudah berhari-hari tanpa tidur, membuat penampilannya sedikit kacau. Tapi dengan itu, usahanya tak mengecewakan. Perusahaannya melesat; grafik terakhir menunjukkan peluncuran produk terbarunya, sebuah inovasi teknologi revolusioner, telah diterima dengan luar biasa di pasar global, dari Silicon Valley hingga Shanghai, dari London hingga Lagos.
Dan istirahat, hal yang terpenting untuknya sekarang.
...........
"Perkembangan Archie jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia lebih hangat, dan kepercayaan dirinya semakin meningkat. Temannya di sini pun membantu Archie."
"Aku senang mendengarnya," balas Ruby. Pandangannya kemudian tertuju pada sekumpulan anak-anak yang menikmati roti panggang buatannya.
"Saat aku tiba di sini, Archie langsung bertanya tentang ibunya." Lalu Ruby menoleh pada wanita dewasa itu dengan tatapan sendu. "Ms. Elle, aku terpaksa berbohong. Aku tak punya pilihan lain selain mengatakan bahwa ibunya sibuk bekerja. Itulah satu-satunya alasan yang terpikirkan olehku."
"Aku mengerti. Diumur Archie yang sekarang, mungkin dia tidak akan paham dengan kenyataan tentang ibunya. Tapi, jika terus berbohong itu bukan pilihan yang terbaik. Dan bisa saja, menjadi masalah di kemudian hari."
Cemas dan bingung, Ruby menggigit bibir bawahnya. "Bagaimana keadaan Archie jika dia tahu ibunya sudah tiada? Ms. Elle... Archie masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan pahit ini. Itu akan sangat menyakitinya."
"Aku sangat menghargai kekhawatiranmu. Memberitahu Archie tentang ibunya memang berat. Mungkin untuk sekarang, beri waktu dia untuk menikmati hidupnya yang baru. Setelah dia lebih stabil secara emosional, kita akan mencari cara terbaik untuk memberikan pemahaman sesuai usianya, dengan lembut dan bertahap." Ms. Elle menambahkan, berusaha memilih kata-kata yang tepat. "Tapi ingat, waktu tinggalnya di sini hanya sementara. Kita perlu mempersiapkannya untuk kemungkinan adopsi atau kembali ke keluarga besarnya, jika memungkinkan."
"A—apa belum ada kabar tentang keluarganya?"
Ms. Elle menggeleng, prihatin.
Ruby menggigit bibirnya lebih kuat lagi, rasa frustasi mulai menguasainya. Dan wanita yang bersamanya itu tahu bagaimana kedua tangannya mengepal, jari-jarinya memutih. "Ja—jadi Archie akan terus tinggal di sini sampai dia diadopsi?"
"Proses adopsi memerlukan waktu yang cukup untuk memungkinkan polisi mencari keberadaan keluarganya. Ini bukan situasi yang mudah. Tapi kita akan terus berupaya mencari solusi terbaik untuk Archie. Kita akan terus memperbarui informasi dan memberimu kabar terbaru. Dan selama Archie di sini, kita akan memastikan dia merasa dicintai dan aman."
Mungkin kata-kata Ms. Elle menenangkan, tapi tidak bagi Ruby. Sejak langkahnya mulai menelusuri lorong yayasan, pikirannya tak bisa tenang. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas bara api, setiap langkahnya diiringi rasa bersalah dan ketakutan. Wajah Archie terakhir yang ia lihat, adalah senyum tulus yang memintanya agar sering datang ke tempat ini, menemui Archie. Ruby memegang erat tali tasnya; memikirkan cara menemukan jalan keluar dari labirin masalah yang membingungkan.