Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Perasaan Aneh.
Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, ibu mertua diperbolehkan pulang. Selanjutnya akan rawat jalan, dan kontrol secara berkala. Sampai saat ini, mereka belum mengetahui dimana aku tinggal. Aku tetap merahasiakannya termasuk pada Uly.
Bukannya aku tidak percaya pada Uly, yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Hanya saja aku tidak ingin melibatkannya dalam masalahku, semisal Arbian menginterogasinya.
Hari ini rencananya Bastian akan pulang, setelah dua minggu di luar kota menangani sebuah proyek. Aku dan Bi Sumi sengaja memasak makanan kesukaannya, menyambut kepulangannya.
"Nak Bastian itu paling doyan sayur lodeh dan ikan kembung pepes yang sudah dibakar, Non Rania," ungkap Bi Sumi saat aku bertanya makanan favorit Bastian.
"Setelah dipepes dipanggang lagi ya Bi?"
"Iya, biar aromanya semakin harum dan menggoda katanya, hehehe ...." kekeh Bi Sumi. Aku manggut-manggut. Kok bisa samaan ya seleranya Bastian sama Bapak. Tetiba rasa rinduku pada Emak dan Bapak membuatku ingin pulang kampung.
"Kenapa Non, kok malah bengong."
"Eh, gapapa kok Bi. Rania hanya teringat sama Emak dan Bapak. Bapak juga doyan pepes ikan kembung bakar."
"Sudah lama gak pulang kampung ya, Non."
"Sudah satu tahun, Bi."
"Pulanglah kalau sudah liburan, Non. Kedua orang tua Non Rania juga pasti sudah rindu."
"Iya, Bi. Akhir tahun aku memang ada rencana mau ambil cuti." Percakapan kami terjeda saat terdengar suara mobil memasuki pekarangan.
"Sepertinya Nak Bastian sudah sampai. Bentar Bibi bukain pintu dulu." Bi Sumi bergegas ke ruang depan untuk membukakan pintu.
Aku menatap meja yang di atasnya sudah terhidang makanan. Kemarin Bastian bilang akan sampai sekitar jam 14.00. Ternyata lebih cepat satu jam dari perkiraan. Untungnya kami sudah selesai memasak.
"Selamat siang Bi Sumi, apa khabar." suara khas Bastian yang berat menyapa Bi Sumi.
"Aroma apa ini, Bi? Bibi masak pepes bakar ya? Kebetulan Bas sudah lapar nih, Bi." Aku melihat lewat celah gorden Bastian buru-buru meletakkan tas ranselnya.
"Bukan Bibi yang masak, tapi Non Rania." Bi Sumi membetulkan ransel yang terjatuh dari sofa, karena Bastian meletakkannya tadi asalan saja. Dalam hati aku malu atas ucapan Bi Sumi. Kok buka kartu sih, Bi. Gumanku dalam hati.
"Wah, Mbak Rania yang masak?" Bastian berjalan ke arah dapur. Aku bergegas berlari ke arah meja makan. Pura-pura menata meja, seolah belum tau kalau dia sudah pulang.
"Mbak masak banyak ya? Makin lapar saja ini." Bastian menyapaku lalu menggulung lengan bajunya. Mencuci tangannya di wastafel, kemudian duduk manis di kursi.
"Ayo, Bi, kita makan siang bersama." Ajakku pada Bi Sumi, mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk. Kuberikan pada Bastian.
"Nanti saja Non, Bibi makan di rumah saja," elak Bi Sumi merasa sungkan.
"Ayolah, Bi, kita makan bareng." Bastian menarik kursi di sampingnya. Mau tak mau Bi Sumi akhirnya duduk. Aku mengisi piring untuk Bi Sumi juga untukku.
Bastian makan lahap sekali. Katanya semua masakan yang kami hidangkan enak dan bikin nagih. Aku dan Bi Sumi tertawa melihat Bastian yang bingung makanan mana dulu yang harus dia cicipi.
Berkali-kali pipiku merona merah karena pujiannya pada masakanku, yang menurutku biasa saja.
"Mbak Rania memang pandai memasak. Andai tiap hari aku bisa menikmati masakan Mbak. Dalam sebulan aku cosplaynya Doraemon, hahaha ...." guyonnya disela dia menikmati pepes bakar.
Aku memandangi Bastian yang begitu lahap menikmati makanannya. Hal yang tidak pernah kujumpai pada Arbian, karena dia memang selalu makan di luar. Bisa saja dia menolak masakanku karena dia selalu menikmati masakan Gladys.
Hanya pernah sekali dia makan nasi goreng buatanku, dan memujiku kalau masakanku enak. Entah dia jujur atau cuma basa-basi.
Aku memang suka bedah resep di dapur. Jika aku punya waktu luang, memasak adalah kesenanganku ketimbang pergi jalan-jalan. Aku betah berjam-jam berkutat di dapur mencoba beberapa resep. Meski sering gagal tapi tidak membuatku menyerah.
"Makanannya dinikmati lo Mbak, bukan diplototi," terguran Bastian menghalau pikiranku tentang Arbi. Ah, buat apa pula aku mengingat dia disaat seperti ini.
"Oh, ya, Mbak sudah pernah jumpa Arbi."
"Iya kemarin, saat ibu mertua masuk rumah sakit."
"Oh, mamanya Arbi masuk rumah sakit ya. Trus gimana reaksinya melihat Mbak?" rasa ingin tahu tergambar jelas di wajah Bastian.
"Dia meminta maaf dan menyuruhku pulang. Daripada aku ngekost di luaran, mending dia yang keluar dari rumah," ungkapku jujur.
"Dia tau gak kalau Mbak tinggal di rumahku?" aku menggeleng. "Arbian akan marah besar kalau dia tau aku menyembunyikan Mbak di rumahku. Tapi tidak apa-apa. Aku bisa jelaskan semuanya nanti." Bastian mencuci tangannya karena sudah selesai makan. Aku menyerahkan tissu untuk melap tangannya.
"Bi, tolong buatkan segelas kopi ya." Bi Sumi yang sudah selesai makan beranjak dari kursinya untuk menyeduh kopi. Aku juga menyudahi makanku. Membereskan piring dan menyimpan sisa lauk ke dalam kulkas.
"Aduh, Non Rania! Biar Bibi saja yang bereskan mejanya." Protes Bi Sumi saat melihatku membereskan piring bekas kami makan.
"Gapapa kok, Bi." Aku mengangkat peralatan makan itu, meletakkannya di bak cuci piring.
"Sudah Non, biar Bibi yang lanjutkan." Bi Sumi menarik lenganku dan menyuruhku duduk kembali di ruang makan.
"Biarin saja Mbak, ntar Bi Sumi ngambek kalau tugasnya diambil alih."
Akhirnya aku menurut saja, padahal niatku cuma mau bantuin Bi Sumi, karena sepanjang pagi tadi beliau menemaniku memasak. Tugas utamanya adalah bersih-bersih rumah. Sesekali memasak buat sarapan untuk Bastian. Semenjak aku di rumah ini tugas Bi Sumi bertambah. Beliau diminta Bastian rutin memasak tiap hari. Merasa tidak enak, aku selalu bantu Bi Sumi memasak.
Sebenarnya aku merasa segan dengan Bastian. Itulah sebabnya aku sengaja menyibukkan diri. Berharap Bastian minum kopi sambil menonton televisi atau sibuk dengan ponselnya. Tapi Bastian malah mengajakku ngobrol banyak hal.
Entah kenapa sepanjang makan siang tadi, hatiku berdesir aneh. Setiap kali mata kami bersirobok, perasaan asing itu selalu menyergapku. Entah, apa Bastian merasakan hal yang sama. Beberapa kali aku memergokinya memandangku begitu intens, membuatku grogi.
Sepertinya dia ingin mengobrol apa saja denganku. Hanya saja aku membatasinya lewat sikapku yang hanya membalas ucapannya seperlunya saja.
Biar bagaimanapun aku tidak ingin timbul masalah baru, karena masalahku dengan Arbian belum tuntas. Saat ini saja aku merasa tidak tenang, was-was kalau tiba-tiba Arbian menemukanku di rumah Bastian sehingga timbul kesalah pahaman diantara mereka.
Baru saja pikiran itu hadir dibenakku, tiba-tiba saja aku mendengar suara mobil Arbian memasuki pekarangan rumah.
Aku memandang panik Bastian, sebaliknya Bastian juga kaget. Sebelum aku sempat bersembunyi, Arbian sudah berdiri di ambang pintu.
"Rania!" ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor