Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Olivia tercengang saat mendengar permintaan Alesia. Dia baru saja diputusin lewat sambungan telepon, lucu banget kalau langsung menerima pinangan dari seorang duda.
"Bukan kayak gitu, Nak. Maksud Papa mu itu, Bibi akan main sama kamu tiap akhir pekan. Benar kan Pak?" ucap Olive seraya memberikan kode kepada Aarav agar setuju dengan pendapatnya. Alis Olive sampai mengerut berulang kali agar Aarav paham kodenya.
Aarav yang awalnya kurang paham, mencoba untuk memperhatikan kode itu. Tak berapa lama kemudian, Aarav paham dan mulai memainkan sandiwara bersama Olive.
"Benar sekali, sayang," Aarav menimpali, dengan nada seolah-olah semua ini bagian dari rencana yang sudah dipikirkan matang-matang.
"Bibi akan sering datang ke rumah, jadi kita bisa main bersama. Tapi bukan berarti Bibi jadi Mama, ya."
Alesia tampak berpikir sejenak. Ia memiringkan kepalanya, memperhatikan Aarav dan Olive bergantian dengan wajah polosnya.
"Tapi, kenapa Papa bilang tadi mau nikah sama Bibi?" tanyanya dengan mata bulat yang penuh rasa ingin tahu.
Olive hampir saja tersedak air liurnya. Ia menatap Aarav dengan tatapan 'Tolong jelaskan ini, atau aku kabur sekarang juga'.
Aarav menggaruk tengkuknya dengan kikuk, berusaha mencari jawaban terbaik tanpa membuat Alesia semakin bingung.
"Itu... Papa bercanda tadi," jawab Aarav akhirnya, sambil tertawa canggung.
"Papa hanya ingin lihat reaksi kamu kalau Papa bilang begitu. Tapi kayaknya kamu terlalu serius, ya?"
Alesia mengerutkan kening, menimbang jawaban tersebut.
"Hmm, aku nggak tahu kalau Papa suka bercanda," gumamnya pelan, lalu menatap Olive.
"Bibi, kamu juga nggak mau jadi Mama aku, kan?"
Olive membeku di tempatnya. Ia benar-benar tidak siap menghadapi pertanyaan seperti ini. Namun, ia tahu bahwa jawaban yang salah bisa memperumit keadaan.
"Alesia, yang penting sekarang kita berteman dulu, ya," kata Olive dengan suara selembut mungkin.
"Kita main bareng, kenalan lebih baik, dan siapa tahu nanti kamu jadi suka sama aku sebagai teman Papa."
Alesia tampak merenung sebentar sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Oke, Bibi. Tapi aku tetap boleh minta cerita sebelum tidur kalau Bibi datang, kan?"
Olive tersenyum lega, meski di dalam hatinya masih terasa gemuruh yang tak tenang. Aarav, di sisi lain, tampak ikut menghela napas lega, lalu menyentuh bahu Olive dengan lembut sebagai tanda terima kasih.
Namun, dalam hati, ia tahu bahwa ini baru permulaan dari segala kekacauan yang mungkin akan terjadi.
"Iya sayang, tenang aja. Pokoknya kalau Alesia panggil Bibi ke rumah, sebisa mungkin Bibi akan datang," ucap Olive dengan senyum manisnya.
"Yey! Bibi main ke rumah, yey!" Alesia berjingkrak-jingkrak saking senangnya. Aarav perlahan menatap wajah Olive yang teduh.
"Wanita ini sebenarnya baik sih, tapi kenapa selalu menyebalkan kalau di kantor? Apa karena dia ada masalah di keluarganya?" gumam Aarav justru mencoba menelisik arti perubahan sikap Olive saat di dalam dan di luar kantor.
Pandangan mata Aarav tak bisa lepas dari Olive. Hal ini terpantau oleh Alesia. Sang putri kesayangannya, tersenyum. Dia tampak senang melihat reaksi Papanya saat menatap Olive.
"Cie Papa, liatin Bibi terus. Mulai suka ya?" sindir Alesia.
"Gak sayang, papa cuma ... sudahlah. Makannya di habisin dulu. Udah jam segini nih, Papa harus kembali ke kantor bersama Bibi Olivia," ujar Aarav mencoba mengalihkan perhatian putrinya meski rasanya sangat canggung.
Namun, Alesia tidak mudah dialihkan. Dia menatap Aarav dengan ekspresi jahil khas anak kecil yang tahu sesuatu sedang disembunyikan.
"Papa malu ya? Ih, Papa lucu banget kalau gitu!" goda Alesia sambil terkikik.
Olive hanya bisa menghela napas panjang sambil menatap piring kosong di depannya, merasa situasi semakin tidak terkendali. Ia tidak menyangka makan siang ini akan berubah menjadi sesi interogasi kecil-kecilan oleh seorang anak lima tahun.
"Alesia, Papa serius. Kita beneran harus kembali ke kantor," ujar Aarav sambil mencoba mengalihkan perhatian putrinya dengan mengeluarkan tablet dari tas kerja. "Nih, main game dulu, ya?"
Alesia menggeleng cepat, menolak dengan senyum jahil yang semakin melebar.
"Papa, kalau nanti nikah sama Bibi, aku boleh jadi bridesmaid, kan? Aku mau pakai gaun pink yang ada glitter-nya!"
"Astaga, Alesia!" Aarav menepuk dahinya, tidak tahu harus tertawa atau menangis menghadapi imajinasi liar putrinya.
Olive tidak tahan lagi dan akhirnya tertawa kecil. "Alesia, kamu lucu banget. Tapi kita nggak usah buru-buru mikirin hal itu. Yang penting, kamu bahagia sekarang, ya?"
Alesia mengangguk ceria. "Iya, aku senang kok kalau Bibi datang. Papa juga senang, kan?"
Aarav hanya bisa memaksakan senyum dan mengalihkan perhatian ke ponselnya, berusaha menghindari topik yang semakin tidak terkendali.
Setelah makan bersama selesai, Aarav dan Olive bersiap untuk kembali ke kantor. Sebelum mereka pergi, Alesia memeluk Olive erat-erat.
"Bibi, aku minta nomor telepon Bibi biar tiap saat aku bisa bicara sama Bibi," ucap Alesia penuh semangat.
"Gak perlu minta, Papa sudah menyimpan nomor Bibimu," sahut Aarav cepat.
Dia tidak mau menambah topik pembicaraan karena Alesia adalah gadis kecil yang pandai membuatnya salah tingkah.
Untung saja mendengar kata-kata sang Papa, Alesia tidak meledek. Sang putri cuma tersenyum dan menggandeng tangan Olive untuk bersama masuk ke dalam mobil.
•••
Di perjalanan menuju kantor, suasana di dalam mobil terasa canggung. Aarav melihat dari kaca spion tengah mobil. Putri kecilnya terlihat memejamkan matanya.
"Olive," Aarav akhirnya membuka pembicaraan, "maaf soal Alesia tadi. Dia memang suka bicara sesukanya, apalagi kalau dia merasa nyaman sama seseorang."
Olive tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Dia anak yang manis, Pak Aarav. Tapi... saya nggak nyangka, dia bisa langsung nyaman sama saya. Biasanya anak kecil butuh waktu."
Aarav menatap Olive sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. "Mungkin karena kamu punya cara tersendiri untuk membuat orang merasa nyaman. Di luar kantor, kamu... beda."
Kata-kata Aarav membuat Olive tertegun sejenak. Ia tidak tahu apakah itu pujian atau hanya pengamatan biasa.
"Kalau Bapak merasa saya menyebalkan di kantor, ya maaf. Tapi itu cuma profesionalitas kerja, nggak ada maksud lain," jawab Olive akhirnya, mencoba menetralisir situasi.
Aarav tersenyum tipis. "Mungkin aku yang harus belajar lebih banyak memahami orang lain. Termasuk kamu."
Suasana di dalam mobil perlahan menjadi lebih tenang, Aarav sesekali menatap Olive sambil tersenyum." Manis juga senyumnya," batin sang pria.
•
•
•
Sesampainya di kantor ...
Mobil sang bos sudah berada di depan kantor. Olive tak tega kalau harus meninggalkan si kecil.
"Pak, aku izin menjaga Alesia saja ya? Bapak yang ngurus kerjaan kantor. Bukannya apa-apa, tapi aku kasihan sama putri bapak," ujar Olive seraya mengusap kepala Alesia.
Aarav menatap Olive dengan sorot mata bingung. Sebagai seorang profesional, ia tahu tidak seharusnya membiarkan seorang karyawan meninggalkan tugas kantor begitu saja. Namun, sisi dirinya sebagai seorang ayah merasa bahwa ide Olive cukup masuk akal.
"Olive," Aarav menarik napas panjang, "aku menghargai niat baikmu. Tapi ini bukan tanggung jawabmu. Alesia sudah terbiasa ikut aku ke kantor. Aku akan memastikan dia nyaman."
"Tapi Pak, Alesia kelihatannya capek. Kalau terus dipaksa ikut, dia bisa rewel. Nanti malah membuat suasana kantor jadi nggak kondusif," balas Olive dengan nada lembut namun tegas.
Aarav terdiam sejenak, menimbang ucapan Olive. Di sisi lain, ia tidak ingin terlihat lemah di depan karyawan lain, apalagi Olive.
"Baiklah, kalau begitu. Ehm begini saja," ucap Aarav akhirnya. "Aku akan minta izin pada HR untuk memberi waktu ekstra padamu hari ini. Kamu bisa temani Alesia sementara aku rapat sebentar. Tapi jangan terlalu lama, ya."
Olive mengangguk, merasa lega mendapat kepercayaan tersebut.
"Terima kasih, Pak. Saya pastikan dia tidak akan merepotkan."
Aarav turun dari mobil lebih dulu dan berjalan menuju ruangannya, sementara Olive menggendong Alesia yang setengah terlelap. Mereka berdua menuju ruang istirahat kecil di lantai bawah kantor.
•••
Di ruang istirahat, Olive menidurkan Alesia di sofa kecil dengan lembut. Ia lalu mengambil majalah dari meja untuk menghabiskan waktu. Namun, pikirannya justru mengembara ke kejadian makan di restoran tadi.
"Kenapa sih aku harus terlibat sejauh ini?" gumam Olive pada dirinya sendiri.
"Aarav itu bos, dan aku cuma karyawannya. Nggak mungkin hubungan kami bisa lebih dari itu. Apalagi aku masih terluka karena Mario. Rasa sakit yang tak bisa aku sembuhkan dalam waktu sekejap," lanjut Olive merasa kalau dirinya tak cukup pandai mengolah rasa di hatinya. Kalaupun mencoba untuk melupakan kenangan soal Mario, terlalu sulit untuknya karena ibarat prasasti yang sudah terukir indah di dalam sanubarinya.
Meski begitu, bayangan senyum Aarav saat di mobil tadi terus mengganggunya. Ada sesuatu yang berbeda pada pria itu saat bersama Alesia. Bukan sekadar seorang bos yang serius dan tegas, tetapi seorang ayah yang lembut dan perhatian.
"Tapi tetap aja, Olive. Jangan berharap terlalu jauh. Fokus menjaga Alesia saja," bisiknya, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang tidak seharusnya.