bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak di hutan
Renata masih terisak, napasnya memburu tak beraturan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, meski udara di hutan terasa lembap dan berat. Ia duduk bersandar pada batang pohon besar, tubuhnya gemetar hebat.
Dia baru saja... terjun dari pesawat.
Renata menampar dirinya sedniri dan ternyata terasa sakit ternyata dia tidak bermimpi, dia selamat denngan melaikukan hal yang tak pernah dia bayangankan dalam hidupnya melakukan terjuan payung tanpa persiapan matang dan sekarang terdampar dihutan belantara
“Kamu gila, Amira,” Renata akhirnya berhasil memaksa suaranya keluar, parau dan gemetar. “Kamu... kamu ojek udara juga, ya?”
Amira hanya tertawa kecil, meski wajahnya penuh luka goresan. Dengan santai, dia merobek sisa parasut yang tersangkut di dahan pohon.
“Namanya juga hidup, Mah, pasti penuh cobaan,” jawab Amira ringan.
Renata menatapnya dengan mata membelalak, tidak percaya betapa santainya perempuan itu. Mereka baru saja hampir mati, dan Amira masih bisa bercanda?
“Kamu... nekat sekali, Mira,” lanjut Renata, masih berusaha mengatur napas.
Amira mengangkat bahu. “Kalau nggak nekat, kita udah jadi ikan asin di laut, Mah. Sekarang mendingan mikir gimana caranya keluar dari hutan ini.”
Renata memandang sekeliling. Pepohan besar menjulang tinggi, daun berserakan, kayu dan ranting jatuh diterpa angin, suara bintang buas dari kejauhan, sejauh mata memandang hanya terlihat pohon seolah sedang memagari dirinya , tidak ada jalan keluar, tidak ada sinyal., tidak ada pertolongan dan mungkin tidak ada harapan, rasa takut menyelimuti dirinya.
“Ini semua rencana siapa? Kenapa pesawat bisa jatuh?” tanya Renata, nadanya meninggi, hampir histeris.
Amira menarik napas panjang. “Aku belum tahu pasti. Tapi feeling-ku, ini bukan kecelakaan biasa. Ada yang ingin kita mati.”
Renata mengerjap, bingung dan ketakutan. “Masa mertuaku menginginkan aku mati?” suaranya gemetar.
“Aku nggak tahu, Mah. Kita cari tahu nanti... kalau sudah pegang HP.”
Renata memandangnya, heran. “Lho, kok kalau sudah ada HP?”
Amira tersenyum tipis. “Ya nanti kita tanya Mbah Google.”
Renata menggeleng keras, hampir menangis. “Ada-ada saja kamu. Masih sempat bercanda di saat seperti ini.” Ia menarik napas panjang, berusaha menahan tangis. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa tahu pesawat kita disabotase?”
Kembali ke masa lalu.
Sejak awal penerbangan, naluri Amira sudah berteriak. Awak kabin tampak gelisah, pilot bolak-balik menoleh ke belakang dengan wajah pucat. Ada sesuatu yang salah.
Amira pura-pura pergi ke toilet. Di lorong sempit itu, ia sengaja menabrak salah satu kru. Tangannya secara refleks menyentuh punggung pria itu—merasakan sesuatu yang keras dan tebal di balik seragam. Parasut. Sesuatu yang mustahil ada di penerbangan biasa.
Saat itu juga, sebuah alat komunikasi kecil terjatuh dari saku kru. Dengan cepat, Amira memungutnya dan membawa ke dalam toilet. Saat diperiksa, alat itu mengeluarkan bunyi sandi morse:
“Sepuluh menit lagi terjun.”
Jelas, ada yang mengincar nyawa mereka.
Tanpa membuang waktu, Amira melumpuhkan salah satu kru, merebut parasut, lalu berlari kembali ke tempat duduk Renata.
“Mah, dengarkan aku baik-baik. Pesawat ini bakal dibajak. Kita harus terjun sekarang!” desis Amira, tegas.
Renata hanya bisa menggeleng, tubuhnya membeku. “Apa? Ini gila, Mira,” katanya, nyaris menangis.
Saat itu alarm darurat berbunyi. Pesawat oleng hebat. Kepanikan meledak.
Amira tak menunggu lagi. Ia memotong sabuk pengaman Renata, mengikat tubuh mereka berdua menjadi satu, lalu membuka pintu darurat. Angin menerpa wajah mereka dengan keras.
Renata sempat berteriak ketakutan sebelum tubuh mereka meluncur bebas ke udara, mengarungi langit dengan hanya satu parasut.
Dengan tangan terampil, Amira menarik tuas parasut. Tubuh mereka melambung, melayang-layang seperti daun terombang-ambing.
Renata memejamkan mata rapat-rapat. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, berharap semua ini cepat berakhir.
Benturan keras dengan tanah membuat napasnya terhenti sejenak.
Kini, mengingat kembali semuanya, tubuh Renata gemetar hebat. Ia, seorang sosialita yang biasa berpesta di hotel bintang lima, kini terdampar di hutan belantara. Bajunya compang-camping, tubuhnya penuh luka, dan hatinya dipenuhi ketakutan.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
“Mira... aku nggak kuat...” bisiknya lirih.
Amira menghampirinya, lalu menepuk bahunya. “Udah, Mamah jangan takut. Kalau takut, aku kasihkan ke babi hutan nih,” ujar Amira bercanda, mencoba menghibur.
“Ih, kamu kejam banget, Mira,” Renata tersenyum pahit di tengah isakannya.
“Dunia memang kejam, Mah. Dan kita harus lebih kejam. Kalau tidak, kita bakal terus diinjak-injak. Makanya, sekarang kita harus kuat.”
Renata tercengang. Terlalu banyak rahasia tersembunyi dalam diri Amira. “Terus... kita harus bagaimana, Mira?” tanyanya gemetar.
“Kita harus tenang. Tidak boleh panik. Apalagi takut,” kata Amira mantap. “Kalau harimau bertahan dengan taring dan cakarnya, manusia bertahan hidup dengan otaknya.”
Renata mengerang pelan. “Kakiku sakit, Mira...”
Tanpa ragu, Amira mendekat, lalu menggendong Renata di punggungnya.
Dengan langkah berat, Amira berjalan menyusuri hutan, melewati semak belukar dan akar-akar besar.
Di punggung Amira, Renata menangis dalam diam. Andai saja anakku bisa menggunakan otaknya seperti Amira... pikir Renata getir. Kalau saja Amira adalah anakku, mungkin aku tak akan pernah sekhawatir ini.
Hutan semakin gelap seiring sore bergulir. Suara serangga mulai bersahutan, menambah sunyi yang mencekam.
Amira terus berjalan, menggendong Renata di punggungnya tanpa mengeluh, meski kakinya sendiri terasa berat dan perih. Sesekali ia berhenti, mengatur napas, lalu melanjutkan langkah lagi menembus rimbunnya hutan.
Hutan semakin gelap seiring sore bergulir. Suara serangga mulai bersahutan, menambah sunyi yang mencekam.
Amira terus berjalan, menggendong Renata di punggungnya tanpa mengeluh, meski kakinya sendiri terasa berat dan perih. Sesekali ia berhenti, mengatur napas, lalu melanjutkan langkah lagi menembus rimbunnya hutan.
Di atas punggung Amira, Renata memejamkan mata. Air matanya mengalir diam-diam, rasa sesak memenuhi dadanya.
“Mira...” katanya lirih, hampir tak terdengar.
“Hm?” sahut Amira santai, sambil mendengus napas berat.
“Aku... aku minta maaf.” Suara Renata pecah, tangisnya tak lagi bisa ditahan.
Amira tertawa kecil, “Waduh, Mah. Jangan minta maaf sekarang. Ntar gue makin berat nggendongnya, loh.”
“mamah merpotkan kamu yah?”
“jangan dipikirkan mah” ucap amira “mamah tinggal bayar saja tagihannya nanti”
Renata tersenyum dalam gendongan amira dia tahu amira ceplas ceplos tapi hatinyabaik.
“mamah sayang kamu mira, mau enggak kamu jadi anak mamah” gumam renata sambil terisak
Amira menghentikan langkahnya. Ia perlahan menurunkan Renata, membiarkan perempuan itu duduk bersandar pada pohon. Amira berjongkok di depannya, menatap wajah Renata yang lelah dan hancur.
Mata mereka bertemu, dalam diam.
Namun bukannya ikut serius, Amira malah nyengir jahil. Mamah serius mau menjadikan aku anak?!”
Renata mengerjap, bingung.
Amira menekuk tangan di pinggang, berpura-pura serius. “kerena mamah sudah sayang sama aku jadi mulai sekarang semua ada tarifnya dan kita perbaharui kontrak kita, karena mamah menambah item pekerjaan untuku, sebagai menantu kontrak dan sekarang mamah aku aku jadi anak mamah, jadi semuanya ada harganya”
Renata tertawa ntah tertawa bahagia atau putus asa yang jelas amira selalu bisa mengubah suasana tegang jadi penuh candaan,
Amira mengacungkan telunjuknya memberi kode suapata renata berhenti tertawa
Suara ranting patah terdengar dari balik semak-semak.
Amira refleks berdiri, tubuhnya kaku, matanya tajam menatap ke arah sumber suara.
Renata ikut membeku, tangannya mencengkeram tanah dengan gemetar.
Suara langkah-langkah berat semakin mendekat, disertai bisik-bisik asing yang tak mereka kenali.
Amira perlahan menghunus pisau kecil dari balik sepatunya, gerakannya cepat dan senyap.
Renata menahan diliputi rasa takut bibirnya gemetar wajahnya menegang
“Mamah, jangan bergerak…” bisik Amira pelan.
Bayangan manusia muncul di antara pepohonan...
Bersambung.
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus