Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasien Kritis
Wildan duduk di ruang tamu keluarganya, tangannya menggenggam erat gelas kopi yang hampir dingin.
Dia sudah sembuh total dan sudah kembali ke Bengkalis.
Matanya tajam menatap ke arah satpam keluarganya.
Wajah satpam itu pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Di bawah tekanan tatapan Wildan yang penuh amarah, dia tahu waktunya sudah habis untuk berbohong.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi saat itu?" Suara Wildan terdengar rendah, tapi penuh ancaman.
"Aku mau dengar semuanya. Jangan coba-coba menutupinya lagi."
Satpam itu menarik napas panjang, suaranya gemetar saat dia mulai berbicara.
"Maafkan saya, Pak Wildan, tapi... saya tidak punya pilihan. Mereka memaksa saya untuk berbohong kepada Anda."
Wildan menatapnya dengan mata menyala-nyala.
"Siapa yang memaksa? Apa maksudmu?"
Satpam itu menelan ludah dengan gugup, lalu akhirnya mengaku,
"Saya disuruh oleh... Ibuk sendiri agar tidak menceritakan cerita yang sebenarnya."
Wildan terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia dengar.
“Apa yang kamu katakan benar?” Tanya Wildan dengan suara hampir berbisik, tidak percaya.
Satpam itu mengangguk lemah. "Ya, Pak. Ibuk Anda menyuruh saya untuk membuat cerita itu, agar Bapak percaya kalau Mumu yang tidak mau membantu."
Seketika, kemarahan Wildan memuncak. Dia berdiri dengan cepat, membuat kursinya terjatuh ke belakang dengan bunyi keras.
Dengan penuh emosi, tangannya melayang dan menampar wajah satpam itu dengan keras.
"Jadi selama ini kau dan ibuku menipuku!" Teriak Wildan. Satpam itu meringis kesakitan, tapi tidak berani melawan.
Dia hanya menundukkan kepalanya, menerima tamparan itu sebagai bentuk hukuman atas kebohongannya.
Wildan tak tahu apa motif ibunya yang tidak ingin dia tahu kebenaran atas kematian ayahnya.
"Lalu bagai mana kejadian yang sebenarnya?"
"Waktu itu, Pak Evan tidak ingin bertemu dengan Mumu, meskipun Mumu sudah datang untuk mencoba mengobati Pak Evan."
"Saya sendiri lah yang menghentikan Mumu di pintu gerbang dan mengatakan bahwa Pak Evan sedang tidak ada di rumah dan jika mau bertemu harus buat janji dulu."
"Sebenarnya Pak Evan tidak ingin bertemu Mumu karena dia merasa tidak perlu membayar Mumu, meskipun Mumu tidak pernah meminta bayaran."
"Beliau lebih suka menggunakan uang itu untuk berfoya-foya dari pada digunakan untuk membayar Mumu."
"Pak Evan juga beranggapan bahwa dia sudah hampir sembuh sehingga sisa penyakitnya bisa diobati oleh pihak rumah sakit."
Wildan merasa tubuhnya bergetar karena amarah.
Selama ini, dia menyimpan dendam terhadap Mumu, percaya bahwa dukun muda itu telah menolak membantu ayahnya di saat-saat terakhir hidupnya.
Dia telah memburu Mumu, merencanakan pembalasan dendam, dan bahkan mengabaikan semua penjelasan yang mungkin disampaikan orang lain.
Namun, kini terungkap bahwa dirinya telah dibohongi, bukan oleh Mumu, tetapi oleh keluarganya sendiri, dan oleh satpam ini.
“Kenapa kamu tidak pernah bicara dari dulu? Kenapa kamu ikut-ikutan menipu?” Wildan kembali mendesak, kali ini suaranya lebih rendah, tapi penuh dengan kebencian.
Satpam itu gemetar, suaranya terdengar lirih.
“Saya hanya menjalankan perintah, Pak. Saya takut kalau saya bicara, saya akan kehilangan pekerjaan."
"Ibuk… sangat keras, dan dia tidak mau melihat orang melawan perintahnya."
Mendengar penjelasan itu, Wildan merasakan campuran emosi dalam dirinya, marah, kecewa, malu, dan bersalah.
Dia menjambak rambutnya sendiri, berteriak frustrasi. Rasa malu menghancurkan harga dirinya.
Selama ini dia percaya bahwa dirinya membela kehormatan keluarganya, membela ayahnya yang dianggap sebagai korban.
Namun, ternyata ayahnya yang tidak mau menerima bantuan, yang lebih memilih menghamburkan uangnya demi kebahagian semu dibandingkan memberi imbalan kepada Mumu atas jasanya.
Wildan terduduk kembali, wajahnya terkubur di kedua telapak tangannya. Dia merasa sangat bodoh.
“Aku... salah besar...” Gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Dia telah menghabiskan bertahun-tahun mengarahkan kebencian kepada orang yang salah.
Namun, satpam itu tidak luput dari kesalahannya. Meski dia hanya mengikuti perintah, tindakannya ikut serta dalam kebohongan ini telah membuat banyak kerusakan.
Wildan menegakkan punggungnya, menatap dingin ke arah pria itu. “Kamu tahu apa yang harus kulakukan sekarang, bukan?” Katanya dengan nada ancaman.
Satpam itu menundukkan kepala dalam ketakutan, tapi dia tidak bisa melawan keputusan yang akan datang.
“Maafkan saya, Pak Wildan... saya tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.”
“Kamu akan membayar untuk ini. Atas nama baik yang kamu rusak, kamu harus bertanggung jawab."
"Kamu tidak hanya menipuku, tapi kamu juga mencemarkan nama baik Mumu.”
Namun Wildan tahu bahwa Satpam itu tidak sepenuhnya salah. Dia melakukan dibawah perintah.
Wildan tahu ibunya yang salah tapi dia tak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap ibunya.
...****************...
Suara bising langkah kaki memenuhi lorong rumah sakit yang terang-benderang.
Para perawat berlarian, sibuk menangani pasien-pasien yang terus berdatangan.
Di salah satu koridor, Mumu sedang menyelesaikan berjalan dengan santai ketika seorang perawat tergesa-gesa mendekat.
"Dokter Mumu, tolong ke ruang ICU sebentar! Ada pasien yang sangat kritis!" Seru perawat itu dengan nada cemas.
Sudah menjadi hal yang biasa, Mumu akan membantu pasien kritis yang sebenarnya memang bukan tanggung jawabnya.
Mereka akan saling membantu dalam menyelamatkan hidup seseorang.
"Baik, saya akan ke sana sekarang."
Tanpa membuang waktu, Mumu berjalan cepat menuju ruang ICU, pikirannya fokus pada apa yang mungkin terjadi.
Di sepanjang perjalanan, perawat itu memberikan laporan singkat.
"Pasien laki-laki, usia 50-an, mengalami serangan jantung hebat."
"Kami sudah melakukan tindakan awal, tetapi kondisinya terus memburuk. Dia memerlukan penanganan segera. Dokter yang bertanggung jawab sudah angkat tangan."
Setibanya di ruang ICU, Mumu melihat suasana tegang. Monitor pasien berbunyi dengan cepat, menandakan tekanan darah yang tidak stabil.
Di atas ranjang, seorang pria tampak pucat dan kesulitan bernapas, napasnya tersengal-sengal.
Di sekelilingnya, para perawat dan dokter lain sudah mencoba berbagai upaya untuk menstabilkannya, namun sejauh ini belum berhasil.
"Berikan laporan lengkap." Perintah Mumu dengan tenang, namun tegas, sambil mengenakan sarung tangan steril.
Salah satu dokter yang berada di dekat pasien segera melapor,
"Serangan jantung besar-besaran, tekanan darah turun drastis. Kami sudah memberikan obat-obatan, tapi dia tidak merespons dengan baik."
Mumu mengamati monitor dan kondisi pasien dengan cepat.
Ini adalah situasi hidup dan mati, dan setiap detik sangat berharga. Tanpa ragu, dia mengambil alih.
"Kita perlu lakukan tindakan lebih lanjut. Persiapkan defibrilator!" Katanya dengan cepat.
Para perawat segera mengikuti instruksinya, memasang defibrilator di dada pasien.
Mumu mengambil alih, memastikan semuanya sudah siap.
"Semua mundur!" Perintahnya.
Dengan satu tekanan tombol, aliran listrik dikirimkan ke tubuh pasien.
Tubuh pria itu sedikit terangkat, namun monitor masih menunjukkan irama jantung yang tidak stabil.
"Tingkatkan dosis obat dan siapkan untuk kejutan kedua!" Instruksi Mumu tanpa ragu.
Setelah beberapa detik berlalu, ia mencoba lagi. Namun tetap tidak ada respon.
Mumu akhirnya mengeluarkan jarum akupunturnya dan ia mulai mengobati pasien dengan caranya.
Dengan gerakan secepat kilat, Mumu langsung menancapkan jarum akupunturnya di dada pria itu.
Setelah itu Mumu langsung menyalurkan kekuatan spiritualnya melalui jarum akupuntur.
Kekuatan spiritual itu langsung masuk dan mencoba memperbaiki jantung pria itu.
Kali ini, jantung pasien mulai merespons perlahan. Irama yang tadinya kacau mulai menunjukkan tanda-tanda stabilitas.
Para perawat dan dokter lainnya menahan napas, berharap hasil akhirnya positif.
"Tekanan darahnya mulai naik." Ujar salah satu perawat yang memantau monitor, suaranya penuh harapan.
Mumu tetap fokus, memastikan bahwa kondisi pasien benar-benar stabil.
Setelah beberapa menit yang menegangkan, akhirnya jantung pasien kembali berdetak normal.
Mumu menarik napas lega dan menarik kembali kekuatan spiritualnya.
"Bagus. Kita berhasil stabilkan kondisinya untuk sekarang. Pantau terus kondisinya dan beri tahu Dokter penanggung jawab jika ada perubahan." Kata Mumu sambil melepaskan sarung tangannya.
Para staf di ruang ICU menghela napas lega, senyuman kecil muncul di wajah mereka.
Mumu menatap pasien yang kini bernapas lebih stabil.
Ia pun diam-diam keluar dari ruang ICU tersebut.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...