Diceraikan di depan selingkuhan suami dengan alasan dia tak cantik lagi,itu rasanya hancur. Tapi, tidak membuat Niken menyerah begitu saja.
Dia bertahan di dalam rumah tangga itu, bukan karena dia masih mencintai suaminya. Melainkan karena tidak sudi hartanya di nikmati madunya.
Bagaimana kisahnya? yuk cus baca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pov Pras
"Pak Naufal, ada apa memanggil saya?" tanyaku.
Aku agak canggung menemui bosku ini yang sekarang menjadi suami Niken.
Sial sekali hidupku, harus berhadapan dengan bos sendiri untuk kembali memgambil hati mantan istriku.
"Kamu saya tugaskan keluar kota, dan ini Maya rekan kamu selama di sana," kata Naufal.
Aku sedikit terkejut melihat perempuan yang bernama Maya. Dia mirip sekali dengan Niken.
Aku berusaha melihatnya lebih detail lagi dengan mengucek kedua mataku. Wajahnya tak berubah, ia memang mirip seperti Niken.
"Berdua saja, Pak?" tanyaku agak aneh.
"Berdua saja, Maya ini yang menjadi asisten kamu mulai sekarang," jawabnya.
Aku permisi setelah mendapatkan penjelasan dinasku besok. Sekarang, aku justru penasaran dengan perempuan yang bernama Maya itu.
"Mas, tunggu," panggil perempuan dengan suara lembut.
"Iya, ada apa?" tanyaku sedikit gugup. Aku merasa aneh dengan diriku sendiri, bicara dengan Maya rasanya ada yang berbeda. Seperti ngobrol dengan Niken.
"Besok kita akan berangkat bersama atau pakai mobil sendiri?" tanya gadis itu dengan senyuman tipis mirip sekali dengan Niken.
"Bagaimana kalau kita bareng saja, aku akan jemput ke rumahmu," katanya.
"Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu," ujarnya sembari berjalan mendahuluiku.
"Apakah dia anak baru? Kok aku baru lihat perempuan ini," ucapku. Aku sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan ini.
Sekalipun aku belum pernah melihat dirinya ada di kantor ini. Atau memang devisi kita yang berbeda?
Malam ini, aku mendadak teringat sama Maya. Dia terus bermain di otakku.
"Mas, kamu mau ke mana?" tanya Hani yang baru saja menidurkan anak kita.
"Aku besok ada tugas ke luar kota," jawabku meneruskan packing baju.
"Berapa hari?" tanya Hani sembari duduk di sampingku.
"Satu hari. Sayang, apa benar kamu menumpahkan susu ke tubuh Sanjaya?" tanyaku. Sejak kemarin aku kepikiran ucapan Niken.
Hanya saja belum ada waktu untuk ngobrol dengan Hani. Lembur di kantor membuatku tak sudah kelelahan untuk membahas hal yang tidak penting.
"Nggak kok, pasti Mbak Niken kan yang bilang. Dia memang sejak dulu iri denganku." Hani manyun, wajah cerianya berubah kesal.
Aku tidak bisa melihat siapa yang benar dan salah, meskipun Hani mengatakan dia tidak suka dengan Sanjaya. Malam itu dia menenangkannya sampai tertidur lelap.
"Kamu tidak percaya?" kata Hani dengan melipat kedua tangannya di dada.
"Percaya," ucapku singkat menghindari perdebatan panjang dengan istriku.
"Kamu jadi meminta hak asuh Sanjaya?"
"Jadi, aku akan membesarkan anak laki-lakiku. Aku tak sudi dia dirawat oleh orang lain," kataku kesal saat mengingat Naufal.
Aku merasa tersaingi, dia bisa memberikan macam-macam. Sedangkan aku yang serba terbatas ini pasti akan kehilangan kasih sayangnya nanti.
"Mas, kamu masih punya Aina. Kenapa sih harus mengurus dia. Hanya menambah beban kita," kata Hani.
Aku menutup koper dengan keras, "Kenapa anakku jadi beban?"
Aku tidak terima Hani mengatakan darah dagingku menjadi beban. Ia pantas mendapatkan kasih sayangku.
"Mas, kebutuhan kita semakin banyak. Kamu yakin mau menambah anggota keluarga?" tanya Hani tampak meremehkanku.
"Sanjaya tampak baik-baik saja dengan Mbak Niken, harusnya kmau tidak perlu buat masalah," imbuhnya yang semakin membuatku mendidih.
"Kamu meremehkanku?" kataku dengan berkacak pinggang. Aku kesal mendengar perkataanya yang semakin menjadi.
"Aku tidak meremehkanmu, Mas, tapi kebutuhan kita memang banyak," katanya dengan membalas pandanganku tajam.
Aku mendengus dan langsung keluar kamar, malam ini rasanya panas sekali. Aku merasa diremehkan banyak orang. Bahkan, istriku sendiri tidak bisa mendukungku.
Kehilangan Niken membuatku lumayan menyesal, perempuan itu bisa mengerti keadaanku. Sering memberiku semangat, bukan malah meremehkanku seperti ini.
Kerja sama kali ini berjalan lancar, lebih lancar daripada yang kubayangkan bahkan kami berdua masih memiliki banyak waktu di sana.
"Pak, mau pesan makanan apa? Biar saya pesankan," kata gadis manis dengan lesung pipi yang menambah dirinya semakin manis.
"Apa saja," jawabku dengan tangan yang masih sibuk membereskan berkas kerjasamanya.
Kami berdua sempat saling diam, maklum kita belum kenal sudah dipasangkan menjadi partner kerja.
"Maya, kamu sudah lama bekerja di perusahaan?" tanya Pras membuka topik pembicaraan.
"Kalau di kota ini baru dua hari ini, sebelumnya saya bekerja di cabang yang di pimpin Pak Naufal," jelas Maya.
"Saya dipindahkan ke sini karena pusat butuh sekretaris katanya," imbuhnya dengan tersenyum.
"Benar juga, aku memang butuh sekretaris," ujar Pras. Pekerjaanku memang sudah padat, sering kuwalahan.
Naufal memang bos yang sangat pengertian, baik kepada karyawanya. Yang membuatku tak senang kenapa dia harus menikahi mantan istriku?
"Pak, kita masih memiliki waktu. Bagaimana kalau kita jalan-jalan beli oleh-oleh?" ajak Maya.
"Boleh," katanku sembari melanjutkan makan.
Kami berdua berjalan sembari ngobrol, aku merasakan kami sangat nyambung. Sehingga aku merasa cepat akrab dengannya.
"Kamu membelikan oleh-oleh pacarmu ya?" tanyaku ketika ia memegang-megang topi.
"Saya belum punya pacar," katanya dengan malu-malu. Aku melihat wajahnya berubah menjadi kemerahan.
"Masa? cantik sepertimu belum memiliki pacar," ujarku tak percaya begitu saja.
Zaman sekarang cewek cantik mana yang tak memiliki pasangan.
"Memangnya saya cantik?" katanya malu-malu lagi.
Aku mengangguk lalu mengikutinya yang berpindah tempat memilih-milih baju.
"Mungkin saya terlalu sibuk bekerja," katanya tampak tak yakin.
"Ah, benar juga. Kamu terlalu sibuk. Kamu tak ingin punya pacar?" tanyaku mulai tertarik dengan gadis muda yang tampaknya masih polos.
"Tentu, tapi saya takut mereka tidak mengerti kesibukanku. Bapak tahu kan, kalau kerjaan saya sering keluar bertemu klien tak hanya perempuan," katanya dengan wajah getir.
Aku mengangguk mengerti yang dia maksud, aku juga merasakan keresahannya. Hani selalu cemburu ketika aku tak membalas chat, aku pulang larut.
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting sering memicu keributan.
"Maya, kamu jangan panggil aku terlalu formal. Panggil saja aku Pras," kataku agar kami berdua tampak lebih akrab saja.
"Jangan Pak, saya takut. Nanti dikira kurang ajar lagi." Maya tampak ketakutan.
"Selagi tidak di kantor tidak masalah kan. Biar kita lebih akrab saja," pintaku.
"Beneran nih, tidak apa-apa?" tanya Maya masih ragu-ragu.
"Iya, jangan sungkan," ucapku.
Kami berdua pun meneruskan jalan, mencari oleh-oleh lainnya. Aku melihat baju cantik jika dipakai oleh Aina putriku.
"Bapak mau ini?" Maya mengambil rok kecil lucu.
"Jangan panggil bapak dong, Pras saja atau Mas Pras," kataku dengan senyum malu.
Maya mengangguk, "Mas, ini untuk putrimu lucu loh," ujarnya dengan memilih-milih berbagai macam model.
Aku mengerutkan kening. Aku belum menceritakan tentang keluargaku bagaimana dia sudah mengetahuinya?
Aku mendadak curiga dengan Maya, "Dari mana kamu sudah tahu aku memiliki putri?"
padahal ck paribasa indung mah lautan hampura
mama.niken pun bersalah di sini, kenapa xtampar mama niken jugak