Kisah ini lanjutan dari KEMBALI-NYA SANG ANTAGONIS seasons 1
Banyak adegan kasar dan umpatan di dalam novel ini.
Cerita akan di mulai dengan Cassia, si Antagonis yang mendapatkan kesempatan terlahir kembali, di sini semua rahasia akan di ungkap, intrik, ancaman, musuh dalam selimut dan konflik besar, kisah lebih seru dan menegangkan.
Jangan lupa baca novel KEMBALI-NYA SANG ANTAGONIS season 1 agar makin nyambung ceritanya. Happy reading!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senjaku02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Satu minggu berlalu setelah Nafisha menandatangani surat perjanjian dengan keluarga Smith.
Hari ini, tiba saatnya darahnya diambil di rumah sakit sebuah momen penuh ketegangan yang menggantung di ujung harapan.
Darah Nafisha bukan sekadar cairan di pembuluh nadinya, melainkan penopang nyawa Amelia, yang entah kapan akan menghadapi badai keras kehidupan.
Jika suatu saat keadaan Amelia memburuk, transfusi dan cuci darah menjadi satu-satunya penolong terakhir yang bisa diharapkan.
Nafisha menatap jarum yang akan menusuk, hatinya dipenuhi kecemasan sekaligus tekad membara mengorbankan dirinya demi mendapatkan uang untuk memenuhi gaya hidup mewahnya, meskipun ia sedikit takut.
Jarum dingin itu menusuk lengan Nafisha dengan tajam. Darah merah pekat mengalir deras, menetes dan memenuhi kantong plastik bening sedikit demi sedikit.
Nafisha memejamkan matanya, merasakan setiap tetes darah yang keluar seolah mengalir langsung dari jiwa terdalamnya, memberi irama tenang pada kekacauan yang bergemuruh di dalam dada.
Dalam hening itu, dia merasakan perpaduan antara sakit yang menusuk dan ketenangan yang aneh seperti melepaskan beban berat yang sudah lama terpendam.
Tanpa Nafisha sadari hidupnya akan menjadi menderita, dan kematian sudah semakin dekat.
Setelah beberapa saat, kantong darah itu penuh bukti Nafisha menepati janjinya. Donor itu bukan di lakukan sekali, melainkan ritual yang terus berulang setiap tiga hingga empat bulan, hingga akhirnya keluarga Smith tak lagi membutuhkannya.
Namun, setiap kali jarum itu menusuk kulitnya, Nafisha tak pernah sendiri. Liam selalu ada, berdiri di sampingnya sebagai wakil keluarga Smith, diam namun penuh arti.
Meski tubuhnya terasa lemas dan langkahnya tertatih usai donor, Nafisha berusaha menyembunyikan keletihan itu. Liam menatapnya dengan hati yang miris, tapi ia menggeleng pelan, berusaha menahan gelombang rasa yang mengganggu ini bukan urusannya, pikirnya.
"Uang sudah aku transfer sesuai perjanjian," suara Liam memecah hening, tegap di samping Nafisha.
Nafisha mengangkat wajah dan tersenyum, sebuah senyum sederhana tapi mengandung kehangatan, "Oke, terima kasih."
Liam terhenti, terpaku. Senyuman itu persis seperti ibunya. Matanya terpejam sejenak, berusaha meredam gejolak emosi yang tiba-tiba membuncah di relung hatinya.
Sebuah perasaan campur aduk yang tak mudah ia jelaskan, namun sulit diabaikan.
'Tahan, Liam... kamu harus mengabaikannya. Dia tak pantas disebut saudara kandungmu!' Bisikan itu bergema dalam hati Liam, bak bara api yang membakar ketegaran di dadanya.
Di sudut lain, sosok misterius itu mengamati dengan tajam, sesekali jari-jarinya yang dingin menekan tombol kamera ponsel, menangkap setiap momen sebagai saksi bisu rahasia yang tak boleh bocor.
Sampai Nafisha meninggalkan rumah sakit dan sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Setelah memastikan jejaknya, ia pergi tanpa meninggalkan jejak, lalu segera mengirim pesan berisi bukti-bukti itu kepada bosnya dengan dingin.
"Hari ini, hari pertama dia donor darah. Ditemani Tuan Muda Smith," tulisnya singkat, namun setiap katanya menimbulkan gelombang dalam permainan yang sedang dijalankan.
Di tempat lain, ponsel itu bergetar di tangan seseorang. Sekilas ia menatap layar, sudut bibirnya terangkat tipis senyum dingin yang penuh kemenangan.
Pesan dari anak buahnya membisikkan kabar sukses yang membuat hatinya mengeras. “Nikmatilah hari-harimu, Nafisha,” pikirnya dengan dingin, “sebelum hari malapetaka itu datang dan mengubah segalanya.”
Di balik senyum itu tersembunyi ancaman yang menunggu untuk meledak, membawa badai tak terelakkan yang siap meluluhlantakkan kebahagiaan itu.
...****************...
Di ruangan sepi, seseorang terlihat sibuk, melihat video dengan beberapa berkas penting di atas meja.
Dia membungkus rapi sesuatu ke dalam kotak, dengan catatan tapi tak ada nama sang pengirim.
Mengambil ponsel, dia menghubungi sebuah nomer rahasia di sana."Datang kemari!" setelah itu panggilan berakhir.
Tak lama, pintu di ketuk, seseorang masuk dan ia melihat sang Bos duduk di kursi dengan kotak di atas meja.
"Kirim ini ke rumah Smith, dan pastikan harus Tuan atau Nyonya Smith yang menerima paket ini!" perintah itu keluar bagaikan sesuatu yang harus segera di laksanakan tanpa bantahan.
Orang itu mengambil kotak, dan setelah itu berlalu meninggalkan orang misterius itu sendiri di dalam kamar temaram yang sunyi.
Orang itu bangun, dia berjalan pelan menuju jendela kamar dan bunyi nyaring dari tirai terdengar nyaring.
Keadaan langsung terang dari lampu jalanan yang ramai, udara malam yang hangat dan suasana ramai menjadi penanda betapa malam ini penuh semarak kebahagiaan sebelum malam spesial.
"Setelah ini mari tabur kebahagiaan sementara itu dengan racun mematikan!" dia membuka topeng, dan wajahnya langsung terlihat jelas, kilatan kemarahan dan rasa puas begitu terpancar saat ingat rencana yang ia susun sebentar lagi berhasil.
"Nafisha, kau mungkin tidak lagi menganggu ku, tapi dendam di kehidupan lalu akan tetap aku tuntut hingga kau benar-benar hancur!" Cassia tersenyum miring, dengan tangan terkepal di pinggir jendela kaca kamar Apartemennya.
Cassia memang tak ingin balas dendam lagi, dan dia berharap bisa menghapus kebencian ini. Namun, mimpi buruk akan kehancuran di masalalu terus berputar setiap malam.
Senyuman dari Nafisha dan Darian juga suara tawa mereka bagaikan belati panas yng menghujam Jantungnya, dia tak tahan.
Jadi ia berpikir untuk membalas Nafisha melalui tangan lain, keluarga Smith akan membalaskan dendamnya pada Nafisha.
"Aku tak peduli jika kau putri kandung Keluarga Smith, yang jelas, hidupmu akan hancur karena berani menampakkan lagi wajah busukmu itu di hadapan ku!" kata Cassia, dia tersenyum miring dan tangannya bergerak menarik tirai hingga kamar itu kembali gelap.
SRAKK!
...****************...
Pagi harinya.
"Cas, bisa aku bicara sebentar?" Arzhela mendadak masuk kedalam kamar, mengagetkan Cassia yang sedang bersiap.
"Zhel, ada apa? Masuk saja!" kata Cassia, senyumnya merekah seperti bunga persik di musim semi.
Arzhela masuk, langkahnya pelan nyaris tak terdengar di kamar luas milik Cassia.
"Cas, libur Natal sebentar lagi, apa kita akan kembali ke Amerika?" tanya Arzhela.
Cassia yang sebelumnya sibuk pada cermin di depannya seketika menoleh, dia menatap Arzhela yang tampak tak berpaling sedikitpun.
"Natal? Aku melupakan itu," gumam Cassia, dia tak ingat kapan terakhir kali merayakan Natal bersama keluarga, sebab di kehidupan dulu ia terlalu sibuk dengan Darian.
"Kamu lupa? Padahal jelas kamu adalah salah satu gadis yang paling suka perayaan natal," ucap Arzhela, dia nampak terkejut karena jelas ia tahu betul Cassia adalah salah satu anak muda pecinta natal.
"Libur tahunan akan tiba, aku akan pulang ke rumah dan merayakan Natal bersama kedua orang tua dan Kakak ku, kita akan buat rencana juga nanti, bagaimana?" usul Cassia, dia nampak semangat.
Tak ada salahnya merayakan tahun baru Natal di Amerika, dan setelah itu kembali melanjutkan rencana balas dendam pada Nafisha.
"Ok, jika butuh apapun jangan sungkan beritahu aku!" minta Arzhela, dia mengatakan itu karena tahu Cassia tak suka menerima bantuan.
"Iya, kita akan bicarakan ini setelah pulang kuliah nanti, setujukan?"
"Tentu, aku akan beritahu yang lain, bersiaplah sekarang!" Arzhela bangun, ia begitu semangat dan itu membuat Cassia hanya bisa terkekeh kecil.
selalu d berikan kesehatan 😃