NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ayah Tiri

Terjerat Pesona Ayah Tiri

Status: tamat
Genre:Tamat / Balas Dendam / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Romansa
Popularitas:23.6k
Nilai: 5
Nama Author: Grace caroline

Dia, lelaki yang kini menjadi ayah tiriku, adalah sosok yang takkan pernah ku lepaskan dari kehidupanku. Meskipun tindakan ini mungkin salah, aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala resikonya. Awalnya, dendamlah yang mendorongku mendekatinya, namun seiring waktu, cinta telah tumbuh di dalam hatiku. Tak ada satu pun pikiran untuk melepaskannya dari pelukanku.

Kini, ayah tiriku telah resmi menjadi kekasihku. Dia terus memanjakanku dengan penuh kasih sayang. Aku mencintainya, dan dia juga mencintaiku. Meskipun posisinya masih terikat sebagai suami ibuku, aku tidak peduli. Yang penting, aku merasa bahagia, dan dia juga merasakannya. Mungkin ini dianggap sebagai dosa, namun tak ada api yang berkobar tanpa adanya asap yang mengiringinya.

"Ayah, aku mencintaimu," apakah kalimat ini pantas untuk aku ucapkan?

AKAN LANJUT DI SEASON 2 YAA, HAPPY READING AND HOPE YOU LIKE:))

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 24. Bukan Wanita Panggilan

Hai guys, maaf ya mengganggu kalian di tengah seru-serunya membaca seperti ini. Aku hanya ingin mengatakan bila aku tidak bisa menuliskannya dengan lebih rinci soal hubungan s*ks.

Tapi aku usahakan untuk menuliskannya lebih halus dan aku yakin kalian akan bisa merasakannya. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca sampai bagian ini. Aku harap kalian menyukainya dan jangan lupa memberikan ulasan kalian:))

...................................

Tap ...

Tap ...

Tap ...

Masih dengan penuh kekesalan dan emosi yang memuncak Jelita terus melangkahkan kakinya menuju ke kelasnya berada. Ia terus menahan perasaannya yang saat itu meledak-ledak, membuncah dalam dadanya dan memaksanya untuk meluapkannya.

Ia masih juga kepikiran dengan semua perkataan Sinta mengenai dirinya dan juga wanita panggilan yang sempat Sinta berikan kepadanya. Jelita tidak habis pikir dengan gurunya itu, bagaimana bisa seorang guru yang seharusnya memberikan ajaran-ajaran baik kepada muridnya malah mengatakan semua kata-kata itu kepada dirinya yang notabenenya adalah muridnya.

Jika tidak menyukainya tidak apa-apa, tapi jangan sampai mengatakan kata-kata yang sifatnya merendahkan seperti itu secara langsung yang tentu kita tahu akan menyakiti jiwa anak yang mendapatkan kata-kata itu. Jelita merasa sangat terluka dengan kata-kata itu. Secara tidak langsung ia merasa jika tindakannya pada Revan sudah tersinggung dengan kata-kata Sinta mengenai wanita panggilan.

Seperti dirinya memanglah wanita panggilan ataupun seseorang wanita malam yang pekerjaannya seperti itu. Menjual tubuhnya hanya demi uang.

Aarrgghhh ...

Rasanya Jelita ingin membanting apapun yang ada di sekitarnya saat ini, emosinya benar-benar memuncak. Perkataan Sinta sudah sangat melewati batas, sudah melewati segala norma dan tata krama yang ada di sekolah ini.

Ingin rasanya ia menghajar wanita itu jika saja Jelita tidak ingat jika dia adalah gurunya. Tangannya sudah teramat gatal ingin segera menghukum wanita itu atas segala perkataannya, namun Jelita masih bisa menahan semuanya, mengingat wanita itu adalah gurunya di sekolah.

Tidak bisa untuknya melakukan itu, karena jika ia tetap melakukannya  pasti dirinya yang akan terkena masalah dalam hal ini dan tentu itu akan mempengaruhi kelulusannya.

Karena jika ia mengatakan yang sejujurnya sekalipun tak ada seorangpun guru yang akan mempercayainya atau mendukungnya.

Bagaimanapun, saat itu yang terlihat hanyalah Jelita yang menghajar Sinta, dan luka-luka di tubuhnya dapat digunakan sebagai bukti bahwa Jelita tidak memiliki sopan santun dan tata krama terhadap gurunya sendiri.

Lalu di tengah perjalanannya, tiba-tiba ia dihadang oleh sekelompok anak yang selalu membencinya dan iri terhadapnya sejak dulu. Gerombolan anak-anak itu dengan jelas tampak menghalangi jalannya, membuat Jelita terpaksa menghentikan langkahnya.

"Kenapa? mau cari masalah lagi?" tanya angkuh Jelita kepada semua anak-anak yang menghadang jalannya.

Sejak dulu ia sangatlah benci kepada semua anak-anak itu terutama terhadap bosnya. Viona, gadis yang sialnya adalah saingannya di sekolah ini sangatlah gencar membuat masalah terhadapnya. Hampir beberapa kali Viona dan gengnya selalu membuat rusuh dan mencari masalah terhadap Jelita dan juga kedua temannya, hingga membuat Jelita yang merasa resah akan hal itu segera saja turun tangan.

"Lu kenapa sih pakai masuk lagi? udah bener-bener lu nggak masuk dan semua perhatian semua orang di sekolah ini tertuju sama gue. Sama kecantikan gue. Lo tuh sebenarnya sakit apa sih, nggak niat lu sekolah, hah?! gue sampai heran ya, sebenarnya apa sih yang orang-orang lihat dari Lo? perasaan gue juga punya apa yang lo punya. Badan gue juga bagus, wajah gue juga cantik apalagi gue jauh lebih kaya dari lo ...," 

"Perusahaan bokap gue ada di mana-mana, sementara lu, lu hanya orang kaya biasa yang jauh di bawah gue. Gimana bisa sih orang-orang jauh lebih tertarik sama lo daripada gue. Badan kayak wanita malam gini kok disukain sih, buta apa mereka?" sialan. Setelah Jelita merasa emosi dengan perkataan Sinta yang melewati batas, ia harus kembali merasakan emosinya memuncak dengan perkataan Viona yang jauh lebih parah dari perkataan Sinta beberapa saat lalu.

Dia merendahkannya, mengejeknya dan bahkan menyebutnya wanita malam seperti yang Sinta sebutkan padanya. Rasanya Jelita sudah tak dapat menahan lagi. Ia tarik rambut Viona dan membanting tubuhnya dengan kasar ke lantai di depannya.

Brakk ...

Sontak semua teman-teman Viona datang mengerumuninya dan membantunya berdiri. Mereka terlihat begitu khawatir dengan kondisi Viona yang saat itu tampak merasakan sakit di lututnya yang tergores oleh lantai, meninggalkan goresan-goresan yang terlihat jelas.

"Lo?! berani-beraninya ya Lo ngelakuin ini ke gue? mau Lo apa, hah?!" Ia merasa marah dan tidak terima dengan apa yang telah dilakukan oleh Jelita.

Dengan gerakan tubuh yang penuh keberanian, Viona melangkah mendekati Jelita. Setiap langkahnya dipenuhi dengan ketegasan dan keangkuhan, mencerminkan kekuatan yang terpendam di dalam dirinya. Ia ingin menghadapi Jelita dan menunjukkan betapa kuatnya ia.

Namun, saat Viona hampir mencapai Jelita, ia terkejut melihat senyuman sinis yang terukir di wajah Jelita. Senyuman itu seperti pisau yang menusuk hati Viona, menambah api kemarahan yang sudah membara di dalam dirinya. Gerakan tubuh Jelita yang penuh keangkuhan dan ketajaman membuat Viona semakin terbakar oleh dendam yang membara.

Namun, di balik senyuman sinis itu, Viona melihat kilau kepercayaan diri yang begitu kuat di mata Jelita. Ia menyadari bahwa senyuman itu bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk ketegasan dan keberanian. Jelita tidak takut menghadapi Viona, bahkan dengan segala amarah yang terpancar dari dirinya.

Melihat itu, Viona merasa terdorong untuk menunjukkan bahwa ia juga memiliki kekuatan dan keberanian yang sama. Ia memilih untuk tidak membiarkan senyuman sinis itu meruntuhkan semangatnya. Dengan gerakan tubuh yang penuh keberanian, Viona menghadapinya dengan tatapan tajam yang menyiratkan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.

Dalam pertemuan mereka, atmosfer penuh tegangan dan ketegangan. Gerakan tubuh dan tatapan tajam mereka saling bertautan, mencerminkan perseteruan yang mendalam di antara mereka.

"Kenapa gue harus takut? emangnya lo siapa sampai harus bikin gue takut sama lo. Udah ya, gue nggak mau berurusan sama lo. Kalau masih pengen tubuh Lo sehat, Jangan pernah bikin masalah sama gue. Gue nggak akan segan-segan nyakitin siapapun yang udah dengan beraninya menghina gue kayak gini. Lu kira dengan gue diem kayak gini lu menang? enggak. Gue diem karena gue ngerasa nggak ada gunanya juga gue buat ngeladenin lo ...," 

"Dasar, kelakuannya gak ada bedanya, sok sokan ngehina gue. Mending lu berkaca diri deh, lihat diri lo itu udah bener atau belum. Hidup masih berantakan sok-sokan ngehina gue. Mana nyebut gue wanita malam lagi. Kayak diri sendiri nggak aja." setelah selesai mengatakan itu dengan hati yang terluka, Jelita memutar tubuhnya dan mulai naik ke atas tangga menuju kelasnya yang berada di lantai atas.

Wajahnya masih dipenuhi dengan emosi yang memuncak. Dua orang telah menyebutnya sebagai "wanita malam", dan rasa sakit dari kata-kata itu masih terasa begitu dalam. Jelita merasa ingin segera pergi dari sekolah ini, menyelesaikan pendidikannya, dan membebaskan dirinya dari semua kata-kata menyakitkan itu. Tapi di saat yang sama, ia juga merasa terdorong untuk melanjutkan rencana dendam yang telah ia mulai.

Lalu di pertengahan langkahnya tiba-tiba ia mendengar ponselnya berbunyi dan itu menandakan jika ada seseorang yang mengirimnya pesan. Sontak Jelita pun menghentikan langkahnya dan membuka ponselnya.

"Sayang, maaf ya. Aku ingin meminta izin sama kamu. Aku tadi udah kelepasan untuk ingin mengajak Bunda kamu pergi jalan-jalan ke luar kota. Aku kelepasan karena aku bingung untuk akan memberikan alasan apa saat Bunda kamu tiba-tiba nanya soal parfum yang tercium di tubuh aku ...,"

"Maaf ya. Aku harus mengecewakanmu kali ini. Aku harap kamu mengizinkan kita untuk pergi liburan dan mengatakan yang baik-baik sama Bunda kamu biar dia nggak curiga. Semalam itu saat dia mencium aroma parfum kamu di tubuh aku, dia langsung menatap aku tajam gitu. Kayak curiga kalau aku ada macam-macam sama perempuan lain di belakangnya ...," 

"Sayang, aku mohon kamu jangan marah ya. Aku janji setelah pulang dari liburan ini aku akan ajak kamu liburan yang jauh sebagai gantinya, aku akan ngelakuin apapun yang kamu mau dan ngabulin apapun yang kamu minta, tapi please jangan marah ya. Aku mohon." 

Apa-apaan ini?! dia mau cari masalah ya?! Jelita langsung saja ingin membanting hp-nya melihat pesan long teks dari Revan yang meminta izin kepadanya untuk pergi liburan bersama bundanya.

Apa maksudnya dia ini? dia ingin memamerkan acara liburannya kepada dirinya atau apa?

Lalu dengan tanpa membalas apapun Jelita segera saja menyimpan ponselnya kembali di dalam saku baju seragamnya dan melangkahkan kakinya menuju ke kelasnya.

"Sialan! kayaknya semua orang lagi demen banget bikin gue kesel hari ini. Nggak Bu Sinta, Viona, Revan. Semuanya sama aja. Ngeselin. Pake ada acara liburan lagi, nggak bisa apa dia ngasih alasan lain bukan alasan itu ...,"

"Huh, sialan. Kayaknya gue harus gagalin ini. Dia gak boleh pergi liburan sama bunda. Sampai kapanpun nggak akan bisa. Tapi, apa yang harus gue lakuin untuk gagalin itu? ehm, ya, gue ada cara. Dan dari cari ini gue yakin dia dan bunda gak bakalan bisa liburan." batin Jelita setelah membaca semua pesan yang Revan kirim.

....................................................................

Sementara itu di dalam rumah, tampak Revan mati-matian menahan hasratnya yang tiba-tiba muncul melihat Widya yang berusaha menggodanya dengan beragam gaya. Mulai dari mengganti pakaiannya dengan lingerie yang memperlihatkan keindahan tubuhnya dengan jelas di depan mata Revan. Aroma tubuhnya pun menggoda, membuat Revan berusaha menutupi hidungnya agar tidak tergoda oleh keharuman itu.

Namun, Widya yang melihat Revan menghindar dari godaannya, tidak menyerah begitu saja. Ia mendekati Revan dengan langkah lembut, lalu duduk manja di pangkuannya. Dengan antusias, Widya mendekatkan wajahnya ke wajah Revan dan mencium bibirnya dengan nafsu dan hasrat yang membara.

Dia tidak memberikan satupun jeda pada Revan untuk bernafas atau bahkan bertanya mengapa tiba-tiba ia begitu bersemangat. Tanpa henti, ia terus mencumbui Revan, melumat bibirnya dengan nafsu yang membara.

Di tengah kehangatan yang melanda, Revan merasakan denyutan yang memenuhi seluruh tubuhnya. Setiap sentuhan dan ciuman dari Widya membuatnya terhanyut dalam gelombang perasaan yang begitu kuat. Meskipun ada keinginan untuk menahan diri, Revan merasa sulit untuk menolak godaan yang begitu menggoda.

"Sayang, udahh, akku capekk sayang. Aku mau istirahat dulu. Bentar lagi aku mau ke kantor, ahhh ..." Revan berusaha menghentikan aksi Widya yang terus-menerus menghujaninya dengan cumbuan dan godaan yang tak terhitung jumlahnya.

Namun, tidak peduli dengan apa yang dikatakan Revan, Widya tetap fokus pada tujuannya untuk membuat Revan terlena dan terjebak dalam permainannya. Ia tidak ingin suaminya lepas begitu saja. Dengan setiap aksi yang dilakukannya, Widya berharap Revan akan melupakan wanita yang menjadi simpanannya.

Dugaan-dugaan yang menghantui pikiran Widya terus mengganggunya. Ia merasa terpanggil untuk mengambil tindakan ini, meskipun itu berarti mencegah Revan pergi ke kantor. Rasa cemburu yang melanda pikirannya membuatnya kehilangan kendali.

Setelah menemukan bukti-bukti yang memperkuat kecurigaannya, Widya tidak bisa membiarkan Revan pergi ke mana pun. Ia tidak bisa tenang membiarkan suaminya bebas dan bertemu dengan wanita simpanannya.

Dalam kegelapan pikirannya yang dipenuhi cemburu, Widya melancarkan berbagai aksi. Revan akhirnya terjebak dalam permainan yang Widya ciptakan. Ia merasa tak kuat menghadapi apa yang Widya lakukan padanya.

Akhirnya, Revan membalas dengan melumat bibir Widya, membawa Widya terbaring di atas tubuhnya. Dalam momen itu, ada kekuatan yang tak terbendung di antara mereka. Meskipun terjebak dalam permainan yang rumit, mereka juga merasakan kekuatan cinta yang masih mengikat mereka bersama.

 

"Mas, eughh ..." Widya sontak men-de-sah setelah mengetahui tangan nakal Revan langsung menelusup masuk ke dalam lingerinya dan berhenti pada dua gundukan kenyalnya yang saat itu tertempel manis pada dada bidang Revan.

Rasanya begitu menggoda, membuat Revan tidak bisa menahan diri dan akhirnya meremasnya dengan penuh nafsu. Revan terus memainkannya, meremas, memelintir, dan mengusap dengan penuh keinginan. Ia tidak bisa berpura-pura tidak menyukai tubuh Widya, karena kenyataannya, ia tergila-gila pada keindahan tersebut.

Semua godaan panas yang diberikan oleh Widya membuat Revan terlena dan akhirnya mengikuti permainannya, meski dalam hal ini dia akan kembali menyakiti Jelita karena sebelumnya dia tidak mengatakan pada Jelita jika dia akan bermain dengan bundanya saat ini.

"Sayang, tunggu, kita ke kamar aja yuk biar lebih enak." ucap Widya dengan suara lembut. Nafasnya terlihat terengah-engah, mencoba untuk mengatur napasnya yang terburu-buru.

Revan baru saja memainkan gundukan kenyal di tubuhnya, dan itu sudah cukup untuk membuat Widya kehilangan kendali. Nafsu di dalam dirinya semakin memuncak, dan ia merasakan keinginan yang tak terbendung untuk melahap Revan dengan penuh gairah.

"Sayang, kamu lagi haid kan, kok mau ngajak main?" tanya Revan.

"Udah sembuh sayang. Gak tau tadi pas aku liat udah berhenti darahnya. Yuk, kita langsung ke kamar aja. Udah gak tahan nich, rasanya gatel banget, panasss .." lalu Revan yang mengetahui Widya menggelinjang parah segera saja bangkit dari duduknya dan beranjak menggendong Widya ala bridal style menuju ke kamar mereka di lantai atas.

.....................................

Setibanya di kamar, Revan segera menidurkan Widya di ranjangnya dengan penuh kelembutan. Dengan kasih sayang yang meluap, dia naik ke atas ranjang dan mendekatkan dirinya pada Widya yang tergolek di sana, penuh dengan nafsu yang membara.

Sembari menelan ludah, Revan kembali menyodorkan bibirnya pada bibir mungil Widya, men-ciu-m-nya dengan penuh nafsu.

Ia merasakan kehangatan dan kelembutan bibir Widya yang membangkitkan g4ir4hnya. Tangannya merayap perlahan ke bukit kembar Widya, m3r3m4snya dengan semangat yang membara. Nafsu di tubuhnya semakin memuncak, dan dia tidak bisa menahan diri lagi.

Kini, Revan tidak hanya m3lumat bibir Widya, tetapi juga lehernya, hingga mencapai bukit kembarnya yang tertutup oleh lingerie yang masih terbungkus cantik di tubuhnya. Dengan penuh keinginan, Revan melepas lingerie itu dan kembali m3njilati dan m3rem4s bukit kembarnya dengan penuh g4irah.

Widya menggelinjang tak karuan saat Revan terus memainkan bukit kembarnya. Dia men-de-sah dan mengeratkan pelukannya pada leher Revan, menikmati sentuh4n yang diberikan.

Permainan mereka berlanjut, Revan m3lep4s seluruh pakaiannya dan mendekati Widya. Dia berjongkok di sebelah kakinya, membuka lebar kaki Widya, menampakkan goa yang sudah sangat basah.

Revan mendekatkan kepalanya pada pintu goa itu, menjilatinya dan melumurinya hingga licin. Semangat Revan begitu membara, membuat Widya tak kuat menahan de-sa-han dan meminta Revan untuk melanjutkan ke permainan utama.

Lalu, pisang Revan yang sudah tegang dengan penuh kelembutan diarahkan pada goa Widya yang sudah basah. Revan dengan lembut mengusap-usap goa itu, merasakan kelembutan dan kehangatan yang membuat gairah keduanya semakin membara.

Dengan penuh keinginan, dia memasukkan pisangnya secara perlahan ke dalam goa Widya, menikmati sensasi yang semakin dalam.

Widya merasakan sentuhan yang begitu intim dan penuh kasih sayang dari Revan. Dia merasakan kehadiran pisang Revan yang memenuhi goanya dengan penuh perasaan. Setiap gerakan Revan membuat Widya semakin terbuai dalam kenikmatan yang tak terkendali.

Mereka saling melengkapi satu sama lain, menemukan keintiman yang mendalam dalam permainan ini. Revan dengan lembut menekan pisangnya semakin dalam, memperkuat sensasi yang mereka rasakan. Widya merasakan gelombang kenikmatan yang melanda tubuhnya, membuatnya terhanyut dalam perasaan yang begitu intens.

Widya memejamkan matanya, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Revan. Dia merasakan setiap gerakan pisang Revan yang membawa mereka berdua ke puncak kenikmatan. Keduanya saling memenuhi hasrat dan keinginan, menciptakan momen yang tak terlupakan di antara mereka.

Dalam kehangatan dan kelembutan, Revan dan Widya menikmati permainan yang membawa mereka pada ekstase. Mereka saling berpadu dalam getaran kenikm4tan yang semakin menggelora. Setiap sentuh4n, gerakan, dan de-sa-han menggambarkan cinta dan g4irah yang mereka rasakan satu sama lain.

Akhirnya, dalam kepuasan yang melimpah, Revan dan Widya saling berpelukan, merasakan kehangatan tubuh mereka yang masih dipenuhi oleh keintim4n yang baru saja mereka alami. Mereka menikmati momen setelah permainan, saling berbagi ci-um-an dan bisikan sayang yang penuh dengan rasa syukur atas kehadiran satu sama lain.

...................................

Sementara itu, di dalam ruang kelasnya, Jelita merasa hatinya melayang bebas, menjauh dari keramaian suara monoton guru dan keriuhan teman-temannya. Pikirannya terus-menerus terhanyut dalam khayalan tentang Revan yang mengungkapkan keinginannya untuk pergi berlibur bersama ibunya, dalam istilah yang manis, mereka menyebutnya bulan madu.

Setiap kali Jelita memandang papan tulis yang dipenuhi dengan rumus matematika atau mendengarkan suara guru yang menjelaskan pelajaran, pikirannya dengan cepat melayang ke tempat-tempat indah yang mungkin mereka kunjungi.

Ia membayangkan matahari terbenam di tepi pantai, pasir putih yang lembut di antara jari-jarinya, dan suara deburan ombak yang menenangkan di telinganya.

Meskipun pelajaran berakhir dan teman-temannya bergegas meninggalkan kelas, Jelita masih terjebak dalam dunianya sendiri. Pikirannya masih terus dipenuhi dengan rencana liburan Revan dan ibunya. Jelita merasakan kekesalan dan kemarahan yang memuncak saat ia membayangkan momen-momen kebersamaan yang mereka bagikan.

Tanpa sadar, tangannya mulai mengepal erat, mencerminkan ketegangan dan ketidakpuasannya. Ia membayangkan tawa ceria yang akan mengisi udara, namun sebaliknya, hanya ada rasa frustrasi yang melingkupi pikirannya.

Setiap kali ia membayangkan momen-momen kebersamaan yang dipenuhi dengan kehangatan pelukan di bawah sinar matahari yang hangat, kemarahan di dalam dirinya semakin membara.

Ia merasa bahwa momen-momen tersebut tidak layak mereka nikmati. Rasa amarah memenuhi pikirannya, karena ia merasa bahwa kebahagiaan dan keintiman semacam itu tidak seharusnya terjadi bagi mereka.

"Sialan! kenapa aku malah kesel sih, kenapa aku harus marah coba? kalo mereka mau liburan Ya terserah mereka. Itu bukan urusanku, tapi kenapa perasaanku justru menjadi seperti ini?!" pikir Jelita di dalam hati. Merasa heran dengan dirinya yang justru merasa kesal dan marah mengetahui rencana Revan.

Perasaan yang tak biasa ini membuatnya bingung. Ia bertanya-tanya, mengapa ia yang seharusnya merasa biasa saja justru merasakan emosi negatif ini?

Apakah ini merupakan tanda-tanda bahwa Jelita sebenarnya memiliki perasaan yang lebih dari sekadar alat pembalasan dendam terhadap Revan? Apakah ada rasa cemburu yang muncul dalam hatinya ketika Revan mengungkapkan rencana liburan bersama ibunya? Jelita merasa kebingungan dan terkejut dengan perasaan yang tak terduga ini.

Bersambung ...

Note: Terima kasih ya sudah membaca dan nantikan bab selanjutnya:)

 

1
Putri rahmaniah
jelita lebih cocok dengan Revan ,,dibanding sma ibunya Thor..
◍•Grace Caroline•◍: yes😇😇
total 1 replies
Norah Haderan
jadi penasaran
◍•Grace Caroline•◍: hehe nantikan terus ya kak
total 1 replies
Norah Haderan
guru kok gitu/Smug/
◍•Grace Caroline•◍: hehe maklum kak, udah cinta ya gitu😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!