Keira Maheswari tak pernah menyangka hidupnya akan berubah begitu drastis. Menjadi yatim piatu di usia belia akibat kecelakaan tragis membuatnya harus berjuang sendiri.
Atas rekomendasi sang kakak, ia pun menerima pekerjaan di sebuah perusahaan besar.
Namun, di hari pertamanya bekerja, Keira langsung berhadapan dengan pengalaman buruk dari atasannya sendiri.
Revan Ardian adalah pria matang yang perfeksionis, disiplin, dan terkenal galak di kantor. Selain dikenal sebagai seorang pekerja keras, ia juga punya sisi lain yang tak kalah mencolok dari reputasinya sebagai playboy ulung.
Keira berusaha bertahan menghadapi kerasnya dunia kerja di bawah tekanan bosnya yang dingin dan menuntut.
Namun, tanpa disadari, hubungan mereka mulai membawa perubahan. Apakah Keira mampu menghadapi Revan? Atau justru ia akan terjebak dalam pesona pria yang sulit ditebak itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teddy_08, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Wanita Pilihan
Keira memberanikan diri menapaki anak tangga dengan langkah perlahan dan hati-hati. Maklum, ia sedikit trauma karena pernah terguling dari tangga di masa kecil.
Tangannya mulai gemetar. Tapi ia bersih keras menahan rasa trauma yang menderanya. Kakinya terus melangkah, perlahan tapi pasti.
Tak … tak!
Suara langkah kakinya terdengar sedikit berdentum menyentuh anak tangga yang ditapaki pertanda berhati-hati.
Ia tersenyum sedikit lepas mengamati sekeliling. Rasanya kerinduan akan rumah lamanya terobati. Nuansa yang sama dengan dekorasi kediaman keluarganya.
Cat dinding serba cream dikombinasikan dengan gold adalah pilihan dekorasi ruangan pemilik rumah.
Pandangannya terkunci pada sebuah pintu bergagang emas. Dengan ukiran bernilai seni khas Eropa klasik. Menambah kemegahan hunian itu.
“Itu pasti kamar Pak Revan,” lirihnya. Sambil mempercepat langkahnya.
Pintu kamar Revan terempas terbuka. Keira yang kebetulan hampir membuka pintu memekik kaget.
Sosok pemilik tubuh tinggi, tegap terhuyung menubruknya. Sontak Keira menangkapnya. Tapi tubuh itu terlalu berat, hingga ia tak mampu menahannya justru terdorong mundur dan sama-sama terpelanting di sofa sudut ruangan kamar.
Tubuh Revan setengah menindihnya, keringat bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Membuat Keira panik seketika.
“Pak Revan kenapa?” Keira mendorong tubuh Revan agar bangkit dari tubuhnya.
“Tiba-tiba kepalaku sakit, sepertinya karena tidak sempat sarapan tadi pagi. Lapar lebih tepatnya. Rasanya kunang-kunang banyak seliweran di mataku.” Revan beranjak bangkit dan sempoyongan berpindah ke kasur.
Keira pun perlahan bangun dan mendekatinya, “Pak Revan di sini saja, biar Keira yang ambilkan makan siangnya.”
Menit kemudian, langkahnya tercekat, tubuhnya tidak bisa digerakkan meski sedikitpun. Ketika menoleh ternyata tangan Revan mencengkeram lengannya.
“Kamu adalah tamu di rumah ini, masa iya tamu melayani Tuan rumah?”
“Tapi jangan lupa, kalau aku juga asisten Bapak. Sudah, jangan banyak protes! Tiduran saja,” terang Keira. Kemudian segera pergi meninggalkan kamar.
Ia bahkan lupa jika trauma dengan tangga, langkahnya berlari kecil menuju dapur.
Maggie terkejut mengetahui kedatangan Keira seorang diri. Terlebih gadis itu memasang raut cemas di wajahnya.
“Ada apa, Keira?” tanya Maggie, menghampiri.
“Pak Revan mendadak pusing, katanya berkunang-kunang. Tan, saya permisi. Bolehkah saya menyiapkan makanan siang Pak Revan dan membawakan ke kamarnya?” Keira meremas ujung kain pakaian yang dikenakannya.
Maggie tersenyum. Ia sudah menduga jika Keira orang yang tepat, yang mampu mengerti dan menyediakan segala kebutuhan Revan.
“Silahkan, ayo Mama bantu,” balas Maggie kemudian mulai mengambil nampan.
Sementara Keira menggapai piring dan mulai menata makanan di atasnya. Tak lupa ia juga membawakan teh dingin yang tidak terlalu manis, atau lebih tepatnya tawar.
“Tante, aku sedikit trauma dengan tangga. Waktu kecil aku pernah terjatuh. Bisakah membantuku naik ke atas?” Keira memasang wajah paling melas agar Maggie mengerti.
“Lewat lift saja, memangnya gak tahu kalau ada lift di samping tangga? Ayo Tante tunjukkan. Tante ikut deh, sekalian memastikan keadaan anak kesayangan,” ujar Maggie, ia berjalan mengekor di belakang Keira.
Diam-diam, Maggie memperhatikan setiap sikap yang ditunjukkan Keira pada Revan. Tepat di depan pintu, gadis itu mengetuk pintu dahulu sebelum masuk. Kemudian meletakkan nampan berisi makanan di atas meja, setelahnya ia membantu Revan untuk duduk dan bersandar di sisi ranjang.
“Mama ngapain sih ikutan ke sini? Ganggu usaha Revan aja,” kesal Revan saat menemukan Maggie berdiri diambang pintu.
“Eh, enak saja dibilang pengganggu. Mama ‘kan mau bantuin. Kamu kenapa?”
“Mungkin hanya lelah, lagi banyak pikiran, Ma. Ada project yang gagal. Selain itu tadi pagi gak sempat sarapan,” keluhnya terlihat lesu.
“Bismillah, Pak. Aaa … dibuka mulutnya,” pinta Keira.
Revan terkejut, gadis itu nekad menyuapi makanan tepat di depan mamanya. Astaga. Mungkin gadis ini polos. Tapi justru itu yang membuat Maggie terkesan. Sedangkan Revan dibuat malu di depan ibunya.
“Usai, Pak Revan makan. Saya naik taksi, ya Pak. Kembali ke kantor. Gak enak sama yang lainnya. Saya ‘kan kerja Bapak gaji.” Keira terus memasukkan makanan ke bibir bos-nya.
“Memang yang gaji kamu mereka?” tanya Revan rautnya berubah muram.
Maggie sangat mengerti, jika putranya yang seorang playboy itu sedang jatuh cinta pada gadis yang terpaut jauh usianya.
“Keira, benar kata Revan. Kamu ‘kan asisten pribadi dia. Tuh bos kamu lagi sakit, butuh perhatian kamu! Tinggal saja dan tidur di kamar tamu,” sergah Maggie.
Tentu hal itu sambut senang oleh Revan. Di saat tepat sang mama begitu mengerti maunya. Mungkin karena usia Revan sudah tak lagi muda.
Maklum, teman-teman seusianya sudah memiliki anak. Di tempat arisan, Maggie juga sering ditanyai terus kapan putranya menikah, kapan memiliki cucu. Hal itu membuat perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu bersemangat saat mengetahui ada kesempatan.
“Iya deh Tante, tapi saya mau pulang ambil baju ganti,” rengeknya.
“Tante dan Revan akan sediakan. Tidak perlu memikirkan apapun. Yang penting kamu temani Revan saja ketika ia butuh,” ujar Maggie.
Astaga, bisa mateng Keira jadi tawanan pria dewasa seperti Revan. Ia bahkan seperti menikmati kepanikan asistennya. Ada rasa senang yang tidak dapat ia sembunyikan.
***
20.00 WIB — Kamar Revan di Kediaman Keluarga.
“Mam, kapan Papa pulang?” tanya Revan saat hendak bersiap tidur di kamarnya.
Saat itu Maggie menyempatkan diri menghampiri Revan untuk sekedar bercengkerama. Kebersamaan keduanya memang jarang. Maggie merasa beruntung dengan kehadiran Keira yang ia yakini mampu mendekatkan sang putra dengan dirinya.
Sejak gagal menikah, Revan jarang pulang. Bahkan ia memilih menghabiskan hidupnya dengan bekerja. Pemuda itu memang workaholic. Hal yang paling dibanggakan keluarga besarnya.
“Katanya sih tiga hari lagi,” jawab Maggie penuh keraguan.
Maggie masih linglung. Memikirkan usia putranya yang tak lagi muda, tapi tetap saja ingin bermain-main dengan banyak wanita di luar sana.
Tentu Maggie cemas, ibu mana yang tidak menginginkan putranya mendapatkan yang terbaik. Seringkali ia memikirkan banyak wanita yang dipermainkan Revan balas dendam.
Hal ini juga yang selalu mengusik pikirannya dan menginginkan putranya segera menikah dan mendapatkan pendamping yang sesuai keinginannya.
Maggie menghela napasnya yang semakin berat. Ya. Citra buruk playboy yang melekat dalam diri Revan membuatnya cemas.
Kegagalan Revan dalam jalinan asmara yang membawanya di ambang pernikahan, ternyata menyisakan luka tersendiri baginya. Trauma pada perempuan membuatnya dendam. Bahkan ia mulai berubah jadi liar dan selalu mempermainkan wanita dengan kencan satu malam saja.
“Kenapa Mama terlihat cemas?” tanya Revan berhati-hati. Buku jemarinya menggenggam erat tangan sang mama. Berusaha memberi efek tenang pada wanita yang telah melahirkannya.
“Mama ingin kamu menikah,” ucap Maggie singkat.
Senyuman manis melengkung sempurna dari bibir Revan. Ia bagaikan mendapat lampu hijau dari sang ibu.
“Benarkah?” tanyanya, ragu dan ingin memastikan. Meskipun ia tahu betul jika ibunya berulang kali bertanya perihal kapan menikah.
“Ya, aku kan pengen gendong cucu. Kamu ini gimana sih, tapi tentu tidak sembarang perempuan yang boleh kamu nikahi,” terang Maggie, sambil duduk di samping putranya.
“Perempuan yang seperti apa yang menjadi pilihan Mama untuk Revan nanti?” tanya Revan mencari tahu.
“Keira. Mama ingin ia yang menjadi pilihan kamu,” jawab Maggie dengan tatapan lurus ke depan. Suaranya terdengar mantap, penuh penekanan dan keyakinan yang hakiki.
Revan tidak menjawab. Tapi ia tersenyum dan berhambur memeluk Maggie. Ia mencium kening ibunya seketika, melukiskan rona bahagia di wajahnya.
— To Be Continued