Nayla adalah mahasiswa yang ingin kuliah dengan baik, tanpa ada hambatan apapun. Urusan cinta, tidak dipikirkan sebelum kuliahnya selesai. Annisa memiliki sifat yang sedikit sembrono dan pelupa. Tidak ada pikiran sebelumnya jika dia akhirnya bisa menikah dengan kakaknya sendiri. Hingga terbongkarnya sebuah kenyataan merubah tatanan kehidupannya termasuk rumah tangga yang baru seumur jagung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan kak fahmi
Acara pernikahan Surya berlangsung lancar. Surya adalah kakak sepupuku yang paling dekat denganku. Dua hari pasca pernikahannya dengan Dewi, kak Surya sudah memboyong Dewi ke rumah barunya yang berjarak hanya dua rumah dari rumah orang tuaku hingga aku bebas saja ke rumahnya.
“Cieeee, kak Surya nikah juga. Udah ada teman nih buat curhat.” Ledekku saat kak Surya hendak ke dapur
“Iya dong, aku gak perlu lagi curhat sama anak kecil.” Jawab kak Surya.
Seketika aku mengerucutkan bibir.
“Kak Surya jahat..” Aku memalingkan muka.
“Duh.. jangan ngambek gitu dong, tambah jelek. Kakak bercanda kok.” Kak Surya merangkul bahuku.
“Assalamu’alaikum..” Seketika kami menoleh saat seseorang mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam. Wahyu.!” Aku terkejut melihat siapa yang datang.
“Eh, Nayla kamu disini juga ternyata.” Jawabnya santai.
Sebenarnya tidak salah ada Wahyu disitu karena Dewi adalah keluarga dekatnya, jadi wajar saja dia datang.
“Wahyu, kapan tiba dari Bandung?” Tanya kak Surya menyudahi keterkejutanku.
“Ini baru aja nyampe kak, makanya aku baru sempat kesini.”
“Ya sudah, aku panggilin Dewi dulu ya.
Kak Surya berlalu meninggalkan aku dan Wahyu dengan suasana yang entah apa aku tidak dapat menafsirkan.
“Ehem, Nayla selamat ya atas pernikahanmu. Maaf aku tidak sempat hadir saat itu.” Ucapnya memecah keheningan antara kami.
“Terima kasih.” Ucapku datar.
“Nay, boleh tidak aku ngomong sedikit sama kamu?” Tanya Wahyu serius.
“Ini juga dari tadi kamu ngomong Yu.” Ucapku masih datar.
“Begini Nay, waktu pernikahan itu…”
“Sudahlah Yu, aku tidak mau bahas itu lagi.” Ucapku memotong kalimat Wahyu.
“Ya sudah, aku hanya ingin menjelaskan sesuatu yang tidak kamu ketahui tentang Fahmi.” Ucapnya
“Ada apa dengan kak Fahmi?” Tanyaku mulai penasaran.
“Fahmi sangat menicintaimu, makanya dia rela nyusul kamu kesini waktu kamu pergi tanpa pamit. Saat dia mengatakan kamu telah menghancurkan masa depannya, itu sebenarnya hanya alibi agar kau membencinya dan menghindar darinya. Dia tidak mau kamu terikat dengannya namun hatimu tidak bersamanya. Fahmi tidak mau kamu tersiksa karena dirinya, tapi dia tidak sanggup untuk mengucapkan kata cerai. Dia ingin kamu membencinya hingga dia sanggup untuk mberpisah denganmu. Tapi saat kamu pergi, dia malah tersiksa. Dia merasa bersalah hingga rela menyusulmu.” Jelasnya panjang lebar.
“Darimana kamu tau semua itu, dan kenapa kamu juga malah menghilang saat itu?” Tanyaku makin penasaran.
“Aku dan Fahmi sudah kenal cukup lama, semenjak aku kembali ke Jakarta aku sudah kenal dengannya. Hingga kami jadi dekat saat orang tuamu dan orang tuaku sering bertemu untuk membahas perusahaan atau bahkan sekedar makan malam. Saat pernikahan itu, awalnya aku tidak tau kenapa aku berada di dalam kapal. Namun, setelah aku mendapat penjelasan dari Fahmi, Dirga dan juga Ardi kakakmu, aku paham jika itu adalah ulah mereka semua.”
“Aku mendapat penjelasan itu setelah resepsi pernikahanmu dengan Fahmi selesai. Awalnya aku tidak terima, tapi aku tidak mau menentang takdir. Aku harus menerima bahwa kamu tidak lagi mencintaiku, karena perbuatanku dimasa lalu. Fahmi mencintaimu sebelum kamu menemukan orang tua kandungmu. Saat itu kamu sedang melaksanakan praktikum di perusahaan milik ayahmu yang di kelola oleh Fahmi. Dia suka dengan caramu menggali informasi darinya saat kamu melakukan wawancara untuk tugas kuliahmu.
“Fahmi mengagumi etika dan sopan santunmu terhadap siapa saja yang kamu temui di perusahaan itu, hingga kamu yang membeli es lilin yang ada di depan kantor untuk teman-temanmu. Fahmi selalu menceritakanmu padaku saat kami bertemu, namun dia tidak memberitahukan nama dan Fotomu padaku makanya saat di rumah sakit, dia sedikit terkejut ketika mengetahui aku dank au itu saling kenal.” Lanjut Wahyu.
“Tunggu…tunggu, maksud kamu, kak Fahmi itu teman dekatmu?” Tanyaku makin tidak mengerti.
“Iya Nay, dia teman dekatku. Dia juga sempat merasa bersalah padaku setelah menikahimu, tapi aku memberi pengertian bahwa aku memang mencintaimu tapi tidak berarti harus memilikimu. Mungkin Fahmi adalah jodoh yang telah dikirimkan Tuhan untukmu. Mungkin ini karma dari Tuhan atas apa yang aku lakukan dimasa lalu, kamu dan Annisa telah menjadi milik orang.” Jawabnya panjang lebar.
“Jadi orang yang selama ini ngirim surat itu kak Fahmi.” Tanyaku.
“Surat..?” Tanyanya bingung.
“Mungkin aja Nay, karena aku sempat lihat dia nulis surat tapi tidak tau surat apaan. Intinya, dia nulis surat di kertas warna bir langit dengan tinta hitam.” Jawab Wahyu.
“Ehem, lagi pada nostalgia masa-masa SMA ya.” Tanya kak Surya tiba-tiba nongol.
“Tidak kok kak. Eh Dewi.. maksudku kak Dewi mana kak?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Sejak kapan kamu manggil dewi dengan sebutan kakak Nay, dia itu adikmu loh.” Timpal Wahyu.
“Kan dia udah nikah sama kak Surya yang umurnya dikit lagi habis..ups..” Ucapku menahan tawa.
“Berani ya nyumpahin kakak sendiri hmm.” Ucap kak Surya menatapku tajam.
“Tidak kok kak, aku cuman bercanda. Aku cuman mau pamit pulang.” Ucapku bersembunyi di balik kak Dewi yang baru muncul.
“Kok mau pamit Nay, hujannya udah turun loh itu.” Timpal kak Dewi saat hujan mulai turun.
“Sengaja kak mau mandi hujan, ntar kalau ditanya tinggal bilang aja kehujanan. Soalnya kalau tidak gitu, pasti aku tidak bakalan dibolehin mandi hujan.” Ucapku hendak keluar.
“Salamku sama Fahmi ya, sekali-sekali kalian mampirlah di rumah.” Ucap Wahyu.
“Okey, ntar sore aku dan kak Fahmi akan ke rumahmu. Rumahmu masih yang lama kan?” Tanyaku.
“Gak, udah pindah ke planet mars. Ya iyalah masih yang lama.” Jawabnya bercanda tanpa ada beban sedikitpun. Namun aku bahagia dengan sikap kedewasaan Wahyu.
Aku berjalan sambil menikmati setiap butiran hujan yang jatuh tetap mengenai tubuhku. Sesekali aku menengadah agar butir hujan tepat mengenai wajahku.
“Nayla, hujannya deras nak. Kamu berteduh dulu aja di rumah ibu.” Panggil bu Wati tetanggaku.
“Terima kasih bu, nanggung ini udah basah juga.” Jawabku dengan senyum termanisku.
Aku melanjutkan perjalanan yang beberapa meter lagi akan sampai di halaman rumahku yang asri, indah, nyaman. Saat aku sampai di halaman rumah, tiba-tiba bapak memanggilku.
“Nayla, kamu kenapa hujan-hujanan?. Ayo sini cepetan hujannya makin deras loh.” Panggil bapak.
“Udah basah kok pak. Mending aku lanjutin aja mandi hujannya, kan nanggung.” Jawabku cengengesan.
“Tidak ada lanjut-lanjut. Sekarang kamu masuk, bantu mama siapin makan siang kasian Fahmi saat pulang tidak ada istrinya di rumah.” Ucap bapak.
“Kak Fahmi udah pulang, emang mereka darimana aja sih.”
“Dari Amerika beli pakaian soalnya istrinya tidak mau nemanin ke pasar.”
“Wah asyik dong bisa jalan-jalan ke luar negri. Heheh” Jawabku menimpali candaan bapak.
“Sudah sana, kamu mandi.”
“Yesss, boleh pak.” Tanyaku sumringah.
“Mandi di kamar mandi..” Tegas bapak.
Aku hanya mengerucutkan bibir dan berjalan menuju kamar mandi. Aku langsung mandi tanpa mengambil handuk terlebih dahulu.
“Ma, aku boleh minta tolong ambilin handukku di kamar.” Teriakku dari dalam kamar mandi seakan bertanding dengan suara deras hujan.
“Iya bentar mama ambilin.” Jawab mama.
Aku mendengar mama mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aku baru sadar kalau ada kak Fahmi dalam kamar.
“Duh, aku lupa sekalian minta baju sama mama.” Aku menepuk jidat sendiri.
“Bentar, Fahmi yang bakal bawain soalnya mama lagi masak.” Teriak mama.
Tok..tok..tok
“Ini handuknya dik.” Ucap kak Fahmi dengan suara serak khas bangun tidur.
“Bisa minta tolong sekalian dengan bajuku kak?” Tanyaku lebih tepatnya meminta.
“Iya bentar.” Jawabnya singkat.
Tak berapa lama, kak Fahmi kembali mengetuk pintu kamar mandi. Aku menerima uluran baju dari kak Fahmi dengan pintu tertutup, hanya tanganku yang keluar. Selang dua menit aku keluar dengan lilitan handuk di kepalaku sementara hijab yang diberikan kak Fahmi aku tidak pakai, lagian kak Fahmi juga bukan lagi orang lain.
“Masak apa ma?” Tanyaku menghampiri mama.
“Tadinya aku mau masak sayur nangka, tapi karena mama lihat kamu kehujanan jadinya mama masak sayur bening aja.” Jawab mama.
“Duh, mama paling ngerti deh.” Ucapku bergelut manja di lengan mama.
“Nih anak, dah gede juga masih manja. Mendingan, sana kamu panggil para lelaki yang mungkin kelaparan untuk segera makan.” Ucap mama menyuruhku memanggil bapak, kak Ardi juga kak Fahmi untuk makan.
Kami menikmati makan siang dengan lahap, sayur bening sangat pas disantap saat cuaca dingin seperti ini. Saat menyelesaikan makan siang, aku segera ke kamar untuk tidur siang. Baru juga baring satu detik, tanganku sudah di tarik sama kak Ardi.
“Apaan sih kak.” Ucapku kesal.
“Habis makan itu tidak boleh tidur, ntar badanmu tambah melar. Mending bantuin aku milih seserahan pernikahan nanti.” Ucap kak Ardi.
“Nanti aja kak, aku ngantuk mau tidur. Lagian kak Ardi ngapain masuk kamarku sembarangan.” Ucapku hendak baring lagi namun ditahan sama kak Ardi.
“Eits, pokoknya sekarang. Lagian aku udah izin sama Fahmi untuk masuk kamar kalian.” Ucap kak Ardi. Mau tidak mau aku harus menuruti maunya jika aku ingin tidur siang dengan tenang.