Menikah Dengan Dosen Pengganti
Sore itu adalah hari terakhirku berada di kampung halaman. Aku akan berangkat ditanah perantauan untuk melanjutkan pendidikan. Ya, kebanyakan masyarakat di desaku memilih tanah rantau untuk mendapatkan gelar sarjana. Menjadi seorang mahasiswa adalah cita-citaku saat duduk di bangku SMA. Dengan bekal ketupat dan sedikit uang aku bersiap menuju pelabuhan.
“Kamu hati-hati disana ya, nak, jangan tidur terlalu larut, jaga pola makan dan yang paling penting jaga pergaulanmu” kata mama menasehatiku.
“Iya, ma.” jawabku sambil mencium tangannya.
“Mama percaya sama kamu, kamu bisa memegang amanah” lanjut mama dengan tulus.
“Terima kasih, ma, aku berangkat ya.” aku pamit seraya keluar rumah.
Oh iya, namaku Nayla, anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak pertamaku baru menyelesaikan studinya di salah satu sekolah tinggi di kotaku, kakak keduaku sementara kuliah di kampus islam yang ada di luar kota sedang adikku masih duduk di bangku SMA kelas 1. Kami terbilang keluarga kurang mampu. Namun orang tuaku selalu berusaha yang terbaik untuk menyekolahkan kami.
Kasih sayang merekalah yang membuat kami kuat untuk tetap berdiri. Mereka tidak pernah mengeluh walau harus meminjam pada tetangga untuk membayar biaya pendididkan kami.
Kami terbilang keluarga harmonis dan sangat akur. Ya, bukan hanya aku yang mengakui itu tapi para tetangga kerap bilang seperti itu, ketika hari raya. Setiap hari raya kami selalu jalan bersama untuk bersilaturahim kepada sanak saudara dari bapak maupun mama.
Saat aku berada di perantauan, mama kerap kali menelpon untuk sekedar menanyakan keadaanku. Aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat peduli padaku. Rasa syukur itu aku ungkapkan melalui kegigihanku dalam belajar.
Hingga aku masuk semester lima, semangat belajarku tetap ada. Di semester lima umurku sudah menginjak 21 tahun. Itu artinya sudah 21 tahun akau merasakan kasih sayang yang luar biasa. Kasih sayang yang kita rasakan selama itu tidak akan mampu digoyahkan dengan apapun. Walau fakta lain terungkap.
Saat itu, aku masih mengikuti rapat untuk pemantapan kegiatan tahunan di kampusku.
“Assalamu’alaikum…,” sapa seorang pemuda yang aku taksir umurnya sekitar 25 tahunan. Dari penampilannya, kelihatan dia orang kaya.
“Wa’alaikumsalam...,” jawab kami serentak.
Pemuda itu menunujukan sebuah foto pada pemimpin rapat. Aku tidak tau apa yang ada di foto itu hingga pemimpin rapat memanggilku maju ke depan. Spontan pemuda itu memeluk erat tubuhku. Hal itu membuat para peserta rapat melongo. Aku memberontak berusaha melepaskan pelukannya.
“Maaf, kamu siapa berani-beraninya meluk orang sembarangan!?” ucapku penuh amarah ketika berhasil melepaskan pelukannya.
Pemuda itu tidak langsung menjawab, dia malah menangis memandangiku. Aku tidak mengerti dengan kelakuannya, yang datang menghentikan rapat dan berani memelukku.
“Aku, kakakmu!” ungkapnya parau karena menangis.
“Maaf, anda salah orang, kakakku hanya dua.” jawabku sopan.
“Aku, kakakmu dik.” ungkapnya lagi.
Aku terus mengelak jika dia bukan kakakku, ya aku hafal betul bagaimana wajah dari kedua kakakku walaupun sudah satu tahun belum bertemu. Hingga datanglah seorang ibu yang menghampiri kami. Aku memperhatikan ibu itu adalah orang tua dari pemuda yang ada dihadapanku. Aku pikir ibu itu akan datang menarik anaknya yang bertingkah konyol di kampusku.
Namun diluar dugaan, ibu itu menangis dan memelukku seperti apa yang dilakukan pemuda tadi. Aku makin bingung dengan perlakuan mereka. Karena merasa tidak enak telah mengacaukan rapat, aku keluar ruangan menuju parkiran.
“Maaf, kalian siapa, ya? apa kalian mengenal aku atau keluargaku?” tanyaku hati-hati pada mereka. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ibu itu malah meminta aku untuk memeperlihatkan lengan.
“Boleh bunda lihat lengan kananmu, nak?” tanyanya seraya mnghapus air mata.
Dengan muka bingung aku memperlihatkan lengan kananku yang terdpat dua tanda lahir. Melihat tanda lahirku, ibu itu kembali menangis dan memelukku.
“Nayla, ini bunda, nak. Bunda yang melahirkanmu..hiks..hiks” jelas ibu itu disela tangisnya.
Mendengar penuturannya, spontan aku melepaskan pelukannya.
“Maaf, mungkin anda salah orang. Mamaku ada di kampung.” kataku meyakinkan.
“Boleh bunda minta nomor mamamu di kampung, nak?" ucap ibu yang mengaku orang tuaku itu dengan lembut.
Aku menyebutkan nomor mama yang telah aku hafal mati. Setelah mencatat nomor mama, dia menelpon dengan speaker aktiv.
“Assalamu’alaikum” ucap mama diujung telpon.
“Wa’alaikumsalam, apa betul ini dengan ibu Sri?” tanya ibu itu sopan.
“Iya betul, anda siapa, ya?” tanya mama. Aku hanya mendengarkan percakapan mereka.
“Aku, Sintia Maharani, apa ibu masih ingat?” jawab ibu itu.
Sejenak mama diam, aku tidak mengerti kenapa mama terdiam ketika mendengar nama yang di sebutkan oleh ibu yang mengaku orang tuaku.
“Aku masih ingat, bu. Maaf, ibu untuk apa ya menelponku? apa ibu mau mencoba membunuh bayi ibu yang lainnya?” jelas ibu sopan namun tegas.
Spontan ibu yang didepanku menangis.
“Maaf, bu, saat itu tidak seperti yang ibu lihat. Aku tidak ada niat sama sekali membunuh darah daging sendiri. Tolong, bu, aku ingin anak aku kembali.” jelas ibu itu diselah tangisnya.
“Tidak bisa! Setelah 21 tahun aku menyayanginya, ibu dengan gampangnya meminta dia sebagai anakmu? maaf, dia anak aku sampai kapanpun itu.! Jelas ibu berapi-api.
“Apa anak itu sekarang kuliah di Jakarta bu?" tanyanya lagi.
“Tidak ada urusannya sama ibu. Tolong jangan ganggu dia.” jawab mama lagi.
“Apa dia mengambil jurusan sastra bu?” orang tua di depanku tidak berhenti bertanya walau sudah dimarahi mama.
“Pokoknya tidak ada urusannya dengan ibu.” jelas ibu tegas.
“Kalau memang benar, berarti Nayla adalah anak aku. Dia sudah tumbuh menjadi gadis cantik." ucap ibu itu lagi.
“Maksud ibu, apa?” tanya mama penasaran.
“Iya, Nayla ada di depanku. Aku datang menemuinya. Tolong izinkan aku untuk memintanya kembali, bu.” ungkap ibu itu dengan tersedu-sedu.
“Tidak bisa! dia anakku. Kamu tidak berhak mengambilnya kembali.” marah mama pada ibu yang mengaku orang tuaku.
Mendengar percakapan mereka, aku tidak tahan lagi. Segera aku berlari menuju belakang kampus untuk meluapkan air mata yang sudah mendanau.
“Nayla! Nayla, tunggu, dik.” panggil pemuda yang tadi memelukku.
Aku tidak peduli, aku terus saja berlari hingga kaki ini tidak lagi mampu untuk menopang tubuhku. Sejenak pandanganku buram, gelap. Aku pingsan.
***
“Aku dimana, ma?” tanyaku pada mama ketika kesadaranku mulai kembali.
“Kamu di rumah sakit sayang. Kemarin kamu pingsan di kampus.” jelas mama dengan lembut.
“Ma, apa benar apa yang aku dengar kemarin?” tanyaku hati-hati.
Terlihat mama menghela napas.
“Iya sayang, kamu memang buka anak kandung mama. Tapi kamu harus percaya kalau mama sayang sama kamu.” ungkap mama dengan penuh kasih sayang.
Aku menangis lalu bangkit untuk memeluknya. Saat aku sedang memeluk mama, orang yang mengaku ibu kandungku datang bersama pemuda yang mengaku kakakku.
“Nayla, maafkan bunda. Bunda sayang sama kamu” ucapnya berusaha mendekatiku.
Aku menepis tangannya yang berusaha membelai rambutku.
“Anda siapa? aku hanya punya satu mama. Anda jangan ngaku-ngaku.” jelasku padanya.
“Maafkan bunda, nak, bunda tidak berniat menyakitimu.” jelasnya dengan air mata.
“Sayang, dia bunda yang melahirkan kamu. Kamu harus memaafkan kesalahnnya dimasa lalu, biar bagaimanapun dialah yang melahirkanmu.” nasihat mama dengan lembut.
Karena aku orangnya penurut sama mama, jadi aku ngikut dengan nasihat mama.
“Baiklah, aku akan memaafkan anda. Tapi anda jangan lagi menemuiku.” jelasku padanya.
“Tolong panggil aku dengan sebutan bunda.” katanya lagi.
Aku menoleh pada mama, dan mendapati anggukan dari mama.
“Iya, bunda.” kataku pelan.
Dia menangis dan memelukku penuh haru, begitu juga pemuda yang mengaku kakakku. Air matanya terus saja mengalir.
“Terima kasih, sayang, kamu telah memaafkan bunda. Demi memenuhi permintaanmu, bunda tidak akan menemuimu lagi.” jelasnya. Aku rasa badannya seketika lemas dipelukanku, dan ya dia tumbang. Seketika pemuda itu memeluknya.
“Bunda…bunda..hiks..hiks bangun bunda.” pemuda itu menggoyang-goyangkan tubuh bunda.
Mengetahui bunda telah meninggal, aku seketika memeluknya.
“Bunda, bunda bangun.. Nayla sudah memaafkan bunda. Nayla hanya bercanda melarang bunda menemuiku lagi, bunda bangun hiks..hiks.”
Aku terus saja membangunkan bunda, namun sayang tuhan berkehendak lain. Bunda telah pergi memenuhi panggilannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments