Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Pertama
Orang yang dihubungi oleh keluarga pasien tadi, langsung ke rumah RT untuk memberitahu kabar duka tersebut.
Tak lupa, orang itu juga mengetuk beberapa rumah yang berdekatan dengan rumah Neli, berharap agar mereka bisa membantu apapun yang mereka bisa.
Beni memberitahu Nila tentang kabar meninggalnya Neli, Nila langsung duduk akibat terkejut, raut wajahnya berubah muram. Mengingat sudah banyak luka yang dia goreskan pada Neli, dan tentu saja kata maaf belum sempat terucap dari bibirnya.
"Kamu pergi ke rumah wak Neli aja, biar aku ke rumah sakit dulu sama ustad Agus." ucap Beni.
Beni mengendarai sepeda motornya bersama ustad Agus menuju rumah sakit tempat Neli berada.
Semua prosedur pemulangan jenazah sudah selesai. Beni bersama Agus datang di waktu yang tepat. Mereka langsung menandatangi beberapa berkas, sebagai saksi dari pihak keluarga.
Alif menaiki mobil ambulan bersama ustad Agus, sedangkan Beni pulang dengan menggunakan sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan Alif hanya mematung, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Namun, air matanya mengalir tanpa bisa di cegah. Padahal, tatapan kosong, sama seperti hatinya.
Di rumah, orang-orang sudah menunggu kepulangan jenazah Neli, mereka sudah membersihkan ruang tamu, dan juga meletakan kasur yang di ambil dari kamar Neli.
Disana lah, nanti jenazahnya akan di baringkan. Mengingat ini sudah hampir dini hari, jadi mereka memutuskan untuk menguburkan Neli, keesokan harinya.
Mamang yang sebelumnya di titipin kunci rumah oleh Alif menunduk lesu, penyesalan terlihat jelas di hatinya.
Andai saja dia tidak meninggalkan Alif sendiri, mungkin remaja itu tidak merasa sendirian. Andai saja, ban sepeda motornya tak kempes, pasti ia akan kesana, memeluk Alif memberinya kekuatan.
Mobil ambulans tiba, beberapa orang mulai mendekatinya, untuk menyambut mayit Neli. Alif masih termangu melihat tubuh neneknya yang diangkut oleh beberapa orang.
Dengan langkah gotai dia mengikuti neneknya.
Saat sang nenek dibaringkan di ruang tamu, kembali air mata Alif menetes. Sekarang, dimanakah, tempat ia berpulang? Kemanakah tempat ia mengadu? Dan dimanakah, orang yang akan memeluknya kala lelah?
Semua isi pikirannya semakin membuat Alif sedih. Andai bisa, ia juga ingin mengikuti neneknya. Atau, kenapa tidak dia saja yang pergi terlebih dulu.
Bunuh diri? Oh, Alif tahu itu hukumnya haram. Dia juga gak mau, melakukan dosa besar itu, apalagi jaminannya saja membuat siapapun takut.
"Maaf, nomor ayahmu udah ganti. Jadi, kita gak bisa menghubunginya." ujar salah satu kerabat Neli.
Alif hanya mengangguk, dan dia pun tidak membutuhkan lelaki itu.
Besoknya, acara pemakaman Neli selesai. Dan Alif langsung mendapatkan dana bantuan dari desa sejumlah lima ratus ribu, sumbangan itu sebagai bentuk rasa duka dari para perangkat desa.
Dengan bantuan para tetangga, para pengantar jenazah ataupun yang membantu menguburkan Neli kembali ke rumah. Karena disana, mereka akan di beri makan sebagai bentuk rasa terima kasih dari tuan rumah.
Disana orang-orang mulai makan, Alif sendiri mulai beringsut dari keramaian. Sebelumnya dia memang enggan pergi dari kuburan neneknya. Namun, karena paksaan orang-orang dia terpaksa mengalah.
Disini lah, Alif. Diatas pusara orang yang paling disayanginya.
"Nenek manusia terjahat yang pernah ku kenali, kenapa? Kenapa nenek pergi, bahkan tanpa pamit padaku. Kenapa nenek pergi, bahkan untuk tidak pernah kembali lagi." lirih Alif memeluk nisan Neli.
"Dulu, aku berpikir jika yang paling jahat ialah keluargaku. Nyatanya, nenek lebih jahat. Nenek tega meninggalkan aku disini, tanpa pamit dan tanpa ..." Alif terisak, dia gak bisa melanjutkan kata-katanya.
"Maafkan aku nenek ... Aku akan berusaha terus menjenguk mu disini. Tenanglah, disana. Karena aku akan melanjutkan hidupku dengan baik." ucap Alif mengusap-usap nisan Neli.
Dengan langkah berat Alif meninggalkan makam neneknya, dia menoleh sebentar, berharap jika itu ialah mimpi.
Namun, nyatanya itu adalah kejadian nyata, kenyataan yang menyakitkan.
...🍁🍁🍁...
Misna mendapatkan kabar duka, dari orang tuanya tentang meninggalnya Neli. Hatinya ikut berdesir, dia juga merasakan kesedihan, karena bagaimana pun, Neli merupakan mertua yang baik.
Namun, untuk melayat kesana Misna belum siap, ia belum siap menemui Alif. Karena selain takut mertuanya yang sekarang tahu, ia juga takut jika Alif minta ikut dengannya.
Ibu Faisal memang sering kali memberikan pesan untuk Misna, agar jangan pernah sesekali mengirimkan uang yang dihasilkan anaknya, karena ia gak mau, jika Faisal menafkahi anak yang bukan darah dagingnya. Ibunya gak akan merestui itu.
Padahal, Faisal sendiri tidak masalah, dia selalu memberikan uangnya untuk Misna urus sendiri. Dan Faisal juga tidak pernah menanyakan kemana saja uang itu habis.
Akan tetapi, untuk menjaga hubungannya dan mertua, dia memilih untuk mengikuti keinginan mereka.
"Ada apa?" tanya Faisal melepaskan seragam kerjanya.
Perlu diketahui, Faisal bekerja sebagai salah satu staf di pertamina. Dan dalam h, dia mau di jatah istirahat selama sehari, dan tentu saja jam kerjanya tidak teratur. Karena itu, tergantung sift yang didapatkannya.
"Ibu Neli, beliau telah berpulang," sahut Misna lirih.
"Jadi? Mau melayat?" tanya Faisal, mendekati Misna yang sedang menyusui.
"Aku, aku belum siap bertemu Alif." lirihnya.
"Jangan begitu, seharusnya kamu sebagai ibunya, kamu harus berada disana, menemaninya disaat-saat dia terpuruk." ungkap Faisal mengelus pucuk kepala Misna. "Bersiaplah ..." perintah Faisal.
Misna pun, menyiapkan beberapa setel pakaian bayinya dan Raffa, serta keperluan kedua anaknya yang lain.
Saat Misna mandi, Faisal mengambil alih menjaga bayi mereka, dia juga memakai pakaian untuk Raffa.
Begitu keluar kamar mandi, hati Misna terenyuh, Faisal berbeda dengan mantan suaminya Haris. Walaupun, sudah bekerja, Faisal tak segan-segan membantunya dalam mengurus anak serta rumah tangga mereka.
Sejauh ini, Faisal memang menunjukkan jika ia menerima baik kehadiran Alif. Namun, karena ancaman mertuanya, Misna menjadi sedikit ragu, membawa Alif untuk tinggal bersamanya.
Akhirnya, mereka berempat mendatangi kediaman Neli, menggunakan sepeda motor. Hampir satu jam kemudian, mereka tiba disana.
Misna turun dengan hati yang berdebar. Selain takut bertemu Alif, dia juga takut bertemu dengan Haris. Apalagi, dia memang tidak pernah tahu menahu tentang kabar mantan suaminya itu.
"Ayo ..." Faisal menggenggam tangan Misna.
Kedatangan Misna membuat beberapa orang yang masih berada disana bisik-bisik. Bahkan ada beberapa orang yang mencibirnya, mengatakan jika ia ibu yang tak punya hati.
Misna dan Faisal langsung masuk kedalam, berharap bisa langsung bertemu dengan Alif. Mereka berdua, di sambut hangat oleh kerabat Neli, yang di kenali oleh Misna.
"Alif ,,, ibumu datang ..." teriak salah satu sepupu Neli.
Tapi, beberapa menit menunggu, Akif tak kunjung terlihat. Bahkan, semua orang mencari-cari keberadaanya mulai dari kamar Neli, hingga ke ke kamar mandi. Akan tetapi, Alif tak terlihat dimana pun.
Saat semua orang di landa ketakutan, Alif tiba dengan wajah yang di tekuk. Orang yang melihat Alif di halaman langsung berteriak, mengatakan jika Alif telah kembali.
"Kamu dari mana aja? Kami sibuk mencari!" seru ustad Agus mendekati Alif.
"Makam." sahut Alif singkat.
"Ibu di dalam, kita temui ya." ajak Agus, merangkul Alif.
Alif mengikuti langkah kaki Agus, ia ingin berteriak mengatakan jika ia gak mau menemui wanita yang telah melahirkannya. Akan tetapi, tenaga habis.
"Alif ..." Misna terpaku, saat melihat betapa dekil dan kurus tubuh anak pertamanya.