NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 — Sungai yang Menyimpan Rahasia

​Sungai Embun memiliki bagian tersembunyi. Beberapa ratus langkah di hulu dari tempat Mei Lan biasa mengambil air, ada kolam alami yang terbentuk di bawah batu besar yang diselimuti lumut hijau. Tempat itu tersembunyi dari pandangan oleh semak-semak azalea liar dan diselimuti kanopi hutan bambu yang rapat. Ini adalah tempat di mana para gadis desa, secara diam-diam, pergi untuk mandi saat fajar, jauh dari tatapan.

​Pagi itu, Mei Lan berangkat lebih awal dari biasanya. Gelisah yang ditimbulkan oleh pertemuan di jalan sempit membuat tidurnya tidak nyenyak. Ia merasa kotor, seolah sisa kehangatan sentuhan Jian masih menempel di kulitnya. Ia ingin membuang kegelisahan itu ke dalam air dingin, membiarkan sungai membawanya pergi.

​Ia meletakkan jubah dan pakaian katunnya di atas batu yang datar, hanya menyisakan kain penutup tubuh berwarna putih bersih yang halus, ditenun dengan benang yang sangat longgar, hampir transparan saat basah. Ia melangkah perlahan ke dalam kolam.

​Air Sungai Embun terasa seperti es yang mencair, menusuk kulitnya, tetapi dalam hitungan detik, rasa dingin itu berubah menjadi mati rasa yang menenangkan. Ia memejamkan mata, membiarkan rambutnya yang panjang terurai di permukaan air. Rasa tertekan oleh Kepala Desa Liang, rasa bersalah karena membuat Shan Bo cemburu, dan terutama, rasa bingung yang ditimbulkan oleh Rho Jian—semuanya perlahan menguap bersama kabut pagi.

​Mei Lan mengambil air dingin dengan telapak tangannya, menyiramkannya ke leher dan bahu. Air itu mengalir di atas kain penutup tubuhnya, memperlihatkan siluet tubuhnya yang anggun dengan lembut. Di keheningan subuh itu, tubuhnya terasa ringan, murni, seolah jiwanya sedang dibasuh.

​Ia tidak tahu, dan memang tidak seharusnya tahu, bahwa Rho Jian memiliki rute pagi hari yang tetap: ia selalu berjalan di sepanjang tepi sungai untuk berlatih dan mencari kayu bakar yang hanyut di hulu.

​Jian mendengar suara air yang beriak. Itu bukan suara air yang tenang, melainkan suara air yang disiramkan. Suara yang ritmis, pribadi.

​Insting prajuritnya menyuruhnya untuk segera bersembunyi. Ia tahu ada tempat mandi rahasia di sana. Ia tahu, sebagai orang asing, ia harus menghormati batas privasi sekecil apa pun. Ia mengerem langkahnya, bersembunyi di balik rumpun bambu yang tebal.

​Namun, ia tidak segera berbalik. Ia berdiri di sana, tegang, seolah-olah seluruh tubuhnya dipaku oleh rasa hormat yang kaku. Ia hanya bisa mendengar—suara napas yang tenang, riak air yang disiramkan, dan sesekali, helaan napas lembut.

​Meskipun ia tidak melihat, indra Jian yang tajam mampu menggambarkan pemandangan itu dengan sangat jelas. Keanggunan gerak-gerik wanita itu, kelembutan tubuh yang tersembunyi di balik kabut dan kain tipis. Hidungnya bisa menangkap aroma sabun shea alami yang digunakan Mei Lan, aroma yang bersih dan sederhana, sangat kontras dengan bau mesiu dan keringat yang dulu melekat pada dirinya.

​Jantung Jian, yang biasanya berdetak dengan ritme yang stabil dan dingin, kini mulai berdetak dengan irama yang lebih cepat. Itu adalah kombinasi antara rasa malu, ketegangan, dan sesuatu yang lebih dalam—rasa dambaan yang tidak seharusnya ia rasakan.

​Ia ingat kata-kata Mei Lan saat mereka bertabrakan: “Apa yang Kau lihat, Jian? Saat Kau melihatku?”

​Saat itu, ia menjawab kerapuhan. Tetapi kini, dalam keheningan yang intim ini, ia melihat keindahan yang murni dan terlindungi. Keindahan yang membuatnya merasa kotor dan tidak layak.

​Setelah beberapa saat, suara riak air berhenti. Jian tahu Mei Lan pasti sudah selesai. Ia menunggu. Ia harus pergi sebelum Mei Lan keluar, sebelum kesopanan yang ia pertahankan runtuh.

​Namun, udara dingin membuat Mei Lan bergegas. Ia keluar dari kolam, air menetes dari rambutnya, menempelkan kainnya ke kulit. Ia mengambil jubahnya, tetapi karena terburu-buru dan rasa dingin, ia tergelincir di atas batu licin.

​“Aduh!” seru Mei Lan, pelan. Ia tidak terluka, tetapi ia menjatuhkan jubahnya ke dalam kolam.

​Mendengar suara kaget itu, naluri protektif Jian mengambil alih. Ia tidak lagi bisa diam.

​“Diam di sana,” perintah Jian, suaranya rendah dan tegas, melangkah keluar dari balik bambu.

​Mei Lan terkejut, tubuhnya menegang. Ia berdiri mematung, menatap Jian yang kini berdiri beberapa langkah darinya. Rasa malu luar biasa menyerangnya, membuat pipinya memerah. Ia hanya mengenakan kain penutup tipis yang kini basah dan transparan. Ia mengangkat tangan, mencoba menutupi dirinya.

​Jian melihat keterkejutan dan rasa malu itu, dan ia segera memalingkan wajahnya. Ia tidak menatap Mei Lan; ia menatap tanah di dekat kaki Mei Lan, memberi hormat tertinggi bagi seorang prajurit—ia menghormati privasi wanita itu dengan memalingkan pandangan sepenuhnya.

​“Jubahmu jatuh ke air,” kata Jian, suaranya kaku karena menahan diri. “Jangan bergerak. Kau akan terpeleset lagi.”

​Jian tidak mendekat. Ia menunduk, menggunakan tongkat kayu bakar yang dibawanya untuk menggapai jubah Mei Lan di air. Gerakannya hati-hati, terampil, memastikan ia sama sekali tidak perlu melihat ke arah Mei Lan.

​Setelah berhasil mengangkat jubah yang basah itu, ia meletakkannya di atas batu yang jauh, lalu meletakkan seikat kayu bakarnya yang kering di sebelah jubah Mei Lan yang kini basah kuyup di tubuhnya.

​“Gunakan kayu bakar itu sebagai alas,” perintah Jian. “Jangan berdiri di batu licin. Dan cepat keringkan dirimu sebelum Kau sakit.”

​Mei Lan terdiam, terkesima. Tindakan Jian itu begitu protektif dan sopan, tetapi dilakukan dengan cara yang sangat dingin dan praktis. Ia tidak menunjukkan nafsu, hanya rasa hormat yang mendalam dan perhatian yang tersembunyi.

​“Terima kasih, Jian,” bisik Mei Lan, suaranya lembut.

​Jian mengangguk, masih menatap tanah. “Sudah. Aku akan pergi.”

​“Tunggu,” kata Mei Lan. Rasa malu itu kini berganti menjadi rasa ingin tahu yang kuat. Ia mengambil sehelai pakaian keringnya, lalu berjalan perlahan ke arah batu yang lebih aman. Ia tetap menjaga jarak, tetapi ia tidak ingin membiarkan momen ini berlalu. “Mengapa Kau ada di sini?”

​Jian menghela napas, lelah. Ia ingin pergi, kembali ke gudang padinya, tetapi ada kelemahan baru di hatinya yang menolak untuk berbalik dari Mei Lan.

​“Aku selalu berjalan di sini,” jawab Jian, ia akhirnya mengangkat kepalanya, memandang ke arah hutan bambu di atas kepala Mei Lan, menghindari matanya. “Hutan bambu di atas gudang padi terlalu sunyi. Di sini, ada suara air. Suara air membuatku merasa tidak terlalu sendirian.”

​Mei Lan merasa tersentuh. Ia kini telah mengenakan pakaian luarnya, menutupi kain penutup yang basah. Ia tahu ia tidak bisa lagi membiarkan pria ini menghindarinya.

​“Kau takut sendirian?” tanya Mei Lan.

​Jian tertawa kecil, tawa yang sangat langka. “Aku tidak takut sendirian. Aku takut pada keheningan yang terlalu panjang. Dalam keheningan, masa lalu bisa berbisik.”

​“Masa lalu sebagai Pengkhianat Istana?” Mei Lan memberanikan diri.

​Jian berbalik dengan cepat, matanya yang gelap kini menatapnya lurus. Ada bahaya di sana, bahaya yang nyata. “Siapa yang memberitahumu itu?”

​“Warga desa. Nona Yuhe,” jawab Mei Lan, suaranya tenang, tidak menunjukkan rasa takut. “Tapi aku tidak percaya. Mereka bilang Kau membawa kehancuran. Mereka bilang Kau harus dihindari.”

​Jian menatapnya lama. Lalu, ia menghela napas, kekakuan di bahunya sedikit mengendur. “Mereka benar, Mei Lan. Aku membawa kehancuran. Aku membawa masalah yang jauh lebih besar dari yang bisa Kau bayangkan. Dan aku harus dihindari.”

​“Jika Kau harus dihindari, mengapa Kau tidak melarikan diri lebih jauh?”

​Jian terdiam. Ia menatap Mei Lan, dan pandangan mereka kali ini tidak terputus. Ini adalah tatapan yang terlalu lama, penuh dengan makna yang tak terucapkan, seperti selembar sutra yang terentang hingga ke batas putusnya.

​“Karena aku lelah berlari,” jawab Jian, mengakui kekalahan kecil. “Aku menemukan tempat ini. Dan entah mengapa, tempat ini terasa… aman.”

​Ia tidak mengatakan bahwa Mei Lan adalah bagian dari rasa aman itu, tetapi Mei Lan bisa merasakannya. Ia adalah jangkar yang menahan badai emosional Jian.

​“Begitu juga saya,” kata Mei Lan, tersenyum kecil. “Saya lelah berlari dari adat. Lelah berlari dari desakan pernikahan.”

​Mei Lan mengambil beberapa langkah ke depan, kini jarak mereka hanya tersisa beberapa kaki. “Jian, luka di punggungmu, mereka adalah bukti bahwa Kau bertarung. Seseorang yang bertarung bukanlah pengkhianat. Ia hanya seseorang yang memilih jalannya sendiri.”

​Jian menggelengkan kepalanya. “Kau terlalu polos. Kau hanya melihat benang yang putus, bukan pedang yang mematahkan benang itu.”

​“Benang yang putus itu tetap berharga,” balas Mei Lan. Ia berjalan ke tepi sungai, memungut beberapa batu sungai yang licin dan bundar. “Kau harus kembali ke gudang padi. Dan berhati-hatilah. Shan Bo melihatmu mengawasiku kemarin. Dia cemburu.”

​Jian terkejut. “Aku tidak mengawasimu.”

​Mei Lan terkekeh pelan, tawa yang indah dan renyah, seperti suara lonceng angin di hutan bambu. “Jangan berbohong, Jian. Mata seorang penenun terbiasa memperhatikan detail. Kau melihatku di jalan sempit. Kau melihatku di sungai. Kau tertarik.”

​Jian tidak bisa menyangkalnya. Ia hanya menatap Mei Lan, yang kini tersenyum dengan sorot mata lembut namun penuh kemenangan.

​“Baiklah,” kata Jian, nadanya berubah menjadi pasrah, tetapi ada senyum tipis, nyaris tidak terlihat, di sudut bibirnya. “Aku tertarik. Tapi jangan dekati aku lagi. Aku tidak akan bertanya dua kali.”

​“Aku tidak bisa berjanji,” balas Mei Lan, dengan nada menantang. “Karena saya juga tertarik.”

​Mei Lan membungkuk sopan, mengambil timba airnya, dan berjalan pergi, meninggalkan Jian yang berdiri sendirian di tepi sungai, di tempat yang tadi masih hangat oleh kehadirannya.

​Jian menunggu sampai suara langkah kaki Mei Lan hilang sepenuhnya, lalu ia berjalan ke tempat Mei Lan berdiri. Ia menyentuh kayu bakar yang masih basah. Ia merasakan kehangatan yang ditinggalkan Mei Lan.

​Jian menutup matanya. Ia telah melarikan diri dari istana, dari politik, dari kehormatan dan aib. Tetapi ia tidak bisa melarikan diri dari mata seorang gadis penenun yang bisa melihat lukanya dan tidak takut.

​Kain penutup tubuh Mei Lan yang basah masih tergeletak di atas batu. Jian memungutnya, dengan hati-hati. Kain itu terasa lembut dan dingin. Ia memandang kain itu sejenak, lalu melipatnya dengan gerakan cermat dan rapi, seperti seorang prajurit melipat bendera. Ia memasukkan kain itu ke dalam tas kecilnya. Ia akan mengeringkannya dan mengembalikannya besok, jauh sebelum fajar, di tempat Mei Lan biasa mengambil air.

​Itu adalah tindakan perlindungan. Itu adalah penandaan batas. Dan itu adalah penyerahan diri yang disembunyikan. Rho Jian tahu, dinding es yang ia bangun perlahan-lahan mulai retak, dan keretakan itu disebabkan oleh benang sutra Mei Lan yang terlalu kuat. Hubungan mereka, dari saling menjaga, kini telah berubah menjadi saling mendambakan dalam keheningan yang berbahaya.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!