Ratih yang tidak terima karena anaknya meningal atas kekerasan kembali menuntut balas pada mereka.
Ia menuntut keadilan pada hukum namun tidak di dengar alhasil ia Kembali menganut ilmu hitam, saat para warga kembali mengolok-olok dirinya. Ditambah kematian Rarasati anaknya.
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa.." Teriak Ratih dalam kemarahan itu...
Kisah lanjutan Santet Pitung Dino...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom young, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Kematian Sati
Ratih terus menangis dan memeluk tubuh Sati, tidak percaya bahwa anaknya sudah tidak ada lagi.
Bude Sukma mencoba untuk menenangkannya, tetapi Ratih sudah tidak bisa dikontrol. Bahkan ia sampai memukul-mukul tanah merasa tidak terima, karena pagi tadi saat ia tinggalkan Sati masih bisa terseyum, tapi kenapa sekarang Sati sudah tidak bernyawa lagi!
Tiba-tiba, Ratih berhenti menangis dan memandang Bude Sukma dengan mata yang kosong. "Bude, apa yang terjadi dengan Sati?" Ratih bertanya, suaranya terdengar parau.
Bude Sukma tidak tahu bagaimana cara memberitahu Ratih tentang apa yang terjadi dengan Sati.
Ia hanya bisa memegang tangan Ratih dan mengatakan, "Ratih, Sati sudah tidak ada lagi. Ia... ia bunuh diri." Bude Sukma, kembali ikut meraung, bahkan masih terbayang jelas ia melihat tubuh Sati tergeletak sudah tidak bernyawa.
Ratih memandang Bude Sukma dengan mata yang kosong, tidak percaya apa yang didengarnya. "Tidak, Mba. Tidak mungkin. Sati tidak akan melakukan itu," Ratih mengatakan, suaranya mulai naik. Sedikit menjerit.
Bude Sukma mencoba untuk menenangkannya, tetapi Ratih sudah tidak bisa dikontrol. Ia mulai berteriak dan memukul-mukul dada, tidak percaya bahwa anaknya sudah tidak ada lagi.
Desa kecil itu menjadi hening, hanya terdengar suara tangisan Ratih dan Bude Sukma. Warga desa mulai berdatangan, melihat apa yang terjadi dengan Sati.
Mereka semua merasa shock dan tidak percaya bahwa Sati sudah tidak ada lagi. Sati adalah anak yang baik dan ceria, tidak mungkin melakukan bunuh diri.
Tetapi, bukti-bukti menunjukkan bahwa Sati memang bunuh diri. Racun tikus yang ditemukan di dekat tubuhnya, dan tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya.
Ratih terus menangis dan memanggil nama Sati, tidak percaya bahwa anaknya sudah tidak ada lagi. "Jangan pergi Nduk! Jangan pergi!" Ratih berteriak seperti orang kerasukan. la begitu hilang kendali, karena kepergian Sati.
Desa kecil itu menjadi tempat kesedihan, dan Ratih menjadi orang yang paling sedih di antara mereka semua.
Pak lurah datang, namun kali ini bersama dengan Bu lurah, Bu lurah yang melihat itu, berusaha menguatkan Ratih, sedangkan Pak lurah sibuk melihat jenazah Sati, dan melihat jenazah Sati penuh dengan kejanggalan.
"Kalau anak ini memang meminum racun tikus karena bunuh diri, kenapa aku temukan bau cairan laki-laki di tubuhnya." Gumam Pak lurah, karena hanya dirinya saja yang engah soal itu, di tambah ia melihat di bagian kain jarik yang Sati kenakan nampak lembek dan juga bau sesuatu yang menyengat, Pak lurah sendiri berasumsi kalau ia merasa kematian Sati ada kaitanya dengan sang keponakan.
"Apakah Sinta yang melakukan semua ini." Pak lurah menelan Salivanya dalam, ia nampak takut untuk buka mulut.
Pak lurah menarik nafas dalam. "Nanti malam atau besok malam akan aku tanyakan pada Sinta." Pak lurah berniat akan menanykan itu langsung pada Sinta, keponakannya.
Sore ini Sati di makamkan, padahal sore ini juga tiba-tiba saja turun gerimis. Ratih berjalan di belakang keranda Sati, air matanya mengalir deras seperti hujan yang turun dari langit. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya sudah tidak ada lagi.
Bude Sukma dan beberapa warga desa lainnya mengikuti di belakangnya, mereka semua terlihat sedih dan khawatir.
Hujan turun dengan deras, membasahi tanah dan membuat suasana semakin sedih. Keranda Sati dibawa oleh beberapa orang warga desa, mereka berjuang melawan angin dan hujan untuk membawa Sati ke tempat peristirahatan terakhir.
Ratih terus menangis dan memanggil nama Sati, suaranya tertelan oleh suara hujan yang deras. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa anaknya.
Bude Sukma berjalan beriringan dengan Ratih, ia terus mendekap pundak Ratih, karena Ratih hampir ambruk dijalan.
Saat mereka tiba di kuburan, hujan semakin deras. Keranda Sati diturunkan ke dalam lubang, dan Ratih langsung berlari ke arahnya. Ia memeluk keranda Sati, tidak ingin melepaskannya.
"Jangan pergi, Nduk! Jangan tinggalkan aku!" Ratih berteriak, suaranya tertelan oleh suara hujan.
Warga desa lainnya mencoba untuk menenangkannya, tetapi Ratih sudah tidak bisa dikontrol.
Ia terus menangis dan memanggil nama Sati, tidak percaya bahwa anaknya sudah tidak ada lagi.
Hujan terus turun, membasahi tanah dan membuat suasana semakin sedih. Keranda Sati diturunkan ke dalam lubang, dan Ratih terus menangis di atasnya.
"Jangan pergi, Nduk! Jangan tinggalkan aku!" Ratih berteriak, suaranya semakin lemah.
Hujan terus turun, membasahi tanah dan membuat suasana semakin sedih. Sati akhirnya dikubur, dan Ratih terus menangis di atas kuburannya.
Dunianya seolah runtuh, ia begitu berat ditingal anaknya, apalagi Sati mati karena bunuh diri, Ratih sangat tidak terima dengan kenyataan itu.
"Apa salah ibu Nduk, sampai kamu memilih bunuh diri, daripada tingal bersama ibu." Ratih meraung diatas tanah basah.
Bude Sukma memeluk Ratih, mencoba untuk menenangkannya. "Ratih, kamu harus kuat. Sati tidak ingin kamu seperti ini," Bude Sukma mengatakan, suaranya lembut.
Ratih terus menangis, tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya sudah tidak ada lagi. Ia terus memanggil nama Sati, suaranya semakin lemah. Hujan terus turun, membasahi tanah dan membuat suasana semakin sunyi.
Warga desa lainnya sudah mulai pergi meninggalkan kuburan Sati, mereka sudah selesai memberikan penghormatan terakhir kepada Sati. Bude Sukma juga sudah berdiri, siap untuk membawa Ratih pulang.
"Kamu harus kuat, Ratih," Bude Sukma mengatakan, suaranya lembut. "Sudah waktunya kita pulang."
Ratih tidak menjawab, ia masih duduk di atas kuburan Sati, memeluk batu nisan yang masih basah oleh hujan. Ia tidak mau pergi, tidak mau meninggalkan Sati sendirian.
"Ratih, ayo kita pulang," Bude Sukma mengatakan, suaranya lebih keras. "Kamu tidak bisa tetap disini."
Ratih tidak menjawab, ia masih duduk di atas kuburan Sati, matanya kosong menatap ke arah kuburan. Ia tidak mau pergi, tidak mau meninggalkan Sati sendirian.
Bude Sukma mencoba untuk kembali membujuk Ratih, tetapi Ratih tidak mau beranjak. Ia terus duduk di samping kuburan Sati, tidak mau pergi.
"Ratih, kamu harus kuat," Bude Sukma mengangkat tubuh Ratih, agar mau beranjak dari kuburan. "Sati tidak ingin kamu seperti ini."
Ratih tidak menjawab, ia masih duduk di samping kuburan Sati, matanya kosong menatap ke arah kuburan. Ia tidak mau pergi, tidak mau meninggalkan Sati sendirian.
Hari mulai surup dimakan itu hanya ada Bude Sukma, dan Ratih, hujan mulai reda, hanya di turuni percikan gerimis.
"Ratih jangan begini, aku mohon." Bude Sukma terus saja membujuk Ratih.
"Pakaianmu sudah basah seperti ini, yang ada nanti kamu sakit." Bude Sukma terus membujuk.
Ratih masih nampak membisu, air matanya terus keluar memandang batu nisan dan tanah kuburan yang basah.
pelan pelan aja berbasa-basi dulu, atau siksa dulu ank buah nya itu, klo mati cpt trlalu enk buat mereka, karena mereka sangat keji sm ankmu loh. 😥