Berniat memasang alat penangkap ikan, Zena malah menemukan sesosok pria yang pingsan di tepi sungai, lantas ia dan neneknya menolong pemuda tersebut.
Suatu hari pria yang bernama Satya itu ingin membalas kebaikan orang yang telah menyelamatkannya, namun siapa sangka yang dilakukannya malah berujung petaka.
Membawa pada sebuah kesalahpahaman yang mengharuskan Zena dan Satya menikah hari itu juga.
Setelah pernikahan, Satya memperlakukan Zena dengan sangat baik hingga hal itu perlahan membuat sang istri jatuh cinta.
Namun suatu kebenaran membuat Zena harus menelan pil pahit, karena Satya ternyata sudah punya kekasih.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Apakah perasaan Zena akan terbalas? atau dia hanya menjadi peran antagonis di kisah cinta suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dara Kirana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebodoh itukah cinta?
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Pasutri tersebut tersedak mendengar perkataan mama Alisha.
Setelah berkata begitu mama Alisha keluar dari kamar Zena dan Satya.
"Abang, Mba usaha yang keras ya," ucap Syifa terkekeh kemudian hilang di balik pintu.
"Bang kok ganti kembangnya mama seram ya?"
"Kok seram?" Melirik Zena sembari meletakkan sendok ke piring yang sudah berada di depan mulut, ia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh sang istri.
"Ya, gitu deh." Sembari mendelikkan bahu, ia teringat akan sesuatu yang ia lihat ketika jatuh di kamar mandi. Apalagi dia belum siap buat hamil apalagi jadi ibu.
"Tidak usah di pikirkan omongan Mama, iya kan saja biar dia senang."
"Terus kalau...."
"Katakan saja tuhan belum memberi." sahut Satya cepat, ia mengerti apa yang di pikirkan Zena saat ini.
"I... Iya Bang."
Selesai makan, Zena memberikan obat untuk Satya.
*****
Keesokan paginya...
Keadaan Satya sudah mulai membaik, bandannya tak lagi panas hanya saja masih sedikit batuk pilek dan hidung tersumbat.
CEKLEK!
Zena masuk sambil membawa makanan dan minuman untuk sang suami, meletakkan bawaannya di atas nakas lalu membangunkan suaminya yang masih terpejam.
"Bang, bangun Bang makan dulu." Zena menggoyangkan badan Satya, tak butuh waktu lama pria itu langsung membuka mata.
"Bagaimana keadaan Abang?" Tanya Zena setelah Satya bangun.
Satya bangkit dengan sedikit terbatuk lalu bersandar di kepala ranjang. "Sudah mendingan, hanya saja hidung abang tersumbat jadi tidak bisa mencium aroma apapun." Ucapnya dengan suara serak khas orang batuk.
"Benarkah?" Menyodorkan piring berisi makanan pada Satya.
"Iya, bahkan Abang tak bisa mencium aroma makanan ini, padahal ini makanan kesukaan Abang. semoga saja lidah Abang tidak mati rasa juga."
"Makanlah Bang! Mama yang masak itu buat Abang."
Satya tersenyum "Abang tau." Menyuap makanan.
"Abang tau dari mana?" Zena heran padahal Satya tidak melihat mama memasak makanan yang sedang di kunyahnya itu.
"Dari rasanya, menurut Abang setiap orang rasa masakannya berbeda beda." Menyuap makanan lagi.
Zena tak menjawab lagi, ia memperhatikan Satya makan dari sofa hingga suapan terakhir.
"Jangan menatapku seperti itu nanti jatuh cinta." Goda Satya yang mendapati Zena terpaku menatapnya.
Zena tersadar lalu mengalihkan pandangan ke jendela, wajahnya bersemu merah jambu kedapatan memandangi sang suami.
"Ah tidak, aku hanya melihat rambut Abang yang berantakan." Sangkal Zena.
"Oh begitu ya, tapi Abang tidak yakin."
"Terserah apa kata Abang!" Bangkit dari duduk lalu mengambil piring kotor bekas makan Satya.
Bisa bisanya Satya menggoda dirinya di saat sakit seperti itu pikir Zena sambil melangkah menuju pintu.
"Jangan jatuh cinta padaku Zen!" Ucap Satya membuat Zena terkejut dengan apa yang baru keluar dari mulut Satya, tapi jujur hatinya merasa seperti di remas.
Zena berbalik, menyunggingkan senyum terpaksa. Ia berpura pura terlihat baik baik saja.
"Hahaha Abang jangan mimpi, aku tak kan mungkin jatuh cinta pada lelaki sepertimu, Apalagi aku tahu Abang milik orang lain." Ujarnya menyembunyikan perasaan sebenar.
"Abang cuma bercanda Zen jangan marah kita kan cuma Adik Kakak." Satya tersenyum lalu berbaring.
Kata adik kakak semakin membuat hati Zena berdenyit seperti tertusuk jarum, wanita itu berbalik lalu memejamkan mata dan menghembuskan napas kasar kemudian melenggang ke luar kamar dengan langkah gontai dan perasaan kacau.
Zena tidak tau apa yang terjadi pada dirinya, mengapa kalimat Satya tadi sangat menyakitkan apalagi kalau sudah berhubungan dengan Eva.
"Tidak mungkin aku jatuh cinta pada Bang Satya." Batinnya seraya menggelengkan kepala.
*****
Sementara itu tempat lain.
Eva tengah mengemasi baju bajunya ke dalam koper, dengan berat hati ia harus meninggalkan tanah kelahirannya untuk ke sekian kalinya.
Mama Dena masuk tanpa mengetuk pintu lagi lalu duduk di samping putrinya yang sibuk dengan barang bawaannya.
"Semangat ya Nak." ucap sang mama.
Eva menghela napas kasar, rasanya dia lelah dengan keadaannya saat ini. Ingin menyerah namun tidak tega pada sang ibu yang sudah mati matian memperjuangkannya.
Untuk semetara dirinya akan menuruti saja apa yang diinginkan ibunya dan akan menyerah jika benar benar sudah tak sanggup lagi.
"Ma, kalau boleh jujur Eva sangat lelah seperti ini terus," keluh gadis itu mengeluarkan isi hatinya.
"Sabar Nak jangan menyerah, Kamu pasti bisa! Apa kamu tidak mau menjadi istri Satya orang yang sangat kamu cintai?"
"Entahlah Ma, tapi aku merasa...." Tertunduk.
"Sudah jangan berpikir yang tidak tidak, mama yakin kamu akan baik baik saja, Ada Tama yang akan menjagamu."
"Istirahatlah, kamu harus banyak istirahat." Mama Dena membaringkan putrinya di atas tempat tidur.
"Tapi Ma, aku ingin bertemu Satya dulu sebelum berangkat." Rengek Eva Kemabli duduk.
"Sebaiknya telpon saja, dia pasti akan mengerti seperti yang sudah sudah." Saran mama Dena.
"Tapi Ma, aku sangat merindukannya."
"Eva turuti saja apa yang mama katakan, ini semua demi kebaikanmu."
"Baik Ma," jawab gadis itu mengalah.
*****
Zena saat ini menyibukkan diri dengan menyapu dedaunan di taman belakang membantu pak Supri mengurus taman dari pada berdiam diri di kamar menunggui sang suami yang akan membuat pikirannya makin kusut.
"Biarkan saja ia tidur, itu lebih baik." gumam Zena di sela sela kegiatannya.
Ia tidak siap jika Satya membicarakan tentang Eva lagi, jujur hatinya panas maka dari itu ia menghindar sejenak.
Sementara itu di kamar Satya menunggu Zena kembali, namun yang di tunggu tak kunjung muncul. Ia bosan tak ada teman bicara mau tidur tapi mata tidak mengantuk, mau keluar badan juga masih agak lemas.
Dreet Dreet Dreet
Handphone Satya berbunyi lantas pria itu langsung mengangkatnya dengan binar bahagia melihat siapa yang menghubungi.
"Halo sayang," sapa Satya dengan suara serak.
"Iya Sayang, kamu sakit?" tanya Eva di seberang telpon terdengar khawatir.
"Cuma sedikit pilek, nanti juga sembuh dokter sudah memberiku obat."
"Oh syukurlah sayang."
"Sayang aku mau mengatakan sesuatu padamu." Tambahnya.
"Kau pasti mau bilang kalau kau merindukanku, sama aku juga. Apa kita ketemu saja di tempat biasa?"
"Pasti, aku selalu merindukanmu tapi aku cuma mau mengatakan jika besok aku akan pergi ke singapore." Tutur Eva gugup.
"Aku baru saja kembali dan kau mau pergi lagi?"
"Maaf sayang, aku ada urusan."
"Urusanmu belum selesai juga, sudah satu tahun kau bolak balik namun belum selesai juga, sebenarnya ada urusan apa di sana?" Satya sedikit emosi, merasa kecewa jika harus di tinggal untuk ke sekian kalinya tanpa penjelasan.
"Maaf sayang, aku tidak bisa mengatakannya sekarang."
"Dari dulu selalu itu alasanmu."
"Sudah ya sayang, aku tutup dulu telponnya love you!"
Satya tak menjawab apapun setelah sambungan telponnya terputus sekalipun.
Terbesit kecurigaan pada sang kekasih di otaknya, bolak balik ke luar negeri tapi ia tidak tahu apa yang dilakukan Eva di sana, diajak menikah selalu mengulur waktu tanpa alasan yang jelas.
namun ia menolak pemikirannya sendiri dan memilih tetap percaya, apalagi setelah Eva menerima lamarannya kemarin.
Sebodoh itukah cinta?
Bersambung....
ada" ajah...