Adhira Alindra adalah gadis berprestasi yang angkuh, sombong dan terkenal dengan harga dirinya yang tinggi, mulut pedas. dan prilaku nya yang sok berkuasa.
Ditambah posisinya sebagai ketua osis semakin membuatnya merajalela, lalu apa jadinya jika perilaku buruknya itu menimbulkan dendam pada anggota geng yang terdiri dari siswa-siswa buangan yang berandalan.
Awalnya Adhira tak begitu peduli dengan dendam geng sampah itu, Sampai akhirnya Dendam dan kejadian buruk mengubah kehidupan Adhira,
Gadis berprestasi itu bahkan ingin kembali mengiris nadinya saat percobaan bunuh dirinya gagal.
Adhira tak ingin membuka mata, menurutnya, lebih baik ia mati dengan mengenaskan dari pada menjawab siapa ayah dari anak dalam kandungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atmosfera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ego-23 Panic attack
"Maafin mama ya?"
Zeo tak menjawab, ia melambaikan tangan sebelum mematikan sambungan mereka. Mengabaikan permintaan maaf mamanya.
***
Tak terasa sudah satu bulan berjalan Adhira tinggal di apartemen bersama Zeo. Walaupun masih saling acuh dan selalu bertengkar tapi setidaknya sekarang mereka mulai menyadari kehadiran satu sama lain. Setidaknya hal itu membuat mereka sedikit sadar diri.
Adhira memijat betisnya ketika rasa pegal itu menghampirinya, ia ingin kembali tidur saja rasanya, terlalu malas untuk membuka mata dipagi hari ini. Tapi perempuan itu berdecak saat ia mengingat hari ini adalah hari dimana mertuanya akan datang berkunjung. Orang tua Zeo itu mengatakan akan mampir keapartemen mereka untuk melihat kehidupan pasangan muda itu.
Adhira sebenarnya berniat tak peduli, namun mau bagaimana pun sekarang ia jauh dari kedua orang tuanya. Tak ada yang melindunginya ditengah-tengah keluarga Zeo nantinya, Jadi Adhira berusaha bersikap baik dimata mertuanya setidaknya untuk hari ini saja Adhira akan memforsir tenaganya untuk menyiapkan berbagai kebutuhan mertuanya nantinya. Juga makanan pastinya, tak mungkin Adhira hanya menyajikan nasi kosong tanpa lauk pauk kan.
"Heh, bangun!" Adhira melempar remot tv kewajah Zeo yang masih tidur di sofa yang seolah-olah sudah menjadi kamar pribadi pemuda itu. Memang selama pindah Adhira dan Zeo tak pernah tidur satu kamar. Dan karena hanya ada satu kamar di apartemen itu maka mau tak mau Zeo pun tidur diluar karena enggan bertengkar.
"Apa-an sih Dhir." Erang Zeo mengusp wajahnya yang nyeri akibat lemparan remot itu.
"Bangun!" bentak Adhira kembali melempari Zeo dengan kertas-kertas yang ada di dekat laptop pemuda itu.
"Akh, Dhira-- bangsat, kerjaan gue." Zeo langsung terduduk begitu ia menyadari kertas yang dilemparkan kepadanya adalah kerjaan dari teman papanya yang baru ia kerjakan tadi malam.
Adhira yang tak merasa bersalah itu malah melengos, "Salah siapa gak bangun-bangun."
Zeo mengusap wajahnya, berusaha mengatur emosinya. "Lo tau, gue ngerjain itu semalaman Dhir, bangsat emang." maki pemuda itu saat dirasa emosinya justru kian meluap.
"Kok lo jadi marahin gue?" balas Adhira tak terima dimaki-maki. "Kan lo yang gak mau bangun-bangun."
Zeo menghela napas,
"Bodo amat lah, anterin gue ke supermarket sekarang. "
"Ngapain?"
"Lo jangan pura-pura bego ya, lo bilang mama papa lo mau dateng. Lo mau gue dicap mantu gak becus gitu." sewot Adhira.
Zeo berdecih, "Kan emang iya kan. Lo gak becus." Zeo masih terbawa emosinya.
Adhira menatap Zeo emosi, ia mengambil sisa air kopi Zeo tadi malam lalu menyiramkannya ke kertas-kertas dimeja. "Mampus lo, " kesal Adhira,
Mengabaikan erangan marah Zeo, perempuan itu lalu dengan santainya mengambil dompet Zeo dari kantung jaket Zeo dengan cepat. Lalu berlalu pergi meninggalkan Zeo yang terus memaki dan menyumpah sarapahinya.
***
Adhira berdiri lama didepan stan ice cream. Dalam kepala perempuan itu ia sedang bertengkar dengan nalar dan hatinya, antara menuruti ngidam anak Zeo itu atau mengikuti gengsinya.
Tangannya ragu untuk bergerak karena terlalu banyak berpikir.
"Dhira?" panggilan itu membuat Adhira menoleh dan mimik wajahnya langsung memucat saat mendapati geng anak nakal disekolahnya yang juga merupakan saingannya itu menyapanya.
"Ops, beneran buk ketua osis rupanya." Kata Gisel, saingan terberat Adhira.
"Eits, kok ketua osis sih, mantan kali Sel." celetuk Dina, teman Gisel.
"Eh, iya lupa. Yang dikeluarin dari sekolah itu kan?" tanya Gisel menyindirnya.
"Iya deh kayaknya Sel, denger-denger gegara hamil diluar nikah gitu. Terus gagal bunuh diri lagi duh, kasian banget kalau inget itu." sambing Caca.
Gisel dan Kedua temannya tertawa, sedangkan Adhira menggenggam erat trolinya sampai jarinya memutih.
"Em iya-iya. Padahal dia paling cerewet itu. Suka ngatain kita-kita jal*ng cuma karena pake rok pendek. Eh gak taunya yang ngatain jiwanya lebih pro. Pro jal*ng maksudnya." tawa Gisel.
"Duh, kenapa diem aja nih? Kesindir atu merasa ini, atau keduanya." ejek Gisel.
"Eh, kesininya sendiri? Kok jauh-jauh banget belanjanya. Udah pindah ya, melarikan diri dari kenyataan atau gimana? Atau jangan-jangan ikut suami."
"Suami sel?" ejek Caca
"Eh, iya ya, lo kan hamidun ya Dhir. Lo uda nikah kan? Em sorry aja bukannya gue julid, tapi denger-denger lo gak tau siapa bapak bayi lo ya? Sampek nekat bunuh diri gitu? Kenapa sih? Om- om ya?"
"Kali aja tau Sel, cewek yang ngaku-ngaku paling baik dihidupnya ini kan selingkuh tuh dari Panji sampek hamil. Siapa tau dia malu kan. Karena selingkuhannya sug*r daddy" tawa Caca.
"Duh, jangan gitu guys, bumil ini loh. Kasian debay nya kalau denger kelakuan asli mamanya nanti. " Kata Dina menyindir, ia bahkan mengusap perut Adhira yang langsung ditepis oleh empuhnya.
"Justru bagus dong kalau anaknya uda bisa denger, biar gak ngikut jal*ng kayak mama nya." Tawa Gisel dan kedua nya pecah.
"Duh, udah ah yuk guys, gue gak mau masa liburan gue tercemar sama sij*lang bermulut pedas ini. Huu panas." ejak ketiga gadis itu meninggalkan Adhira yang terpaku ditempatnya.
Setelah Gisel dan kedua temannya sudah benar-benar pergi. Adhira mengerjap kan matanya yang perih, tangan perempuan hamil itu meraba perutnya yang agak menonjol sebelum memukul-mukulnya disertai sedikit isakan.
Gila, ia benci keadaan ini, benci keadaan saat semua orang mengoloknya. Saat semua orang yang dulu ia rendahkan balik mengejeknya. Dan tak ada yang bisa ia lakukan selain meratapi nasib buruknya.
Setelah beberapa saat menangis Adhira menghapus air matanya ketika ada seorang ibu-ibu menegurnya.
"Nak, kenapa nak? Perutnya sakit atau gimana? Kamu hamilkan, Kram ya?" tanya perempuan itu khawatir.
Adhira tersenyum, ia lalu menghapus air matanya, Ia menggelang karena sudah tak sanggup bersuara.
Adhira mundur dan melangkah keluar dari supermarket meninggalkan semua belanjaannya begitu saja. Bahkan ia mengabaikan panggilan ibu-ibu yang tadi menegurnya.
Adhira berlari keluar, meninggalkan troli belanjaannya dengan tangis tertahan sambil segera memesan taksi pulang.
Tubuhnya gemetaran, Adhira bahkan mengatakan alamat apartemennya dengan tersendat saat sopir taksi menanyakan tujuannya.
Adhira panik, fokus matanya berkeliaran tak jenak, kekanan dan ke kiri, tubuhnya mulai basah oleh keringat, ia bahkan terus menutupi wajahnya dengan tangan takut jika ada yang lagi-lagi mengenalinya. Adhira butuh perlindungan, Adhira takut, takut nantinya ada lagi yang menyercanya. Takut ada lagi yang memakinya.
Takut ada lagi, Gisel, Gisel diluar sana yang kembali menemuinya.
Adhira. merasakan nafasnya sesak. Gila. Gila. Ia takut. Sangat-sangat takut.