Novel ini adalah musim ke 3 dari kisah cinta beda usia antara Pram dan Kailla.
- Istri Kecil Sang Presdir ( season 1 )
Pernikahan karena perjodohan antara Pram dan Kailla. Rumah tangga yang diwarnai
dengan konflik ringan karena tidak hanya karakter tetapi juga umur keduanya berbeda jauh. Perjuangan Pram, sebagai seorang suami untuk meraih cinta istrinya. Rumah tangga mereka berakhir dengan keguguran Kailla.
- Istri Sang Presdir ( season 2 )
Kehadiran mama Pram yang tiba-tiba muncul, mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Konflik antara menantu dan mertua, kehadiran orang ketiga, ada banyak kehilangan yang membentuk karakter Kailla yang manja menjadi lebih dewasa. Akhir dari season 2 adalah kelahiran bayi kembar Pram dan Kailla.
Season ketiga adalah perjalanan rumah tangga Pram dan Kailla bersama kedua bayi kembar mereka. Ada orang-orang dari masa lalu yang juga ikut menguji kekuatan cinta mereka. Pram dengan dewasa dan kematangannya. Kailla dengan kemanjaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pram & Kailla 23
"Aryya Perkasa Hutomo Putra." Pram mengeja nama yang tertera di kontrak kerja sama yang ada di tangannya. Ia memiliki janji bertemu dengan Direktur Utama PT Arryacement Hutomo Putra untuk membahas kerja sama perusahaannya dengan perusahaan produsen semen itu.
Bersama dengan Stella, Pram memilih tiba lebih awal dan menunggu di restoran tempat yang dijadwalkan untuk makan siang sambil membahas dan menandatangi kontrak kerja sama. Ia belum pernah bertemu dan tidak mau memberi kesan buruk pada petinggi perusahaan yang akan mengikat kontrak kerja sama dengan perusahaannya. Selama ini, Pieter yang mengurusnya bersama asisten Aryya Perkasa Hutomo Putra.
Stella yang duduk tepat di samping Pram menangkap sosok gagah berjalan masuk ke dalam restoran ditemani seorang pria muda. Mata Stella menyipit saat mengenali pria muda yang tak lain adalah asisten Aryya Perkasa Hutomo Putra.
"Pak, maaf sepertinya ...." Stella menunjuk ke arah pria tinggi dengan tubuh terbalut jas hitam. Ia mengenali asisten yang berjalan di belakang sang pria, pemuda itu sering menemui Pieter belakangan ini.
"Selamat siang. Maaf membuat Pak Reynaldi Pratama menunggu." Benar saja, belum selesai Stella bicara, pria itu sudah menyapa dan menyalami Pram.
"Bapak Aryya Perkasa Hutomo Putra?" Pram memastikan lagi.
"Maaf, saya Aryya Persada Hutomo Putra. Panggil Ersa saja. Kebetulan Pak Erka tidak bisa datang karena sedang bertugas keluar kota, jadi meminta saya menggantikannya."
"Saya Wakil Direktur PT. Aryyacement Hutomo Putra." Ersa menjelaskan.
"Oh, silakan." Pram mempersilakan dua orang pria di hadapannya untuk duduk.
Obrolan ringan di tengah acara makan siang itu diakhiri dengan kontrak kerja sama yang berhasil disepakati bersama.
"Terima kasih, Pak Pram." Ersa mengubah panggilannya setelah berbincang lama dengan Presdir RD Group itu.
"Sama-sama, Pak Ersa. Titip salam untuk Pak Erka." Pram tersenyum.
"Baik, nanti disampaikan. Saya permisi dulu," pamit Ersa, tersenyum. Pria itu berlalu pergi bersama asistennya setelah menyalami Pram.
"Ste, habiskan makan siangmu, kita kembali ke kantor sebentar lagi." Pram memerintah.
Menghempaskan tubuhnya duduk kembali, konsentrasi Pram teralihkan saat ponsel hitam di atas mejanya bergetar. Ia sengaja membungkam benda pipih itu saat membahas kontrak kerja samanya.
"Ya, Ma. Ada apa?" tanya Pram, santai.
“TEMUI MAMA DI MAL, ISTRIMU SEDANG BERSELINGKUH! AKU SEDANG MENANGKAP BASAH KAILLA-MU MAKAN BERDUA DENGAN SEORANG PRIA DI RESTORAN. HANYA BERDUA!”
Deg--
Pram menegakan duduknya. Teriakan Ibu Citra memekakan telinga. Bahkan Pram tidak bisa mendengar dengan jelas.
"Ma, apa yang terjadi? Apa tidak bisa bicara tanpa berteriak." Pram berusaha bersikap tenang. Ia sudah terbiasa dengan mamanya yang selalu berteriak menanggapi sesuatu.
"Kaillamu ... Mama bertemu dengannya sedang makan siang berdua dengan laki-laki. Kamu ingat ... laki-laki yang dulu itu. Dosennya!" adu Ibu Citra.
"Makan berdua, Pram. Pantas saja dia menolak menemani Mama membeli jam tangan dan meminta Kinar. Mama tidak mau ikut campur urusan rumah tanggamu, tapi ini sudah kelewatan, Pram. Mama tidak mau rumah tanggamu berantakan. Kamu itu sudah hampir lima puluh tahun, tidak lucu kalau sampai bercerai dengan dua orang anak masih bayi." Ibu Citra sedikit melunak.
"Aku ke sana. Kirimkan padaku alamat mal-nya."
"Baik, jadi kamu bisa lihat sendiri kelakuan istrimu. Mama tidak mau dituduh mengada-ada, Pram. Mama ini sudah tua, sudah tidak mau lagi ikut campur urusan rumah tangga kalian. Tapi, kalau Kailla begini terus, tidak bisa berubah ... bagaimana Mama bisa tenang menikmati sisa umur Mama. Mama kasihan cucu-cucu Mama." Kembali Ibu Citra mengeluh.
"Ya, Ma. Jangan bicara seperti ini. Aku tidak mau Kailla bersedih mendengar kata-katamu. Berikan ponselnya pada Kailla." Pram berusaha menengahi.
"Bicara sendiri pada istrimu. Mama lelah."
Tak lama, Pram bisa mendengar suara Kailla dari seberang.
"Sayang, apa yang terjadi?" Pram berdiri dan bersiap jalan keluar dari restoran.
"Aku ... aku tidak seperti itu.
"Ya, aku mengerti. Tunggu sebentar ...." Pram mengalihkan pandangannya pada Stella. Sekretarisnya itu sudah bersiap.
"Ste, aku ada urusan sebentar. Kamu kembali ke kantor dengan taksi, ya."
"Ya, Pak."
Pram kembali fokus pada Kailla. Masih dengan ponsel menempel di telinga, ia berjalan keluar menuju ke parkiran. Donny sudah menunggunya di mobil.
"Sayang, kirimkan alamatnya. Aku akan ke sana. Jangan pikirkan ucapan Mama. Aku mencintaimu," ucap Pram memutuskan panggilannya. Ia harus menenangkan Kailla. Kalau tidak, pasti istrinya akan berulah saat mendengar ucapan mamanya yang menyakitkan. Pram sudah sangat mengenal watak kedua wanita kesayangannya.
***
Setengah jam berlalu, Ibu Citra memutuskan ikut duduk bersama Kailla dan sang dosen. Sengaja ia menahan dosen muda itu supaya tidak pergi. Ia ingin menunjukannya pada Pram, kalau ucapannya terbukti.
"Pak, pulang saja. Maaf, sudah membuat Pak Adrian terlibat." Kailla berbisik.
"Tidak, La. Aku harus bantu menjelaskan pada suamimu. Aku tidak mau terjadi salah paham dan urusan bertambah panjang." Adrian bersikeras.
"Tidak apa-apa, Pak." Kailla menciut saat tanpa sengaja beradu pandang dengan Ibu Citra. Ia bukannya takut, tetapi memilih mengalah karena tidak mau memperkeruh suasana. Ia tidak mau sampai membuat masalah dengan Mama mertunya. Bagaimana pun pedasnya kata-kata Ibu Citra, bukan di sini tempatnya melawan.
Di tengah diamnya Kailla, tiba-tiba ponsel di sakunya berteriak nyaring. Kailla menyunggingkan senyuman saat melihat Maya menghubunginya.
"Ya, May. Ada apa?" Kailla bersikap biasa begitu menerima panggilan sahabatnya.
"La, maaf ya. Aku tadi buru-buru. Mamaku sakit, jadi aku tidak berpamitan langsung padamu."
"Mamamu baik-baik saja?" Kailla bertanya. Ia lebih khawatir dengan kondisi Mama Maya dibanding dengan kondisinya yang bisa saja terancam kalau sampai Pram marah besar melihatnya berdua dengan Pak Adrian.
"Ini mau ke rumah sakit. Maaf ya, La."
"Sudah tidak apa-apa." Kailla memutuskan panggilannya saat melihat sosok Pram dari kejauhan. Suaminya berjalan tergesa-gesa, setengah berlari menemuinya.
"Ada apa, Ma?" tanya Pram.
"Tanyakan pada istri kesayanganmu itu. Mama malas berdebat. Kamu bisa melihat sendiri, bisa menilai sendiri ... apa pantas seorang istri berduaan dengan laki-laki lain di belakang suaminya. Mama tidak mau ikut campur."
"Ayo Kinar ... kita pulang sekarang." Ibu Citra berlalu pergi setelah memastikan Pram sudah melihat sendiri keadaan istrinya.
***
"Maaf, Pak. Semua ini hanya salah paham. Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Lala." Sang dosen menjelaskan tanpa diminta. Ia ingin secepatnya pergi dari restoran. Tidak mau terlibat dalam urusan rumah tangga orang lain.
"Ya, saya mengerti." Pram mencoba untuk tidak memperpanjang masalah. Meski dalam hatinya terselip kecurigaan dan prasangka. Sejak awal, Pram sudah tidak menyukai Adrian. Entahlah, seperti ada yang tersembunyi di dalam sorot mata laki-laki itu.
"Kalau begitu ... saya pamit." Adrian bersuara.
"Mari, La." Adrian berpamitan pada Kailla dan tersenyum pada Pram.
Menatap punggung dosen menjauh pergi, Pram bersuara setelah bayangan pria muda itu menghilang di keramaian pengunjung mal.
"Jelaskan padaku, Kai. Apa yang terjadi?" todong Pram. Sorot mata Pram terlihat tajam, ada kilat amarah tertahan.
***
Tbc
untuk yg lain aqu sdh melimpir kak...SEMANGAT ...
membayangkan Pram kok mumet mboyong keluarga ke negri singa dan gak tau sampe kapan demi keamanan.
sat set sat set