Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertempuran
Emelia tidak ragu lagi. Ia memejamkan mata dan melompat keluar dari kereta yang masih melaju. Untuk sesaat, ia merasa melayang di udara sebelum sepasang lengan yang sangat kuat menangkapnya dengan tangkas. Guncangannya begitu keras, namun dada bidang Gideon menjadi bantalan yang melindunginya dari aspal jalanan.
"Aku menangkapmu!" geram Gideon. Ia menarik Emelia ke atas pangkuannya, mendekapnya erat dengan satu tangan sementara tangan lainnya mengendalikan tali kekang kuda hitamnya yang meringkik garang.
Wanita di dalam kereta itu berteriak murka. "Tembak! Habisi mereka sekarang!"
Tiba-tiba, dari balik perbukitan Lembah Kematian, puluhan prajurit berkuda berseragam abu-abu gelap—pasukan bayaran wanita itu—muncul dan langsung memblokade jalan di depan Gideon. Mereka telah menunggu di titik jebakan, mengepung Gideon dan Emelia yang kini terjebak di antara kereta yang mengejar dan pasukan yang menghadang.
Gideon menarik napas panjang, menahan kudanya hingga berhenti mendadak. Ia memutar posisi kudanya sehingga membelakangi tebing, menjaga agar Emelia tetap dalam pelukannya.
"Tenang, Emelia. Pasukanku sudah berada tepat di belakang mereka," bisik Gideon rendah, suaranya bergetar tepat di telinga Emelia, memberikan rasa aman yang aneh di tengah kepungan maut. "Saat mereka lengah karena mengira kita terpojok, itulah saatnya kita menerjang keluar."
Emelia mencengkeram jubah Gideon dengan erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena pasukan yang menodongkan senjata di depan mereka, tapi juga karena rasa bersalah yang masih membekas. "Gideon... maafkan aku. Aku seharusnya tidak mempercayai mereka," isaknya lirih.
"Sst, simpan kata-katamu untuk nanti," jawab Gideon tajam, namun matanya tetap fokus pada pergerakan musuh.
Wanita dari kereta tadi turun dengan anggun, memegang pistolnya dengan angkuh. "Menyerahlah, Duke Jasper! Kau sudah terkepung. Berikan gadis itu padaku, atau kepalanya akan berlubang di depan matamu sendiri!"
Gideon justru tersenyum dingin—sebuah senyum yang menandakan badai akan segera datang. "Kau pikir aku cukup bodoh untuk datang ke Lembah Kematian sendirian?"
Tepat saat wanita itu hendak menarik pelatuk, suara terompet perang The Night Hawks membahana dari puncak perbukitan. Tiba-tiba, hujan anak panah api turun dari langit, menghujam barisan belakang pasukan bayaran tersebut. Kekacauan pecah seketika. Pasukan abu-abu itu panik karena serangan mendadak dari arah yang tidak mereka duga.
"Sekarang!" teriak Gideon.
Gideon memacu kuda hitamnya dengan kekuatan penuh, menerjang celah di antara barisan musuh yang sedang kocar-kacir. Suara denting pedang dan ledakan mesiu memenuhi udara. Emelia menyembunyikan wajahnya di dada Gideon, merasakan kuda mereka melompat melewati rintangan dengan sangat lincah.
"Jangan lepaskan peganganmu!" perintah Gideon saat ia mencabut pedangnya dan menangkis serangan prajurit yang mencoba mendekat.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Emelia melihat ke belakang sejenak. Pasukan elit Gideon telah menggilas habis pasukan bayaran tersebut. Namun, wanita pemimpin itu berhasil melarikan diri ke dalam hutan, meninggalkan kutukan yang mengerikan.
Mereka terus memacu kuda hingga mencapai padang terbuka yang aman. Gideon akhirnya memperlambat kudanya, napasnya tersengal-sengal, namun tangannya tidak sedetik pun melonggarkan pelukannya pada Emelia.
Ia turun dari kuda, lalu menggendong Emelia turun dengan sangat hati-hati. Di bawah cahaya bulan yang mulai memudar, mereka berdiri berhadapan.
"Sekarang," kata Gideon dengan suara parau, menatap mata Emelia yang masih basah. "Jelaskan padaku, siapa yang memberikanmu fitnah kotor itu sampai kau tega meninggalkanku?"
Emelia tertunduk, memegang kalung ibunya yang kini terasa berat. "Bibik Lian... dia bilang kau membunuh ayahku karena dia tidak ikhlas melepaskanku. Aku hancur, Gideon. Aku tidak tahu harus percaya pada siapa."