Arshaka Beyazid Aksara, pemuda taat agama yang harus merelakan hatinya melepas Ning Nadheera Adzillatul Ilma, cinta pertamanya, calon istrinya, putri pimpinan pondok pesantren tempat ia menimba ilmu. Mengikhlaskan hati untuk menerima takdir yang digariskan olehNya. Berkali-kali merestock kesabaran yang luar biasa untuk mendidik Sandra, istri nakalnya tersebut yang kerap kali meminta cerai.
Prinsipnya yang berdiri tegak bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, sekeras Sandra meminta cerai, sekeras dia mempertahankan pernikahannya.
Namun bagaimana jika Sandra sengaja menyeleweng dengan lelaki lain hanya untuk bercerai dengan Arshaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Flou, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SANDRA MENGHUBUNGI NADHEERA?
Setelah serangkaian kalimat pahit itu tertutur dari bibirnya, Arshaka berdiri dan berlalu dari sana—membawa serpihan mangkuk beserta hatinya tanpa melihat kepada Sandra sedikit pun. Hatinya perih sekali, hingga tubuhnya terdiam membisu di depan kamar dengan setitik air mata yang menggelincir begitu saja tanpa mampu ditahan.
Ia terdiam lama di sana. Membiarkan air matanya terus bercucuran membasahi pipi.
“Tidak pernah aku merasakan sakit yang seperti ini. Ayah, mampu kah aku menjadi setegar dirimu saat mengetahui masa lalu Ibu? Demi Allah, sakit sekali rasanya.”
Bagaimana sakit yang akan Arshaka rasakan jika sayang dan cinta itu sudah ada di hatinya untuk Sandra, sementara gadis itu sama sekali tidak bisa menerima dirinya?
Salat istikharah adalah yang terbaik yang bisa Arshaka lakukan saat ini. Bermunajat pada Tuhan, meminta pertolongan serta petunjuk dengan segala ketidakberdayaan serta kelemahan dirinya.
Lalu selepas ia mengadukan semuanya pada Tuhan, dan merasa hatinya mulai tenang, baru ‘lah dia bersiap untuk ke kampus.
Telah berdiri Arshaka di depan salah satu kelas fakultas manajemen semester 3, sesekali ia melihat ke arah papan tulis sembari menjelaskan materi yang Pak Hamdan titipkan padanya.
Kelas berlangsung dengan semakin seru, dan para mahasiswa semakin paham tentang manajemen investasi berkat penjelasan Arshaka yang rinci dan analitis.
Selesai mengisi materi, Arshaka berjalan di lorong kampus menuju perpustakaan sambil sesekali kepalanya mengangguk, membalas sapaan mahasiswa.
Ting!
[Ning Nadheera : Assalamualaikum, Kak. Mohon maaf mengganggu waktu Antum. Kami mau minta tolong, kira-kira Antum ada waktu luang malam ini untuk ikut diskusi sebentar via Zoom mengenai konsep acara? Jazakallah khoir.]
Membaca pesan tersebut, tubuh Arshaka seketika menegang. Arshaka tahu, ini adalah konsekuensi dari kecerdasannya yang membuatnya selalu dicari dan dilibatkan. Namun, bertemu bahkan hanya via Zoom dengan Nadheera adalah tantangan besar bagi hatinya yang sedang berduka karena penolakan Sandra.
Akan tetapi, ia juga tidak memiliki pilihan lain, bukan? Dirinya sudah mengatakan sanggup untuk membantu mereka hingga acara wisuda selesai dan mundur saat sudah melangkah bukanlah dirinya.
[Waalaikumsalam, baik Ning. Insyaa Allah saya ada waktu luang. Kirimkan saja link zoom-nya. Pukul berapa?]
[Senggangnya Antum saja, Kak. Kalau dari sini, khawatir bentrok dengan kegiatan Antum di sana.]
[Tidak, saya tidak ada agenda apa-apa malam ini.]
[Baik kalau begitu. Ba'da Isya, bagaimana?]
[Boleh, Ning.]
[Kak ....]
Dahi Arshaka berkerut saat ia pikir pembahasan telah selesai, tetapi Nadheera masih mengirim pesan kepadanya. Ia duduk di kursi ujung perpustakaan, kemudian jemarinya bergerak mengetik balasan.
[Ya?]
[Saya bingung harus bagaimana. Kepalaku penuh, tidak bisa berpikir jernih.]
[Salat, Ning. Minta petunjuk sama Allah agar dikasih jalan keluar. Memangnya ada apa?]
[Abah, Umi, dan Mas Ahmad tidak memberiku restu menikah dengan Gus Lutfi. Saya tidak bisa memberitahu alasannya. Tapi semua ini benar-benar membuat saya bingung. Juga beberapa menit lalu, saya mendapatkan pesan dari perempuan yang katanya itu adalah Sandra, istrimu. Saya kirim nomornya biar Antum pastikan itu nomor istri Antum atau bukan.]
Arshaka terdiam, jemarinya membeku di atas layar ponsel. Kepalanya tiba-tiba terasa berat. Isu Nadheera dan Gus Lutfi sudah cukup mengguncang, tetapi nama Sandra yang muncul di akhir pesan itu membuat seluruh tubuhnya seakan tersengat listrik.
Sandra menghubunginya? Untuk apa?
Ia segera mengecek nomor yang dikirim Nadheera, mencocokkannya dengan nomor kontak Sandra yang tersimpan. Matanya membulat. Ya, itu adalah nomor Sandra.
[Itu benar nomor Sandra, Ning. Dia bilang apa padamu?] balas Arshaka cepat, tanpa mempedulikan jeda waktu.
[Hanya mengajakku bertemu. Itu saja, Kak.]
[Emosinya sangat tidak stabil. Saya minta tolong, abaikan saja pesannya. Saya khawatir dia berbuat macam-macam. Abai saja ya? Bisa?]
[Perasaan saya tidak enak. Tapi entahlah. Saya juga tidak merespon pesannya setelah dia mengatakan ada hal penting yang harus dibicarakan terkait Antum.]
Arshaka menghela napas lega saat tahu Nadheera belum merespon permintaan pertemuan itu. Setidaknya, ia punya waktu untuk bertindak.
[Terima kasih, Ning. Tolong jangan merespon apa pun sampai saya bilang iya. Mengenai masalah Antum dan Gus Lutfi, tolong jangan ambil keputusan tergesa-gesa. Beristigfar dan perbanyak doa, Ning. Saya yakin Antum akan dapat petunjuk terbaik.]
[Insya Allah, Kak. Semoga Allah mudahkan urusan Antum juga.]
🥀🥀🥀
“Sudah mendingan?” tanya Arshaka mengecek suhu tubuh Sandra. Wajah gadis itu cukup merah, demamnya semakin tinggi. “Ke dokter saja ya?”
Sandra menggeleng pelan, tubuhnya saat ini benar-benar lemah. Seluruh wajahnya terasa sangat panas, hingga ia merasa tak nyaman saat bernapas. Sedang telapak kaki dan tangannya begitu dingin.
“Mau ke Mama.”
“Kangen?”
Ia menyenggut. Arshaka langsung merogoh saku celana dan menghubungi Mia. Menanyakan apakah ibu mertuanya tersebut ada di rumah atau tidak, ia berniat untuk menjemput Mia. Namun, ternyata paruh baya itu sedang melakukan tes wawancara kenaikan jabatan di luar kota.
Sandra mendesah sesak. Dia butuh dipeluk oleh Mia. Kebiasannya sedari kecil jika sedang sakit, obatnya adalah sang ibunda.
“Yang lain saja ya, mau apa? Saya belikan.” Arshaka berusaha membujuk Sandra, tetapi gadis itu tetap geleng-geleng kepala. “Aurel ....”
“Kangen Mama,” rengek Sandra serak, lalu air matanya menetes, jatuh di pipi memerah Sandra.
Alkhaiz gemas sendiri, gadis sekeras itu jika sakit ternyata sangat cengeng. “Iya kangen Mama terus mau apa? Mau salto? Ngajak berantem? Lagi sakit, jangan bertingkah.”
Sandra mencebikkan bibir tanpa melengoskan muka saat telapak tangan Arshaka berangsur mengusap air matanya dengan lembut.
“Keluar sana ah!” usir Sandra mendorong tanpa tenaga tubuh Arshaka.
“Ck, diamlah. Saya sedang mengurusmu.”
“Nggak butuh diurusin.”
Arshaka geleng-geleng kepala seraya membuka kemasan bye-bye fever. “Sifatnya sombong hanya boleh dimiliki oleh Tuhan,” sindirnya. “Mau makan pakai bubur atau sup?”
“Nggak mau, pahit.”
“Ya sudah jika mau terus-terusan sakit. Lagi pula saya lebih suka kamu sakit seperti ini.” Arshaka mengedikkan bahu lalu berdiri dan melenggang gontai dari kamarnya.
“Yang paham agama juga nggak menjamin bisa peka.”
Lirih suara Sandra yang bergumam sampai di telinga Arshaka. Bukan dia tidak tahu bahwa Sandra butuh pelukan, semua tentang gadis itu telah ia ketahui. Hanya saja, Arshaka tidak ingin melakukan sesuatu yang tanpa diminta oleh istri nakalnya tersebut dan berakhir Sandra marah-marah. Itu hanya akan membuat Sandra semakin sakit.
“Iya, saya ke dapur dulu sebentar,” sahutnya lalu membuka pintu dan benar-benar keluar dari sana.
Lima menit lebih kurang Arshaka di dapur untuk memasak bubur. Dia tinggalkan lebih dulu sembari menunggu masak. Kembali dia ke kamar dengan membawa buah-buahan.
“Makan buah dulu buat ganjal perut ya, terus minum obat?” tanyanya dibalas gelengan oleh Aurel. “Sedikit saja.”
Namun Sandra tetap menolak dengan menggelengkan kepalanya. Arshaja menghela napas berat, dalam keadaan sakit pun gadis itu masih sanggup menguji kesabarannya. Daripada nanti Sandea marah-marah dan berakhir tidak ingin makan, Arshaka memilih untuk mengalah.
Arshaka melepas kemejanya dan menggantungnya pada hanger, menyisakan kaos hitam polos yang masih melekat di tubuhnya. Ia kemudian naik ke tempat tidur, menyelipkan diri di bawah selimut yang digunakan Sandra, lalu merengkuh tubuh gadis yang membelakanginya.
“Kamu yang meminta, Sandra. Jangan salahkan saya,” ucap Arshaka saat merasakan Sandra yang tersentak kaget.
Sandra menegang kaku saat merasakan pelukan Arshaja yang cukup hangat. Tangan kanannya menyelusup di bawah lehernya, sementara tangan kirinya melingkar di pinggang Sandra, menautkan jari-jemari mereka.
“Kamu nyaman seperti ini?” bisiknya pelan.
“Sandra ....” Arshaka kembali memanggil sambil mengusap buku jari Sandra.
Gadis itu masih blank, ketulusan Arshaka sampai padanya hingga perut Sandra terasa sangat penuh. “Ng-ngapain?” tanyanya tergagap.
Terdiam sejenak, Arshaja mengusap kepala Sandra dengan tangan kanannya yang dilipat ke arah dalam. “Obatnya ini bukan? Nyaman seperti ini?” tanyanya lembut penuh perhatian.
Begitulah Arshaka, jika diberi amanah, ia akan menjaganya tanpa memikirkan dirinya sendiri. Sebab setiap hal yang kita miliki kelak harus dipertanggungjawabkan, apa pun bentuknya.
Ketika seseorang menitipkan barang kepada temannya, lalu suatu saat ingin mengambilnya kembali dan mendapati barang itu lecet, padahal sebelumnya dalam kondisi baik, tentu ia akan meminta pertanggungjawaban.
Lalu, bagaimana jika apa yang kita miliki adalah titipan langsung dari Tuhan?
“Kalau nanti malam masih demam, mau ya saya panggilkan dokter?”
Bagai terhipnotis, Sandra mengangguk begitu saja. Seutas senyum pun terbit di bibir Arshaka. “Boleh saya tanya sesuatu?” tanyanya. Sandra mengangguk lagi.
“Hadap sini,” pinta Arshaka.
“Nggak mau.”
“Hadap sini ya? Sebentar saja, saya janji.”
Sandra membuang napasnya yang terasa sangat panas. Pelan ia memutar tubuh sembari Arshaka mengeratkan selimut.
Saat ini, keduanya berhadapan. Namun, Sandra enggan menatap wajah Arshaka. Dengan lembut, pemuda itu meraih dagu sang istri dan sedikit mengangkatnya, sehingga manik mata hitam keduanya bertemu lagi. Buku jari pemuda itu mengusap lembut pipi Sandra saat sang empunya hendak berpaling lagi.
“Kamu membentengi hati dari suamimu demi siapa, Sandra? Adakah pria yang kamu suka? Ataukah ada pria yang sedang kamu incar?”
Ini novel pertama saya, semoga kalian suka ya. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, Sayangku🥰