NovelToon NovelToon
Alas Mayit

Alas Mayit

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Hantu / Iblis
Popularitas:45
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Awph

​"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
​Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
​Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10: Lidah dari kegelapan lorong

Sebuah lidah yang sangat panjang dan berduri mendadak melesat dari kegelapan dan melilit leher pemuda misterius itu hingga matanya terbelalak. Darah segar menyembur dari pori-pori lehernya saat duri-duri hitam itu menusuk kulit dan mengait pembuluh darahnya dengan sangat beringas.

Baskara terpaku sesaat melihat tubuh sang penjaga batas terseret dengan kecepatan luar biasa masuk ke dalam mulut lorong yang lebih gelap. Suara tulang leher yang berderak kencang memenuhi ruangan bawah tanah yang dipenuhi jamur biru itu secara terus-menerus.

Lampu senter di bahu Baskara kembali berkedip-kedip saat ia mencoba mengarahkan cahayanya ke arah mahluk yang sedang memangsa teman barunya. Ia melihat sepasang mata raksasa berwarna kuning pucat sedang mengintip dari langit-langit lorong yang becek dan berlendir.

"Lepaskan dia, mahluk pengecut yang hanya berani menyerang dari belakang!" teriak Baskara sambil menghunus belati peraknya.

Pemuda misterius itu mencoba meraih keris kecil di pinggangnya namun lidah tersebut melilit tangannya hingga terdengar suara tulang yang patah secara berulang-ulang. Ia menatap Baskara dengan tatapan memohon sambil memuntahkan busa putih yang bercampur dengan lendir hijau dari mulutnya.

"Lari, Baskara! Jangan biarkan mahluk penghisap sumsum ini menangkap bayanganmu juga!" perintah pemuda itu dengan suara yang sangat parau dan tersedak darah.

Baskara tidak menghiraukan perintah tersebut dan justru melompat maju sambil mengayahkan belati peraknya ke arah lidah berduri yang sedang melilit leher korbannya. Bilah perak itu memotong ujung lidah tersebut hingga mengeluarkan cairan bening yang terasa sangat panas saat mengenai punggung tangan Baskara.

Mahluk di langit-langit lorong itu menjerit melengking hingga getarannya meruntuhkan beberapa bagian atap tanah yang sudah mulai rapuh. Lidah itu terlepas dan menarik diri kembali ke dalam kegelapan namun meninggalkan bekas luka bakar yang menghitam pada leher sang pemuda misterius.

"Apakah kamu masih bisa berdiri setelah mengalami serangan yang sangat mengerikan seperti itu?" tanya Baskara sambil membantu pemuda itu duduk bersandar.

Pemuda itu mengangguk lemah sambil memegangi lehernya yang kini mengeluarkan uap putih berbau belerang yang sangat menyengat hidung. Ia menunjuk ke arah jamur-jamur biru yang mulai meredup cahayanya seolah-olah energi di tempat ini sedang dihisap oleh sesuatu yang lebih besar.

"Mahluk tadi hanyalah lidah dari hutan ini yang sedang mencoba mencicipi darah keturunan orang yang membuka gerbang," bisik pemuda itu dengan napas yang memburu.

Baskara merasa jantungnya berdenyut kencang saat menyadari bahwa setiap mahluk di hutan ini sepertinya sangat mengenal garis keturunannya. Ia melihat telapak tangannya yang memiliki jahitan mulai berdenyut secara berulang-ulang seiring dengan semakin dekatnya mereka ke jantung istana kristal.

"Kenapa kakek buyutku harus melakukan semua ini jika akhirnya hanya akan membawa petaka bagi anak cucunya?" tanya Baskara dengan nada penuh kemarahan.

Pemuda itu tidak menjawab dan justru menarik tangan Baskara agar mereka segera meninggalkan tempat tersebut sebelum mahluk tadi kembali membawa kawanannya. Mereka merangkak melalui celah sempit di antara akar beringin yang terasa sangat lengket dan bergerak seperti sedang bernapas secara terus-menerus.

Tiba-tiba, jalan di depan mereka buntu oleh sebuah dinding yang terbuat dari ribuan wajah manusia yang sedang memejamkan mata dengan ekspresi tenang. Wajah-wajah itu tampak sangat nyata seolah-olah mereka adalah orang-orang yang sedang tidur di dalam lapisan tanah yang sangat dingin.

"Ini adalah dinding penyesalan, di mana setiap wajah mewakili satu nyawa yang dikorbankan demi kemakmuran sesaat," jelas pemuda misterius itu dengan nada sedih.

Baskara mendekatkan wajahnya ke dinding tersebut dan seketika ia merasa dunianya berputar dengan sangat hebat hingga ia hampir kehilangan keseimbangan. Salah satu wajah di dinding itu perlahan membuka matanya dan menatap Baskara dengan tatapan yang sangat ia kenali sejak kecil.

Wajah itu adalah wajah Arini namun dalam versi yang jauh lebih muda dan masih memakai seragam sekolah menengah atas yang bersih. Arini di dalam dinding itu mulai menangis dan memanggil nama Baskara dengan suara yang sangat lirih hingga menyayat hati siapa pun yang mendengarnya.

"Baskara, kenapa kamu membiarkan mereka menjahit mulutku dan membuang jiwaku ke dalam sungai air mata?" tanya bayangan Arini dari balik dinding wajah.

Baskara merasa tangannya bergerak sendiri ingin menyentuh pipi Arini yang ada di dinding tersebut meski ia tahu itu mungkin hanyalah jebakan ilusi. Namun, pemuda misterius di sampingnya segera menepis tangan Baskara dengan kasar hingga Baskara tersungkur ke atas tanah yang becek.

"Jangan pernah menyentuh dinding itu jika kamu tidak ingin namamu tertulis di atas nisan yang tidak akan pernah dikunjungi oleh siapa pun!" bentak pemuda itu dengan keras.

Baskara tersadar dari pengaruh sihir dinding wajah tersebut dan segera menjauh dengan napas yang tersenggal-senggal karena rasa takut yang baru saja menghampirinya. Ia melihat wajah Arini di dinding itu mulai berubah menjadi tengkorak yang tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya kembali memejamkan mata.

"Lalu bagaimana cara kita melewati dinding terkutuk ini tanpa harus menjadi bagian dari mereka?" tanya Baskara sambil menyeka keringat dingin di dahinya.

Pemuda misterius itu mengambil seruling bambunya dan mulai memainkan sebuah nada yang sangat rendah hingga membuat dinding wajah itu mulai bergetar hebat. Wajah-wajah yang ada di sana mulai bergeser dan membuka sebuah celah kecil yang hanya cukup dilewati oleh satu orang manusia dewasa saja.

Mereka masuk ke dalam celah tersebut dan mendapati diri mereka berada di sebuah ruangan luas yang lantainya terbuat dari tumpukan jam tangan yang semuanya mati. Baskara melihat ribuan jam tangan miliknya dan milik rekan-rekan tim SAR yang lain berserakan di sana dengan jarum yang menunjuk ke angka dua belas tepat.

"Waktu di Alas Mayit tidak bergerak maju, melainkan berputar dalam lingkaran penderitaan yang sama secara berulang-ulang," ucap pemuda itu sambil berjalan di atas tumpukan jam.

Baskara mengambil salah satu jam tangan yang ada di bawah kakinya dan terkejut saat melihat foto ibunya ada di dalam tutup jam tangan tersebut. Ia menyadari bahwa jam tangan ini adalah milik ayahnya yang hilang dan jam itu masih terasa hangat seolah-olah baru saja dilepaskan dari pergelangan tangan pemiliknya.

"Ayahku ada di sekitar sini, aku bisa merasakannya melalui benda ini!" seru Baskara dengan penuh keyakinan yang meluap-luap.

Pemuda misterius itu berhenti melangkah dan menatap Baskara dengan tatapan yang sangat dalam seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat berat. Ia kemudian menunjuk ke arah sebuah pintu besar yang terbuat dari kristal hitam di ujung ruangan yang memancarkan cahaya merah darah.

"Jika kamu masuk ke pintu itu, kamu mungkin akan menemukan ayahmu, tapi kamu tidak akan pernah bisa kembali menjadi manusia yang sama lagi," peringat pemuda itu.

Baskara tidak peduli lagi dengan peringatan apa pun karena rasa rindunya kepada sang ayah telah mengalahkan rasa takutnya terhadap kematian yang sedang mengintai. Ia berlari menuju pintu kristal hitam itu dengan menggenggam erat jam tangan ayahnya di satu tangan dan belati perak di tangan yang lain.

Baru saja ia hendak menyentuh gagang pintu yang terbuat dari tulang manusia, sebuah tangan pucat muncul dari dalam kristal hitam dan mencengkeram leher Baskara. Mahluk yang keluar dari dalam kristal itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan Baskara namun dengan rambut yang semuanya berwarna putih perak.

Mahluk yang menyerupai dirinya itu kemudian membisikkan sebuah tanggal kematian yang tepat pada hari ini ke telinga Baskara.

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!