Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Tiga
“Mandaaa …!”
Suara Azka memecah sunyi malam. Ia berdiri terpaku di depan restoran, pandangannya liar mencari ke segala arah. Lampu-lampu jalan menyorot samar wajahnya yang tegang. Nafasnya memburu, dadanya sesak seolah paru-parunya menolak udara.
Dia melangkah cepat ke tempat parkir, membuka pintu mobil dengan tangan yang gemetar. “Tolonglah, Manda ... jangan pergi kayak gini.” Suaranya lirih, lebih mirip doa yang tak yakin akan terkabul.
Ia menyalakan mesin, lalu segera menekan pedal gas. Ban mobil berdecit pelan di jalan basah. Hujan baru saja turun, meninggalkan aroma tanah dan aspal yang lembab. Wiper bergerak cepat, menghapus sisa-sisa rintik di kaca depan.
Satu tangan Azka memegang kemudi, satu lagi sibuk menekan layar ponselnya. Nama Amanda muncul di layar. Ia tekan panggilan.
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”
Suara mesin wanita dari operator terdengar datar. Azka memukul setir keras-keras. “Sial!” serunya. Ia coba lagi. Dan lagi. Dan lagi. Tapi hasilnya sama. Nomor itu tetap tak aktif.
Hatinya semakin cemas. “Kamu di mana, Sayang?” gumamnya lirih. “Aku mohon, jangan pergi gini aja ....”
Mobil itu terus melaju di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu toko sudah banyak padam. Beberapa kendaraan lewat, tapi tak satu pun yang bisa menarik perhatiannya. Semua hanya kabur di matanya.
Di kepalanya, wajah Amanda terus muncul. Wajah yang tadi basah oleh air mata. Suara terakhirnya terus terngiang.
“Jika Mas memang mencintaiku, biarkan aku pergi.”
Tangannya menggigil, entah karena udara malam yang dingin atau karena takut kehilangan. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar pelan.
“Aku bodoh,” ucap Azka dengan lirih di sela napas berat. “Aku benar-benar bodoh.”
Setelah berjam-jam menyusuri jalanan, Azka akhirnya memutuskan pulang. Harapannya cuma satu: semoga Amanda pulang lebih dulu. Semoga semua ini hanya jeda sebelum mereka bicara lagi.
Mobilnya berhenti di depan rumah. Lampu teras masih menyala, tapi suasananya... hampa. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Begitu masuk, Azka langsung memanggil,
“Manda!” Tak ada sahutan.
Ia melangkah ke ruang tamu. Sepatu Amanda yang biasa tergeletak di dekat rak sudah tak ada. Hatinya mulai berdegup keras.
“Manda ... kamu di mana, Sayang?” Masih tak ada jawaban.
Mbok Rini keluar dari kamarnya. Azka langsung menghampiri.
"Mbok, apa Manda sudah pulang?"
"Bu Manda belum pulang sejak pagi tadi, Pak."
"Kenapa Mbok tak bilang kalau Bu Manda pergi dari pagi?"
"Mbok pikir ibu pergi kerja seperti biasanya."
Azka tak menyahut lagi ucapan dari Mbok Rini, ia berjalan ke kamar mereka, membuka pintu perlahan. Bau lembut parfum Amanda masih samar di udara. Lampu kamar redup. Seprei di tempat tidur berantakan, seperti seseorang baru saja duduk lama di sana, lalu pergi tergesa.
Azka berdiri di ambang pintu, napasnya tersengal. Perasaannya menolak percaya, tapi langkahnya perlahan mendekati lemari pakaian.
Tangannya bergetar saat membuka pintu lemari. Separuh isi lemari itu kosong.
Baju-baju Amanda banyak yang tak ada. Beberapa gantungan bahkan masih berayun pelan, seperti baru saja disentuh.
“Enggak …,” gumam Azka lemah. Ia menyentuh gantungan baju itu, seolah berharap semua ini cuma mimpi buruk.
Ia berjongkok, membuka laci di bawah. Isinya tinggal beberapa lipstik, sisir, dan foto mereka berdua dalam bingkai kecil.
Azka mengambil foto itu. Di foto itu, Amanda tersenyum di bahunya, matanya bersinar bahagia.
“Kamu pernah segitu bahagianya, Manda ...,” ucap Azka pelan.
Air matanya jatuh di atas kaca bingkai, menodai senyum di foto itu.
Dia duduk di lantai kamar, bersandar di lemari yang kini setengah kosong. Pandangannya kosong menatap ke depan, tapi pikirannya berputar cepat.
Semua kenangan menyerbu bersamaan, malam pertama mereka di rumah ini, tawa Amanda waktu masak pertama kali, tatapannya setiap kali Azka pulang kerja.
Dan kini semua itu hanya tinggal ruang kosong dan pakaian yang tak lagi tergantung.
Azka mengusap wajahnya kasar. “Aku sendiri yang telah merusak semuanya.”
Ia bangkit pelan, menuju meja rias. Di sana, masih ada sebotol parfum kesukaan Amanda. Tutupnya terbuka. Ia memegang botol itu, menatap lama.
Lalu menyemprotkannya sekali. Aroma lembut vanilla dan bunga melati langsung memenuhi ruangan. Aroma itu menghantam ingatannya seperti gelombang.
Suara Amanda yang lembut, tawanya yang ringan, bahkan cara dia memanggil “Mas” dengan nada manja—semua menyerbu.
Dan tiba-tiba dada Azka terasa sesak. Ia membanting botol parfum itu ke lantai. Kaca pecah, menyebar ke segala arah.
“Kenapa aku nggak jujur dari awal?!” teriaknya. “Kenapa aku sebodoh ini!”
Tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Air matanya tak bisa lagi ditahan. Ia jatuh berlutut di tengah pecahan kaca dan wangi parfum yang kini menyengat.
Hening. Hanya suara napasnya yang tersengal di antara tangisan.
Setelah beberapa menit, ia meraih ponselnya lagi. Menekan nomor Amanda sekali lagi.
Masih tak aktif.
Dia coba buka WhatsApp, terakhir online dua jam lalu. Foto profilnya sudah hilang. Chat-nya masih ada, tapi centang satu.
“Dia beneran ninggalin aku,” gumam Azka lirih.
Ia mengetik pesan panjang, “Manda, aku mohon balas. Aku hanya ingin tau kamu dimana, Sayang. Aku tak bisa tenang jika kamu belum pulang. Manda, maafkan aku. Aku akan terima apapun hukuman yang akan kau berikan, tapi pulang ya, Sayang."
Pesan itu hanya berhenti di satu centang abu-abu.
Waktu terus berjalan. Pukul dua dini hari. Rumah itu sunyi. Azka masih duduk di lantai kamar, punggungnya bersandar di dinding, matanya sembab.
Ia lalu berjalan keluar dari kamar dan kembali duduk di sofa ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Hujan turun lagi, kali ini lebih deras.
Pikiran Azka terus melayang. Ia teringat waktu pertama kali bertemu Amanda di kantor, saat gadis itu datang sebagai klien. Senyumnya, kepolosannya, cara dia bicara dengan jujur tanpa pura-pura.
“Dan aku malah balas semua itu dengan kebohongan,” ucap Azka lirih.
Ia menatap cincin di jarinya, benda kecil yang kini terasa berat. Ia memutar cincin itu perlahan, lalu melepaskannya.
Cincin itu ia letakkan di atas meja, tepat di samping foto pernikahan mereka.
“Maaf, Manda ... Aku nggak pantas pakai ini lagi.”
Subuh menjelang. Langit di luar mulai memucat. Burung-burung belum sempat berkicau, tapi Azka belum juga tidur.
Ia berjalan ke dapur, menyalakan teko air panas. Suara mendesis dari teko memecah kesunyian.
Tangannya gemetar waktu menuang kopi ke cangkir, dua cangkir, seperti kebiasaannya dulu. Satu untuknya, satu untuk Amanda. Tapi kali ini, hanya satu yang akan diminum.
"Pak, biar Mbok yang buat," ucap Mbok Rini. Hal itu membuat Azka terkejut.
"Biar saja aku yang buat. Mbok kerjakan yang lain aja." Mbok Rini pergi karena tak mau berdebat. Ia menyadari jika majikannya itu sedang tak baik-baik saja.
Ia menatap cangkir kosong di seberang meja. “Biasanya kamu duduk di situ, kan? Sambil ngomel karena kopinya kelamaan diseduh.”
Senyum pahit mengembang di wajah Azka. “Sekarang bahkan bau kopinya aja udah nyakitin.”
Ia menyesap sedikit, tapi rasanya hambar. Segalanya hambar.
Matanya tertuju ke pintu rumah. Ia masih berharap akan terdengar suara langkah, ketukan lembut, atau panggilan 'Mas' dari balik sana. Tapi harapan itu hancur perlahan bersama waktu yang terus bergulir.
Pukul tujuh pagi. Matahari akhirnya muncul, tapi tak memberi hangat.
Azka masih di ruang tamu. Ponselnya ia pegang erat, terus menatap layar seolah dari sana bisa muncul kabar ajaib. Tapi tetap sama, tak ada pesan masuk.
Amanda masih mencintai Azka ,rasa cinta yang sulit untuk dihilangkan😭
Untuk Yuni g salah kmu memperjuangkan cinta azka..tp nathan bukan alasan u tinggal bersama dg azka..karena masa lalu akan jd alarm u kalian berdua merasa tersakiti
#thor udah bikin cerai aj dech mereka..dan segerakan dpat jodohnya..kezel aku thor😄