NovelToon NovelToon
Ketika Dunia Kita Berbeda

Ketika Dunia Kita Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:472
Nilai: 5
Nama Author: nangka123

Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23: Sidang zul

Keesokan harinya, suasana apartemen Fanda masih tegang. Video yang direkam Fanda malam itu sudah ia serahkan kepada polisi.

Andre duduk di sofa dengan perban di pipi dan lengan, sementara Fanda duduk di sampingnya, menggenggam erat tangannya.

Di tempat lain, tiba-tiba suara sirine terdengar. Beberapa anggota kepolisian keluar dengan sigap, mengetuk keras pintu depan.

“Pak Zul, kami dari kepolisian! Harap buka pintu!”

Tak lama kemudian, Zul muncul dengan wajah kaget.

“Ada apa ini? Kenapa kalian datang ke sini!” tanya Zul kepada beberapa polisi itu.

Salah satu perwira maju sambil menunjukkan surat perintah.

“Anda ditangkap atas dugaan penganiayaan berencana dan penyalahgunaan orang suruhan. Semua bukti sudah kami pegang, termasuk rekaman video.”

Wajah Zul seketika memucat. Ia menoleh ke kanan-kiri, seakan mencari cara kabur. Namun dua polisi segera memegang kedua lengannya, memborgol tanpa ampun.

“Lepaskan saya! Itu fitnah! Saya dijebak!” teriak Zul sambil meronta.

Beberapa warga yang menonton dari kejauhan berbisik-bisik. Reputasi Zul yang selama ini arogan, kini runtuh di hadapan publik.

Sementara itu, di apartemen, Fanda menutup tirai perlahan. Ia menoleh ke Andre.

“Mas… akhirnya semua terbongkar.”

Andre tersenyum tipis meski wajahnya masih terasa perih.

“Iya, Sayang. Kali ini dia harus tanggung semua perbuatannya.”

Fanda menghela napas lega. Hatinya bergetar, bukan hanya karena keadilan mulai berpihak, tapi juga karena keberaniannya sendiri untuk melawan.

Setelah menunggu sebulan akhirnya tiba waktunya persidangan zul. gedung pengadilan dipenuhi wartawan.suara bisik-bisik tak berhenti terdengar. Nama Zul kini bukan hanya dikenal di kalangan bisnis, tapi juga menjadi headline berita kriminal.

Fanda duduk di kursi saksi bersama Andre. Jemarinya dingin, namun genggaman tangan Andre membuatnya sedikit tenang.

Hakim memasuki ruangan. Semua orang berdiri.

“Sidang perkara penganiayaan dengan terdakwa Zul resmi dibuka,” suara hakim bergema.

Zul digiring masuk dengan pakaian tahanan oranye. Wajahnya tetap angkuh, meski jelas ada gurat panik di matanya. Ia melirik ke arah Fanda dan Andre, menatap tajam seolah ingin menusuk mereka dengan mata.

Jaksa penuntut berdiri, membuka berkas.

“Yang Mulia, terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana penganiayaan berencana dengan menyuruh orang lain untuk melaksanakan penyerangan. Bukti yang kami miliki antara lain: rekaman video yang diambil saksi Fanda, serta keterangan tertulis dari salah satu pelaku yang telah tertangkap.”

Zul cepat menyela.

“Itu semua bohong! Saya dijebak! Rekaman itu bisa saja dibuat-buat!” teriaknya.

Hakim mengetukkan palu.

“Terdakwa, tenang. Anda akan diberi kesempatan bicara.”

Jaksa melanjutkan.

“Untuk itu, kami mohon izin menghadirkan saksi korban, yaitu saudara Andre dan Ibu Fanda.”

Fanda berdiri dengan lutut bergetar. Ia berjalan menuju kursi saksi.

Jaksa menatapnya.

“Ibu Fanda, apakah benar Anda yang merekam video saat salah satu penyerang menyebut nama Zul?”

Fanda mengangguk.

“Benar, Pak. Saya rekam dengan ponsel saya sendiri, dan rekaman itu saya serahkan langsung kepada pihak kepolisian. Tidak ada rekayasa.”

Jaksa mengangguk, lalu menoleh pada hakim.

“Izin, Yang Mulia, kami ingin memutar rekaman tersebut di ruang sidang.”

Layar monitor menyala. Suara gaduh terdengar, lalu jelas terdengar suara pria yang tertangkap malam itu berteriak:

“Gue… gue cuma disuruh… Zul! Semua ini perintah Zul!”

Ruangan hening sejenak. Semua mata tertuju pada Zul. Wajahnya memerah, urat lehernya menegang.

“Itu suara palsu! Mereka fitnah saya!”

Zul berteriak lagi, mencoba berdiri, namun petugas segera menahannya.

Hakim mengetukkan palu.

“Terdakwa, duduk dan tenang!”

Giliran Andre maju. Ia bersaksi bagaimana ia diserang, bagaimana Fanda merekam, dan bagaimana akhirnya penyerang itu ditangkap. Suaranya mantap, meski luka di wajahnya masih tampak samar.

Saat kesaksiannya selesai, hakim menatap Zul.

“Terdakwa, berdasarkan bukti awal dan kesaksian saksi korban, majelis hakim akan melanjutkan perkara ini ke tahap pemeriksaan saksi tambahan dan terdakwa. Sidang ditunda hingga minggu depan.”

Palu diketuk. Wartawan segera berhamburan keluar, menyorot wajah Zul yang ditarik kembali ke ruang tahanan.

Fanda menarik napas lega, meski tubuhnya masih gemetar. Andre merangkul bahunya.

“Kamu hebat, Sayang. Kita sudah melangkah sejauh ini, jangan takut lagi.”

Fanda menatap Andre, lalu mengangguk pelan.

“Iya, Mas. Kali ini aku nggak akan takut. Dia harus bayar semua perbuatannya.”

Satu minggu kemudian, sidang kembali dilanjutkan. Gedung pengadilan kembali penuh. Wartawan serta masyarakat umum memenuhi bangku pengunjung.

Kali ini, suasana lebih panas. Isu tentang pengaruh Zul yang dekat dengan pejabat membuat banyak orang penasaran, apakah ia bisa lolos?

Fanda dan Andre kembali hadir, duduk bersebelahan di kursi saksi. Wajah Fanda masih pucat, tapi tekadnya bulat.

Andre menepuk tangannya, memberi kekuatan.

Hakim masuk. Palu diketuk.

“Sidang perkara Zul kembali dibuka. Jaksa, silakan hadirkan saksi berikutnya.”

Jaksa berdiri.

“Yang Mulia, hari ini kami menghadirkan saksi dari pihak keamanan apartemen tempat korban tinggal, serta saksi pelaku yang ditangkap di tempat kejadian.”

Bisik-bisik langsung terdengar di ruangan. Semua orang ingin tahu apa yang akan dikatakan anak buah Zul di depan hakim.

Saksi pertama

Seorang satpam paruh baya maju ke kursi saksi. Dengan seragam rapi, ia memberi hormat.

“Saya melihat langsung kejadian malam itu, Yang Mulia. Korban Andre diserang tiga orang. Dua kabur, satu berhasil kami tangkap. Saat ditangkap, pria itu berteriak jelas-jelas menyebut nama Zul sebagai dalang.”

“Apakah Anda yakin dengan pendengaran Anda?” tanya jaksa.

“Yakin seratus persen, Pak Jaksa.”

Pihak pengacara Zul langsung berdiri.

“Keberatan, Yang Mulia. Kesaksian saksi lemah, bisa saja salah dengar. Lagi pula, tidak ada bukti tertulis bahwa klien saya memerintahkan hal itu.”

Hakim mencatat.

“Silakan lanjutkan.”

Puncak ketegangan datang saat pria yang ditangkap malam itu digiring masuk. Wajahnya pucat, tangannya diborgol. Ia duduk di kursi saksi, menunduk.

Jaksa membuka pertanyaan.

“Saudara saksi, apakah benar Anda salah satu yang menyerang korban?”

“I… iya, Pak,” jawabnya terbata.

“Siapa yang memerintahkan Anda?”

Saksi terdiam lama, matanya melirik ke arah Zul. Zul balas menatap dengan tatapan tajam penuh ancaman. Saksi gemetar, keringat bercucuran.

“Jawab jujur, Saudara saksi,” tekan hakim.

Akhirnya pria itu menggertakkan gigi, lalu berkata,

“Saya… saya disuruh oleh Zul. Dia yang janji bayar kami kalau berhasil bikin korban kapok.”

Suasana ruang sidang meledak. Wartawan sibuk memotret, pengunjung bersorak kecil. Zul sontak berdiri, wajahnya merah padam.

“Bohong! Kau pengkhianat! Aku nggak pernah nyuruh kau!”

Hakim mengetukkan palu keras. “Terdakwa, duduk! Kalau tidak, Anda bisa dikeluarkan dari ruang sidang.”

Pengacara Zul maju dengan nada dingin.

“Yang Mulia, jelas saksi ini hanya ingin meringankan hukumannya sendiri dengan menuduh klien kami. Tanpa bukti transaksi atau komunikasi langsung, tuduhan ini lemah.”

Jaksa langsung menyela.

“Yang Mulia, kami sudah mengantongi bukti pesan singkat dari nomor telepon milik terdakwa kepada saksi, berisi instruksi dan janji imbalan. Bukti ini akan kami serahkan.”

Ruangan kembali gempar. Zul terperangah, lalu menunduk.

Hakim menerima berkas tersebut, memeriksa sebentar, lalu berkata,

“Majelis hakim menilai bukti ini relevan. Sidang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan ahli digital forensik minggu depan.”

Palu diketuk.

“Sidang ditunda.”

Di luar ruang sidang, wartawan langsung mengepung Fanda dan Andre. Blitz kamera menyilaukan mata.

“Bu Fanda, apa benar Anda merasa terancam setelah kesaksian ini?”

“Pak Andre, apakah Anda yakin Zul akan dipenjara?”

Fanda menunduk, tidak menjawab. Andre merangkul bahunya, lalu berkata tegas.

“Kami percaya pada hukum. Dan kami yakin kebenaran akan menang.”

Zul yang digiring ke mobil tahanan sempat berteriak lantang.

“Kalian belum menang! Saya akan balikkan semua ini!”

Fanda mendengar teriakan itu, tubuhnya merinding. Namun genggaman tangan Andre membuatnya kembali tegar.

1
Nurqaireen Zayani
Menarik perhatian.
nangka123: trimakasih 🙏
total 1 replies
pine
Jangan berhenti menulis, thor! Suka banget sama style kamu!
nangka123: siap kak🙏
total 1 replies
Rena Ryuuguu
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
nangka123: siap kakk,,🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!