Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Senyum Rian: Kisah Fahri dan Tragedi Masa Lalu
Bu Ratna dan Maya tiba di rumah dengan hati yang masih dipenuhi kekhawatiran. Suasana di rumah terasa lebih berat. Mereka mendapati Reno dan Raka sedang duduk di ruang tengah, wajah mereka masih muram dan tertekan sejak kepergian Sinta.
"Mah, kok lama banget?" tanya Raka tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya, nada suaranya terdengar malas.
Maya tidak menjawab. Ia melemparkan tasnya ke sofa dan menghela napas panjang. Ekspresinya yang tegang membuat Reno dan Raka akhirnya menaruh perhatian.
"Ada apa, May? Kenapa muka kalian kayak habis lihat hantu?" tanya Reno, mulai curiga.
Ibu Ratna duduk di sebelah Reno, meraih tangan putranya. Wajahnya terlihat sangat sedih. "Kalian tahu, tadi di klinik... Tadi mamah ketemu Sinta," katanya pelan.
Mendengar nama Sinta, Reno dan Raka langsung menegang.
"Sinta? Kenapa dia di klinik? Dia sakit?" tanya Raka, refleks melempar ponselnya.
"Dia bukan cuma sakit, Nak," sahut Ibu Ratna, suaranya tercekat. "Sinta kena musibah. Dia... dia dibegal."
"APA?!" teriak Reno dan Raka bersamaan. Mereka melompat berdiri, wajah mereka langsung pucat pasi dan dipenuhi amarah.
"Dibegal?! Kapan, Mah?! Kenapa nggak bilang ke kita?!" raung Reno, tak percaya. "Luka-lukanya parah nggak?! Di mana dia sekarang?! Kita harus ke sana!"
Maya bergegas menenangkan kakaknya. "Dengar dulu, No! Dia sudah nggak apa-apa, tapi wajahnya memar, dia dikeroyok. Dia melawan, tapi tubuhnya... ya ampun, dia bilang dia nggak berdaya."
Raka mengepalkan tinjunya, matanya berkilat penuh dendam. "Sialan! Pasti begal di sekitar kontrakan yang dia bilang itu! Kenapa dia nekat pindah ke tempat sepi begitu, sih?!"
"Itu bukan yang paling penting, Ka," potong Maya, menatap kedua saudaranya dengan serius. "Yang penting adalah, dia selamat karena ditolong oleh seseorang. Bosnya, Rian."
Mendengar nama Rian, amarah di wajah Reno dan Raka langsung bercampur dengan kecemburuan yang tajam.
"Rian? Bagaimana bisa dia yang menolong?" desis Raka, suaranya mendadak dingin.
"Kebetulan, katanya. Rian ada di dekat lokasi kejadian dan menolongnya. Dan yang lebih penting..." Maya berhenti sejenak, menatap reaksi kedua saudaranya yang semakin tegang. "Sinta sekarang nggak tinggal di kontrakan barunya. Rian memaksanya untuk tinggal di rumahnya, di kamar tamu, sampai Sinta benar-benar pulih. Katanya ini 'cuti wajib' dari atasan."
Reno terperangah. Rasa khawatir seketika kalah oleh rasa cemburu dan panik. "Tinggal... tinggal di rumah Rian?!" Ia menggertakkan gigi. "Gawat! Rian memanfaatkan kesempatan ini! Dia pasti lagi pura-pura jadi pahlawan buat Sinta!"
"Kita harus ke sana sekarang, Mah! Kita bawa Sinta pulang!" kata Raka, penuh urgensi.
Bu Ratna segera menahan bahu kedua putranya. "Tunggu! Kalian mau ke sana dengan emosi seperti itu? Kalian mau merusak rumah orang? Kalian mau mempermalukan Sinta? Dia baru saja kena musibah, dia butuh istirahat, bukan keributan!"
Reno dan Raka tersentak, terdiam oleh teguran Bu Ratna. Mereka tahu Ibu mereka benar. Kunjungan mendadak hanya akan memperburuk situasi Sinta.
"Kalian tenang. Sinta bilang, dia nggak nyaman di sana, dan akan segera keluar setelah lukanya sembuh. Kita harus dukung dia dari jauh. Sekarang, kita doakan Sinta cepat pulih," tutup Bu Ratna, menatap putranya dengan tatapan memohon agar mereka bersabar.
Reno menjatuhkan dirinya kembali ke sofa dengan frustrasi, sementara Raka hanya bisa mengepalkan tangannya kuat-kuat. Keputusan Sinta untuk pindah, yang tadinya hanya menjadi kekecewaan, kini berubah menjadi bencana—membuat Sinta berada tepat dalam jangkauan saingan terberat mereka, Rian.
Sementara itu Di Kediaman Rian Suasana di rumah Rian terasa hangat dan tenang. Sinta, yang sudah meminum obat dan berganti pakaian baru yang dibelikan Rian, duduk di sofa ruang keluarga. Luka-luka memarnya sudah dibersihkan dan dibalut.
Rian baru saja pulang dari kantor, ditemani oleh keponakannya yang berusia sekitar empat tahun, Fahri. Fahri adalah anak yang pendiam namun ceria, dan kehadirannya sedikit mengurangi kecanggungan antara Sinta (Bram) dan Rian. Fahri duduk di karpet, asyik dengan puzzle-nya, sementara Rian mengambil tempat di samping Sinta.
Bagaimana di klinik tadi? Kamu tidak apa-apa sendirian?" tanya Rian, nadanya tulus menyesal. Ia baru saja mengganti pakaian kerjanya dengan kaus santai.
"Tidak apa-apa, Rian. Ibu Maya kebetulan ada di sana, jadi aku ada teman,"
"Syukurlah. Aku minta maaf tidak bisa menemanimu. Rapat itu benar-benar tidak bisa ditinggalkan," kata Rian.
"Aku mengerti, Rian. Sungguh, aku baik-baik saja." Sinta menghela napas, kemudian matanya tertuju pada Fahri yang sedang fokus menyusun kepingan puzzle. "Fahri anak yang manis, ya," gumam Sinta.
Rian tersenyum. "Dia memang anak yang baik."
"Aku belum pernah melihat orang tuanya. Ke mana mereka?" tanya Sinta, dengan hati-hati. Ia merasa aneh, karena selama beberapa hari di sana, ia tidak pernah melihat orang dewasa lain selain Rian dan ibunya.
Senyum di wajah Rian seketika meredup, digantikan oleh kesedihan yang mendalam. Ia menoleh, menatap Fahri sejenak, lalu kembali menatap Sinta.
"Mereka... sudah tidak ada," jawab Rian pelan, suaranya sedikit serak. "Kecelakaan mobil, sekitar tiga tahun yang lalu. Adik perempuanku, dan suaminya."
Sinta terdiam, terkejut. "Oh, ya ampun. Aku... aku minta maaf, Rian. Aku tidak bermaksud..."
Rian menggeleng, menghela napas panjang, berusaha menyingkirkan bayangan buruk itu. "Tidak apa-apa, Sinta. Kejadian itu sudah lama. Sejak saat itu, aku yang bertanggung jawab atas Fahri."
"Kamu... hebat, Rian," kata Sinta tulus. Ia melihat sisi lembut dan tanggung jawab Rian yang lebih jauh dari sekadar atasan di kantor. Perasaan Bram yang mendominasi tubuh Sinta kembali merasakan sentuhan aneh, campuran rasa hormat dan semakin rumitnya situasi hati.
"Terima kasih," kata Rian, tersenyum kecil. "Sekarang, kamu harus istirahat total. Kalau butuh apa-apa, panggil saja aku. Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, sampai kamu benar-benar sembuh."
Sinta hanya mengangguk pelan. Dalam hati, Bram meronta. 'Anggap saja rumahku? Semakin gue lama di sini, semakin susah gue kabur dari cowok ini!' Namun, ia tidak punya kekuatan untuk berdebat. Ia hanya bisa pasrah, sambil menyusun rencana untuk segera melarikan diri dari 'penjara mewah' milik Rian.