Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai jenuh.
Keesokan harinya, rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Gita bangun tanpa tergesa, bahkan sedikit terlambat dari jadwalnya menyiapkan sarapan.
Ia tak peduli.
Janji yang ia buat semalam — untuk berhenti mencintai Darren — perlahan mulai merubah perilakunya.
Ia tetap membuat sarapan, tapi kali ini hanya untuk dirinya sendiri.
Secangkir teh hangat, dua potong roti panggang yang dipoles mentega tipis, dan duduk di meja makan yang besar sendirian.
Dulu, ia selalu memastikan piring Darren ada di sana, berharap suaminya akan mampir sejenak sebelum berangkat.
Sekarang, ia hanya membiarkan meja itu kosong di sisi Darren.
Saat Darren keluar dari kamar, raut wajahnya tampak sama dinginnya, tapi ada sedikit kerutan saat melihat meja makan.
“Sarapanku mana?” tanyanya tanpa basa-basi, suaranya masih berat.
Gita mengangkat bahu tanpa menoleh, mengoles selai stroberi ke rotinya. “Bikin sendiri, Ren kalau mau sarapan. Aku cuma masak buat diriku hari ini.”
Darren terdiam. Ini adalah hal baru. Biasanya Gita akan langsung bergerak ke dapur.
“Kenapa?” tuntutnya.
Selama ini istrinya selalu membuat sarapan untuknya,meskipun dia tidak menyentuh sama sekali,namun sarapan tetap lah ter hidang.
Gita menatapnya, matanya sayu namun kini ada lapisan kekerasan di sana. “Aku capek. Semalam kamu bilang kamu capek juga, kan? Aku juga.”
Ia mengutip kata-kata Darren, memberikan kembali rasa sakit itu.
“Kamu bahkan nggak menyentuh sarapan yang kubuat belakangan ini. Jadi, kenapa aku harus capek-capek memasak untuk piring kosong?”
Darren hanya mematung, seolah kata-kata itu menamparnya. Ia tak menjawab, hanya berbalik dan mengambil kunci mobil. Ia pergi tanpa sarapan, tanpa pamit, seperti biasa.
Gita juga tidak berdiri di depan jendela menunggui punggungnya hilang seperti setiap hari dia lakukan sebelum ini.
Ia melanjutkan sarapannya, menikmati setiap gigitan rotinya, tanpa beban.
Hari-hari berikutnya, pola itu berlanjut. Gita berhenti menjadi ‘penyedia’ yang siaga. Ia mulai berolahraga di pagi hari, mengikuti kelas melukis online, bahkan mendaftar kursus bahasa asing.
Ia mengganti dress lamanya dengan pakaian yang lebih cerah dan segar, merapikan rambutnya, dan senyum yang dulu jarang muncul, kini ia berikan pada orang lain.
Rumah itu masih besar dan sunyi, tapi keheningan itu sekarang diisi oleh suara musik klasik dari ponsel Gita saat ia melukis, atau rekaman guru bahasa asing yang ia ikuti.
Fokusnya bergeser. Bukan lagi ‘menunggu Darren pulang’, tapi ‘menikmati hariku sampai Darren pulang’.
Pukul 10 malam, Gita sudah berada di kamar tamu, terlelap. Tidak ada lagi mata sayu yang menatap jam dinding di ruang tamu.
Darren mulai merasakan perubahan itu.
Pulang ke rumah yang sepi, tanpa bau masakan, tanpa suara TV, tanpa Gita yang duduk diam menunggunya. Ia makan di luar, kembali ke rumah hanya untuk tidur. Namun, kamar tidur mereka kosong. Ia melihat pintu kamar tamu yang tertutup rapat, dan ia tidak berani mengetuk.
Entah mengapa, ada rasa segan yang mulai tumbuh, bercampur dengan kebingungan.
Suatu malam, Darren memutuskan untuk pulang lebih awal—pukul 8 malam. Ia melihat lampu ruang tamu masih menyala, dan samar-samar terdengar suara tawa dari arah dapur.
Ia melangkah pelan. Gita sedang duduk di meja bar dapur, tertawa lepas sambil memegang ponsel, sepertinya sedang melakukan panggilan video. Wajahnya bersinar, matanya berbinar, bukan tatapan sayu yang selama ini ia lihat.
"Oh, sorry, aku harus tutup dulu. Sampai besok di kelas, ya!" kata Gita di telepon.
Ia menoleh, dan senyum di wajahnya langsung menghilang begitu melihat Darren. Gita menatapnya datar, tanpa emosi, lalu meletakkan ponselnya.
"Aku akan kembali ke kamar," kata Gita, suaranya dingin dan singkat.
"Tunggu," panggil Darren. Entah kenapa, ia merasa panik melihat Gita yang berbalik begitu saja. “Itu tadi siapa?”
Gita menghentikan langkahnya, berbalik dengan alis terangkat. “Teman sekelasku. Kenapa?”
“Teman sekelas?” Darren mendengus.
“Kamu ambil kelas apa? Kenapa aku nggak tahu?”
Gita tersenyum sinis. Senyum yang tidak sampai ke mata. “Sejak kapan kamu peduli tentang apa yang kulakukan? Bukankah kamu terlalu capek untuk peduli?” Ia melangkah mendekat, keberanian yang dulu hilang kini kembali. “Aku capek jadi istri yang menunggu. Jadi, aku memutuskan untuk mengisi waktu. Aku belajar bahasa Prancis, melukis, bertemu teman baru. Intinya, aku punya kehidupan di luar dirimu.”
Darren menatapnya, ada marah dan rasa terancam yang aneh. “Aku nggak suka kamu keluyuran, bertemu orang baru tanpa sepengetahuan—"
“Tanpa sepengetahuanmu?” potong Gita cepat. “Sejak kapan aku harus lapor? Kamu sendiri pergi dan pulang sesukamu, bahkan nggak memberiku nafkah batin, tapi kamu menuntut hakmu sebagai suami?” Ia menarik napas, suaranya bergetar tapi penuh keyakinan. “Kamu nggak bisa menuntut hak saat kamu sendiri mengabaikan kewajibanmu, Darren.”
Darren terdiam, matanya menghindar. Perkataan Gita seperti cermin yang menodongkan bayangan dirinya yang selama ini ia sembunyikan di balik topeng ‘kerja keras’.
Melihat kebisuan Darren, Gita tersenyum pahit. “Selamat malam, Ren. Aku merindukan Darren yang dulu, tapi aku nggak bisa menunggu selamanya.”
Gita melangkah pergi, menuju kamar tamu. Kali ini, saat ia menutup pintu, ia tidak berjanji untuk berhenti mencintai.
Ia berjanji untuk mencintai dirinya sendiri lebih dulu.
Dan di luar pintu yang tertutup itu, Darren berdiri sendiri di tengah rumah yang sunyi, mendadak merasa lebih dingin dan kosong dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu yang berharga, sesuatu yang selama ini ia anggap pasti akan selalu ada.
Ia mulai sadar, gema tawa Gita yang tadi ia dengar adalah tawa yang sudah lama tidak ia dengar, dan tawa itu bukan untuknya.
Bersambung...