Bukan kita menginginkan lahir ke dunia ini. Bukan kita yang meminta untuk memiliki keadaan seperti ini.
Sudah bertahan begitu lama dan mencoba terus untuk bangkit dan pada kenyataannya semua tidak berpihak kepada kita?
Aira yang harus menjalani kehidupannya, drama dalam hidup yang sangat banyak terjadi dan sering bertanya siapa sebenarnya produser atas dirinya yang menciptakan skenario yang begitu menakutkan ini.
Lemah dan dan sangat membutuhkan tempat, membutuhkan seseorang yang memeluk dan menguatkannya?
Bagaimana Aira mampu menjalani semua ini? bagaimana Aira bisa bertahan dan apakah dia tidak akan menyerah?
Lalu apakah pria yang berada di dekatnya datang kepadanya adalah pria yang tulus yang dia inginkan?
Mari ikutin novelnya.
Jangan lupa follow akun Ig saya Ainuncefenis dan dapatkan kabar yang banyak akun Instagram saya.
Terima kasih.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23 Larangan
"Maksudnya?" tanya Arfandi.
"Masih mengatakan tidak makan yang jelas-jelas ada mengantarkan makanan," lanjutnya dengan sendirian.
Mendengar pernyataan Aira seperti itu malah membuat Arfandi tersenyum yang membuat Aira bingung sendiri.
"Apa yang lucu?" tanya Aira dengan mengerutkan dahi.
"Kamu bertanya seperti itu seperti orang yang sedang cemburu saja," ucap Arfandi.
"Hah!" sahut Aira dengan melihat serius yang geleng-geleng kepala.
"Hey! Apa yang kamu pikirkan sampai menyangka bahwa aku cemburu. Aku bahkan tidak memikirkan hal seperti itu," ucap Aira menegaskan.
Reaksi Arfandi yang tetap saja masih senyum-senyum dan Arfandi langsung keluar dari mobil.
"Arfandi tunggu!" Aira yang terlihat kesal.
"Issss, padahal aku tidak setuju apapun dengan yang dia katakan," ucap Aira semakin emosi dan mau tidak mau langsung keluar dari mobil menyusul Arfandi.
Arfandi dan Aira sama-sama memasuki warung tersebut yang dikenal dengan warung pecel lele. Mereka yang bahkan sudah mengambil tempat duduk.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Arfandi memperlihatkan menu kepada Aira.
"Aku tidak setuju makan dan kamu sudah main masuk saja," ucapnya kesal.
"Sudah kamu pesan saja dan jangan banyak protes!" tegas Arfandi.
"Baiklah! Biar aku yang pesankan," sahut Arfandi yang mengambil keputusan sendiri di saat Aira masih sibuk dengan protesnya.
"Mas!" Arfandi memanggil pelayan pria yang kerja tadi mondar-mandir dan pria itu menghampiri meja Aira dan Arfandi.
"Saya pesan nasi ayam bakar 2 dengan sambal kecap tidak terlalu pedas dan satu lagi sambal cabe hijaunya. Lalu dengan udang saos mentega dan sup kerang. Minumnya 1 orens jus dan dan satu jus kuini," ucap Arfandi dengan mengatakan pesanan semua itu.
"Ada lagi, Mas?" tanya pria itu.
"Cukup itu saja," jawab Arfandi.
Pria itu menganggukkan kepala dan langsung meninggalkan meja itu.
"Dia memesan makanan yang aku inginkan. Masa iya Arfandi mengingat semuanya dan apa iya semua orang juga akan seperti itu atau memang dia mengingatnya," batin Aira yang malah bengong.
Arfandi yang melihat akhirnya tampak heran dan melambaikan tangan di depan Aira.
"Woy!" tegur Arfandi. Aira yang langsung terkejut.
"Apasih!" ucapnya dengan kesal.
"Kamu itu kenapa sih?" tanya Arfandi.
"Tidak! Aku tidak apa-apa sama sekali," jawabnya dengan santai.
"Kalau begitu jangan melamun tidak jelas seperti itu, nanti kamu lama-lama kesurupan," ucap Arfandi.
Aira hanya menganggukkan kepala.
Tidak lama yang akhirnya pesanan mereka berdua datang dan mereka juga sudah menikmati makanan yang memang semua makanan itu adalah selera Aira bahkan sampai minumannya juga. Aira yang tidak menyukai jus alpukat dan maka dari itu Arfandi memesan jus jeruk.
Arfandi memperhatikan Aira yang sebentar-sebentar melihat ponselnya.
"Apa tidak bisa makan dulu baru melihat ponsel?" tanya Arfandi yang ternyata sangat risih.
"Aku hanya membalas pesan dari Nana. Malam ini ada traktiran dari atasan yang naik pangkat. Aku sudah mengatakan tidak bisa ikut dan Nana tetap saja memaksa. Jadi kau tidak mau aku harus ikut," jawab Aira sembari mengunyah makanannya.
"Kalau begitu jangan pergi," ucap Arfandi.
"Hah!"
"Iya. Kamu tidak perlu pergi. Acara traktiran orang-orang kantor yang naik jabatan biasanya ujung-ujungnya akan berbau hal negatif, makan-makan yang diadakan di tempat karaoke dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Jadi lebih baik menghindari. Jangan biasakan merasa tidak enak dan terpaksa mengikuti budaya kantor yang tidak kamu inginkan," ucap Arfandi mengingatkan.
"Padahal kamu adalah atasan dan bukankah seharusnya kamu mendukung karyawan itu untuk saling menghargai satu sama lain dan saling mendukung?" tanya Aira yang tidak menyangka jika reaksi Arfandi justru melarang dia untuk pergi.
"Karena aku atasan dan sudah berada dalam dunia bisnis begitu lama dan aku tahu bagaimana gelapnya dalam perusahaan dan sisi terangnya," jawab Arfandi.
"Kalau begitu aku harus mengatakan kepada Nana. Jika hal seperti ini sebenarnya tidak baik," ucap Aira yang malah buru-buru ingin menghubungi temannya.
"Kamu kalau diingatkan seseorang tidak perlu memberitahu orang lain. Kamu bisa-bisa dikatakan sebagai provokator," ucap Arfandi.
"Lalu kenapa harus mengingatkannya padaku dan bukan kepada orang lain atau justru kamu sebagai atasan melarang adanya budaya traktiran ketika seseorang naik jabatan atau perayaan apapun itu," ucap Aira.
"Aku mengatakannya kepada kamu, karena menurutku kamu perlu diberitahu. Aku tidak ingin kamu yang masih magang dan harus diajak ikut-ikutan hal-hal seperti itu yang akhirnya kamu tidak tahu apa-apa dan kamu yang akan rugi. Jika kamu orang lain yang mungkin saja aku juga tidak akan mengatakan hal itu," ucap Arfandi.
Lagi-lagi perkataan Arfandi membuat Aira terdiam. Arfandi semakin lama semakin terang-terangan yang menunjukkan bahwa dia tidak hanya sekedar menganggap Aira sebagai teman. Entahlah Aira sebenarnya sudah mengerti atau hanya pura-pura tidak tahu.
"Ayo makan dan tidak perlu untuk pergi ke acara seperti itu. Kamu sudah makan denganku dan aku langsung mengantar mu pulang dan setelah itu kamu istirahat," ucap Arfandi yang membuat Aira menganggukkan kepala.
***
Setelah mengantar Aira pulang yang akhirnya Arfandi kembali ke rumahnya.
"Assalamualaikum!" sapa Arfandi ketika memasuki rumah.
"Walaikum salam," sahut Sulastri yang berada di ruang tamu dan Arfandi menghampiri sang ibu dengan mencium punggung tangannya.
"Mama ingin menanyakan hal yang penting pada kamu?" ucap Sulastri tampak serius sekali sampai menepuk sofa di sampingnya agar Arfandi duduk.
"Ada apa, Mah?" tanya Arfandi.
"Tadi anak Tante Gina menghubungi Mama karena ponsel kamu tidak bisa dihubungi. Kamu pesan cincin di tempatnya?" tanya Sulastri.
Arfandi diam yang tidak menjawab iya atau tidak.
"Dia ingin menanyakan tentang detail di bagian matanya yang harus diberi apa dan seperti apa yang mama katakan kamu tidak bisa dihubungi dan terpaksa mempertanyakan kepada Mama. Mama tidak akan tahu kalau kamu pesan cincin di tempat anak Tante Gina kalau ponsel kamu sampai bisa dihubungi," ucap Arfandi.
"Jujur sekarang sama Mama. Kamu sedang ingin melamar siapa?" tanya Sulastri yang menata putranya itu tampak curiga.
"Kenapa bisa menyimpulkan bahwa aku ingin melamar seseorang hanya karena masalah cincin?" tanya Arfandi.
"Kamu ingin mengatakan kalau cincin itu untuk Mama. Arfandi Mama sangat jelas sekali mempertanyakan ukurannya dan itu sama sekali bukan ukuran tangan Mama. Kecil dan kalau di tebak-tebak itu sepertinya Aira," ucap Sulastri yang membuat Arfandi mengerutkan dahi.
"Hmmm, jadi benar Aira orangnya!" goda Sulastri sembari senyum-senyum.
"Mama itu bicara apa sih?" Arfandi tetap tidak mengatakan dengan jujur.
"Arfandi kamu katakan saja pada Mama siapa sebenarnya. Jika bukan Aira siapa. Apa iya Nathalia, kalau dari ukuran cincinnya sepertinya tidak cocok," ucap Sulastri.
"Sudah, Ya. Mama jangan main-main tebak-tebak," ucap Arfandi.
"Kalau tidak ingin Mama main tebak-tebakan. Sekarang kamu buruan kasih tahu Mama!" tegas Sulastri.
Arfandi mau naik dulu. Mau istirahat!" ucap Arfandi yang langsung berdiri dan meninggalkan Sulastri.
"Arfandi Mama belum selesai bicara. Arfandi kamu benar-benar ya. Main rahasia-rahasia dengan Mama. Jika bukan Aira siapa lagi hah!" teriak Sulastri yang tidak di pedulikan Arfandi.
"Anak itu malah seenaknya main rahasia-rahasiaan denganku. Dasar anak aneh," ucap Sulastri tampak kesal.
Bersambung....
semoga sj afandi mau membantu mia
insyaallah aku mampir baca novel barumu thor
itu arfandi ada apa ya ga keluar dari kantornya apa dia sibuk di dlm apa sakit, bikin penasaran aj
jarang2 kan aira bisa sedekat itu sama arfandi biasanya dia selalu menjauh...
tapi arfandi lebih menyukai aira,,,
setelah ini aira bisa tegas dalam berbicara apalagi lawannya si natalie... dan jangan terlalu insecure ... semua butuh proses