NovelToon NovelToon
Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: samsuryati

Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”

“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”

“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”

“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”

“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”

“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5

Suara basah dari kain yang dicelupkan ke dalam air terdengar lirih, berbaur dengan gemercik air sungai yang mengalir tenang. Matahari belum naik tinggi, tapi sinarnya sudah cukup menyilaukan bagi mata yang semalaman tak cukup tidur.

Ulan berjongkok di tepi sungai, tangannya yang kurus terus mengucek pakaian penuh noda. Air sungai dingin menusuk kulit, membuat jemarinya kaku. Di balik batang bambu yang tumbuh di tepi air, seekor burung kecil berkicau. Namun Ulan tidak sempat memperhatikannya.

Di depan matanya, layar transparan itu masih ada. Melayang diam, seperti hantu asing dari masa depan yang tak seharusnya eksis di tengah desa tua ini.

Beberapa kali ia meliriknya, layar masih menampilkan daftar barang-barang aneh dan menarik. Sabun mandi wangi, sikat gigi berbulu halus, bahkan sepasang sepatu kanvas bersih dan kemeja bergaris lembut. Semuanya seperti mimpi... yang hanya bisa disentuh dengan satu syarat: uang.

 “Jadi ini bukan sekadar hadiah... tapi semacam toko?” pikir nya dalam hati.

 “Berkat tuhan..Tapi... darimana aku bisa punya uang?”

Ulan mendesah pelan. Tangannya berhenti bergerak, air menetes dari jemarinya.

Di desa kecil seperti tempat tinggalnya, seorang anak perempuan seperti dirinya tidak punya hak atas uang. Jika dia ikut bekerja di ladang, nilai nya akan di hitung dengan poin kerja.Saat hasil panennya ke koperasi, lalu dari sana baru dibagikan dalam bentuk beras, jagung, atau sayur seadanya.

Kalaupun uang diberikan oleh kepala brigade ,maka uang itu akan langsung diambil oleh nenek. Semua yang bekerja tinggal bersama keluarga besar, dan semua penghasilan dikumpulkan menjadi milik bersama. Artinya, milik nenek.

Dan ibu kandungnya sendiri… tak lebih dari bayangan lemah dalam rumah itu. Tak punya suara, apalagi kuasa.

 “Aku tidak punya penghasilan. Aku bukan buruh pabrik. Aku bahkan tidak sekolah.”

“Jadi... bagaimana caranya aku bisa membeli sesuatu dari layar ini?”

Layar itu diam, seolah menunggu jawabannya.

Ulan menunduk, kembali mengucek pakaian dengan lebih keras. Percikan air mengenai pipinya. Pakaian demi pakaian dia cuci, tapi pikirannya terus bergerak. Mencoba meraba kemungkinan.

Ia tahu satu-satunya jalan keluar adalah memiliki uang sendiri. Tapi di desa ini... gadis seusianya bahkan tidak diizinkan bermimpi tentang kepemilikan pribadi.

Jika ketahuan menyimpan uang, ia bisa dituduh licik. Jika kedapatan menjual sesuatu secara diam-diam, dia bisa dihukum karena berbisnis tanpa izin.

 “Tapi kalau aku tidak melakukannya... bagaimana aku bisa keluar dari nasib ini?”

 “Aku tidak akan bisa melindungi diriku sendiri… apalagi membalas dendam.”

Ulan mengepalkan tangannya, mengerahkan tenaga lebih untuk membilas baju terakhir. Air cipratannya memercik ke layar, namun layar itu tetap mengambang jernih, tak bergeming.

Sesaat, bayangan dirinya sepuluh tahun kemudian terlintas di benaknya,gadis yang mati dalam kelelahan, tanpa cinta, tanpa harga diri, bahkan tanpa hak atas makanan hangat.

 “Tidak. Aku tak akan mati seperti itu lagi.”

Dengan tubuh yang lelah, ia berdiri perlahan. Ember kayu tua di sampingnya penuh cucian bersih, siap dibawa pulang. Tapi beban sebenarnya bukan di pundaknya—melainkan dalam pikirannya.

“Aku harus mulai dari sesuatu. Dari yang kecil. Bahkan jika itu berarti menyembunyikan sedikit saja dari sisa jagung yang kutumbuk. Bahkan jika itu berarti menjahit malam hari dan menjual diam-diam.”

Ia menatap layar itu sekali lagi. Kali ini bukan dengan takut, tapi penuh tekad.

“Kau ingin uang? Aku akan cari. Tapi dengan caraku sendiri.”

“Aku... tidak akan hidup seperti boneka lagi.”

Air cucian masih menetes dari jemari Ulan saat ia perlahan kembali ke dapur. Embusan angin pagi dari celah dinding bambu yang renggang menusuk kulit, namun bukan itu yang membuat tubuhnya bergetar. Ada sesuatu yang lain.

Sebuah ingatan muncul. Seperti pintu tua yang tiba-tiba terbuka di kepalanya.

"Rp500 dan sepotong kain…"

Ulan berdiri kaku di tengah dapur reyot itu. Tiba-tiba semua kenangan itu datang bertubi-tubi, menampar pikirannya seperti debur sungai saat banjir.

Ia teringat malam sebelum hari pernikahannya, ketika dirinya masih terlalu muda dan bodoh untuk memahami bahwa dia telah dijual.Ia tidak tahu apa-apa. Hanya tahu bahwa mendadak ia diminta berlutut, menggenggam teh, lalu dibawa ke rumah laki-laki asing sebagai seorang istri.

Tidak ada tanya.

Bahkan tidak ada perjamuan pernikahan untuk nya.

Satu-satunya yang sibuk saat itu hanyalah neneknya yang dengan bangga membual pada para tetangga, memamerkan betapa cucunya dihargai tinggi oleh keluarga pria itu.

Dengan mata berbinar, nenek menyebut angka itu dengan lantang: Rp500 dan sepotong kain bagus dari kota.

 “Hah! Mana ada gadis desa lain yang bisa dapat harga setinggi itu!” katanya berulang-ulang di desa.

Baru kemudian Ulan tahu siapa yang benar-benar menikmati hasil mahar itu. Bukan ibunya. Bukan dirinya.

Tapi Gu Yueqing, sepupunya yang paling beruntung tiba-tiba memiliki baju baru dari kain halus berwarna merah jambu. Kain itu...

Ulan ingat benar motif dan teksturnya.

Itu kain dari mahar pernikahannya.

Dan dirinya? Ia bahkan hanya diberikan sehelai pakaian lama milik Yueqing, yang sudah lusuh dan terlalu sempit di bagian dada.

 “Kau cuma cucu miskin tanpa orang tua kaya. Harus bersyukur dibawa menikah,” kata nenek saat Ulan menangis malam itu.

"Itu hanya permulaan," gumam Ulan kini, dalam hati yang bergolak.

Setelah itu, pernikahan menjadi neraka yang panjang.

Dibentak. Diabaikan. Dipaksa bangun paling pagi dan tidur paling akhir. Ibu mertuanya hanya menganggapnya pelayan. Suaminya tidak pernah memandangnya setara.

Dan segalanya menjadi jauh lebih buruk ketika Ulan melahirkan anak perempuan.

Seolah melahirkan anak perempuan adalah aib.

Suaminya menghindar. Mertuanya mencaci. Bahkan di pasar pun ia menjadi bahan gunjingan. Dikatakan sebagai perempuan mandul… hanya karena tidak bisa melahirkan anak lelaki.

 “Lalu saat aku mati… bahkan tak satu pun menangis,” kenang Ulan.

Kepalan tangan Ulan mengeras di atas meja dapur. Ia menggigit bibirnya.

Seketika itu juga, perasaan dalam dirinya berubah. Rasa takut dan kebingungan tadi pagi mulai berganti menjadi sesuatu yang lebih dalam dan dingin: kemarahan.

 "Jadi... inikah arti dari diberi kesempatan kedua?"

Tatapannya beralih ke layar yang masih mengambang pelan di udara. Layar yang asing, tak dapat disentuh oleh siapapun kecuali dirinya. Layar yang menunjukkan barang-barang asing namun penuh harapan.

"Kau memberiku alat... tapi aku akan menentukan cara memakainya."

"Aku akan ubah nasibku. Aku akan buat mereka semua membayar harga dari kehidupan yang mereka rampas dariku."

Angin kembali bertiup, menerbangkan sedikit abu kayu dari tungku. Ulan masih berdiri diam, tapi jiwanya tak lagi sama.

Pernikahan itu bukan pengikat, tapi rantai. Dan kini rantai itu sudah putus oleh waktu. Dia kembali, dan kali ini, dia yang akan menentukan siapa yang hidup dan siapa yang hanya akan menjadi bagian dari cerita lama yang tak akan pernah diulang.

Rumah kembali sunyi.

Ulan berdiri lama di tengah ruang dapur, termangu. Pandangannya kosong, tapi pikirannya tak henti berputar.Baru saat itulah dia sadar: sepupunya yang cerewet dan pemalas itu,belum muncul. Tidak akan muncul juga. Gadis itu selalu menunggu saat makan tiba, lalu kembali masuk kamar, tidur atau bermain. Semua kerja rumah diserahkan pada orang lain. Terutama pada Ulan.

 “Aku sendiri di rumah ini…Dengan cepat sebuah keputusan di buat.

Jantung Ulan berdetak cepat. Tubuhnya yang tadi lemas karena kelaparan kini seperti dialiri energi baru. Ia melirik ke arah kamar nenek yang berada di sisi timur rumah. pintunya tertutup rapat, dan tentu saja kosong sekarang. Semua orang sedang di ladang, seperti biasa.

"Kalau aku mencarinya sekarang… mungkin aku bisa menemukannya.”

Langkah-langkah Ulan mendekat ke kamar nenek terasa berat meski tak satu pun telapak kaki menimbulkan suara di atas lantai tanah itu.

Napasnya menahan, tangan kanannya sempat ragu membuka pintu kamar nenek.

Di balik ruangan kecil yang sumpek itu, aroma khas tua dan lembap langsung menyergap hidungnya. Udara di dalam kamar nenek seperti selalu stagnan,campuran dari tua, rempah gosong, dan bau tanah lembap dari celah lantai.

Ulan menunduk dengan rasa bersalah.ini adalah pencurian pertama nya di dalam dua kehidupan sekaligus.

"Tidak uang ini milikku,datang dari menjual hidup ku ” bisiknya, seolah mencoba menenangkan rasa bersalah yang mengusik dadanya.

Jika saja nenek menemukan pria baik sebagai pasangan, mungkin hidup nya tidak akan pernah jadi sia sia.Di dalam kehidupan ini dia tidak akan pernah menikah.

Karena itu,dia sebagai korban , punya hak atas uang tersebut.

“Apakah ini salah? Apakah ini mencuri?”

Ulan diam. Sorot matanya mengeras. Tak ada air mata. Hanya kepedihan yang mulai membeku menjadi dendam yang padat.

“Salah?” bisiknya pelan, seolah menjawab suara itu.

“Lalu siapa yang salah waktu aku dijual? Siapa yang bertanya apakah aku setuju atau tidak?”

Pandangannya beralih ke sudut rumah. Tempat nenek dulu pernah duduk berjam-jam, menghitung uang itu sambil tertawa-tawa dengan bibi kedua.

 “Itu uang hasil menjualku. Tubuhku.”

“Bukan milik mereka. Itu hakku.”

Dia menarik napas dalam-dalam, tangannya mengepal perlahan.

 “Aku akan mencarinya… uang itu. Sekarang.”

Tak ada suara lain di rumah itu kecuali detak jantungnya sendiri.

Yang ada hanya seorang gadis lima belas tahun yang hidup kembali dengan luka lama.

Tangannya gemetar saat mulai membuka lemari reyot nenek. Pakaian-pakaian lama bertambal, lipatan-lipatan kebaya lusuh, bahkan sabuk-sabuk kain tua yang entah sejak kapan tak terpakai. Ulan membolak-balik semuanya, menyibak sudut demi sudut, meraba di antara lipatan.

Tak ada.

 “Mungkin di balik bantal,” pikirnya.

Ia meraih bantal di atas ranjang jerami, mengangkatnya perlahan. Tak ada juga.

Matanya mulai gelisah. Ia menyingkap selimut tua penuh tambalan, mengguncang, mencari celah-celah. Tapi tetap, tak ada tanda-tanda uang kertas. Bahkan bayangan selembar Rp1 pun tak muncul.

 “Apa aku salah ingat?”

 “Apa uang itu belum diberikan sekarang?”

Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Rasa putus asa perlahan menyusup di dadanya.

Tapi saat ia duduk lelah di pinggir dipan kayu itu, matanya menangkap tonjolan kecil di sudut ruangan.Tonjolan seperti bentuk tanah yang sengaja ditimbun dengan tak rata. Ada tikar bambu yang diletakkan begitu saja menutupinya, dan di atasnya ada sekarung kentang kering. Tak banyak. Tapi cukup untuk membuat tempat itu tidak mencurigakan.

Detak jantung Ulan kembali cepat.

Ia bangkit perlahan dan menyeret karung kentang itu dengan hati-hati. Tangannya mulai mengeruk tanah dengan ujung jari, lalu menemukan semacam penutup kayu tipis yang menyamarkan lubang kecil di bawahnya.

Dengan perlahan tapi mantap, ia membuka papan itu.

Dan di situlah ia menemukannya.

Sebuah kaleng kecil yang biasa menampung biskuit.Ketika di buka, sebenarnya apa yang di cari Ulan ada di sana.

Gulung-gulung uang lusuh terikat tali rami.Ketika di hitung bukan hanya Rp500, tapi lebih dari itu. Ada uang kertas bernilai Rp100, Rp50, Rp10—semuanya masih asli, walau sudah berbau apek dan lembap. Di sebelahnya juga ada kain merah muda yang dilipat rapi, mungkin hadiah dari pihak laki-laki—kain yang seharusnya miliknya, tapi justru pernah dipamerkan sepupunya sebagai milik pribadi.

Ulan terdiam. Matanya memanas, tapi tidak sampai menangis.

Ia mengulurkan tangan. Ragu.

“Kalau aku ambil ini… aku bukan pencuri.”

 “Ini... hakku. Harga tubuhku. Harga air mata dan malam-malam yang aku jalani sendirian.”

Tanpa ragu lagi, ia mengambil semuanya. Mengikat uang itu dengan tali sabut, lalu menyembunyikannya ke dalam ikat pinggang dalam yang diselipkan di balik bajunya.

Setelah memastikan tak ada jejak terganggu di kamar itu, Ulan membuka pintu dan keluar.

Mentari sudah agak tinggi, sinarnya menyelinap dari celah dinding bambu, menari-nari di lantai tanah yang lembap. Tapi di wajah Ulan—ada cahaya baru. Bukan karena sinar matahari. Tapi karena harapan.

Harapan yang lahir dari keberanian kecil.

1
Etty Rohaeti
lanjut
Fauziah Daud
yup betul ulan.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjut
Fauziah Daud
trusemangattt
Cha Sumuk
sdh bab 3 tp mc cewek nya msh bodoh ms ga phm2 bahwa dirinya lg ngulang waktu, cerita ga jls berbelit Belit kesan nya,
samsuryati: say mc nya, sejak awal hanyalah seorang gadis tanpa pengalaman bahkan tanpa ilmu pengetahuan. tidak seperti kita yang tahu membaca dia hanya tahu desa bahkan belum pernah menikmati kota. meninggal pada tahun 70 sekian, hidupnya memang seperti katak di bawah tempurung.

jadi kelahiran kembali memberikan dia pilihan namun pilihan itu belum serta merta membuat dirinya berubah dari gadis muda yang bodoh menjadi gadis muda yang pintar.
ingatlah di dalam dua kehidupan dia bahkan belum pernah belajar.
Ini bukan tentang transmigrasi gadis pintar era 21 ke zaman 60-an di mana era kelaparan terjadi.
bukan say, cerita ini di buat membuat ulan mampu merubah hidupnya selangkah demi selangkah tidak langsung instan.

salah satunya adalah dia yang tidak pernah belajar sebenarnya bisa membaca tulisan-tulisan yang dipaparkan oleh layar virtual.
ya say, anggap saja itu adalah modal pertama dia untuk berubah.
jadi aku masih perlu kamu untuk mendukung agar perubahannya bisa membuatmu puas
total 1 replies
Fauziah Daud
bagus.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt
Andira Rahmawati
ulan nya terlalu lambat telminya kelamaan..😔
Fauziah Daud
bijak ulang.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt.. lanjut
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
lanjuttt
Fauziah Daud
luarbiasa
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
hadir thor
Cilel Cilel
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!