Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Angin pagi itu berembus dingin dari jendela toko antik yang perlahan mereka buka. Matahari nyaris tak sanggup menembus debu yang menggantung di udara. Semua diam sesaat, seolah tempat itu baru saja menghembuskan napas panjang setelah lama tertidur.
Kirana menggenggam erat buku harian bersampul biru yang ditemukan di laci berdebu. Di sampulnya tertulis dengan huruf miring:
Wibowo Pranoto – Catatan Pribadi
Toko Antik “Kenangan Abadi”
“Kita bawa pulang dulu dan baca pelan-pelan?” tanya Nila, mencoba menahan detak jantungnya yang memburu.
“Tidak,” sahut Radit pelan. “Kalau benar ini tentang mereka, kita harus membacanya di sini. Di tempat kejadian.”
Jalu mengangguk setuju, wajahnya tampak jauh lebih pucat dari biasanya.
Kirana membuka halaman pertama. Tulisan tangan Pak Wibowo rapi, dengan tinta hitam yang mulai memudar.
“Tanggal 10 Agustus 1999
Hari ini Liana kembali datang. Ia terlalu ingin tahu tentang ruang belakang. Aku sudah bilang itu bukan untuk umum. Tapi dia keras kepala. Anindya bahkan memanggilnya ‘si detektif dadakan’.
Aku tak ingin mereka terlibat lebih jauh...”
Semua saling berpandangan.
“17 Agustus 1999
Mira tahu. Dia tahu rahasia lama toko ini. Dia menyelinap malam hari dan menyalakan lilin di ruangan bawah. Saat itu... suara-suara kembali terdengar. Aku tidak tahu harus bagaimana. Jika anak-anak itu terus menggali...”
Kirana memandang sekeliling, lalu berjalan menuju pintu kayu kecil di belakang rak lemari antik. Pintu itu tertutup rapat dan berkarat.
“Ruang belakang,” bisiknya. “Tempat yang selalu dikunci.”
Radit menyentuh gagang pintu. Dingin. Tapi anehnya, tidak terkunci. Pintu terbuka perlahan, berderit pelan. Aroma tanah lembab dan kayu tua menyeruak. Di dalamnya, tangga kayu menurun ke ruang bawah tanah.
Dengan senter dari ponsel, mereka menyusuri tangga. Langkah demi langkah, suara gemeretak terdengar seperti bisikan. Di bawah, mereka menemukan ruangan sempit dengan rak-rak penuh lilin leleh dan boneka porselen yang matanya retak.
“Ada yang melakukan ritual di sini,” kata Diriya lirih.
Kirana berjalan ke meja batu di tengah ruangan. Di atasnya, sebuah foto tua tergantung di dinding foto ketiga gadis: Mira, Liana, dan Anindya. Tapi di balik foto itu, tersembunyi kertas lusuh bertuliskan nama-nama yang dicoret.
“Ini... daftar korban?” bisik Kezia.
“Bukan,” jawab Jalu pelan. “Ayahku pernah bilang jika di sini ada.. daftar siapa yang tahu rahasia toko ini. Dan siapa saja yang menghilang.”
Tiba-tiba, lampu ponsel Kirana berkedip. Angin bertiup meski tak ada jendela. Boneka-boneka porselen berderak pelan. Satu di antaranya jatuh sendiri dari rak. Pecah.
Lalu, suara pelan terdengar. Suara anak perempuan, serak, bergema dari dinding.
“Kembalikan kebenaran... sebelum mereka mengambil kalian semua…”
Mereka berlari keluar dari ruang bawah tanah. Tapi sesampainya di ruang atas, lemari tua bergeser sendiri, menutup jalan keluar. Angin berputar. Tulisan di cermin berubah:
“Jangan tinggalkan kami... sebelum dia dihukum.”
Kirana menahan napas. Di balik semua ini, ada dalang seseorang yang mengorbankan ketiga gadis itu. Dan nama Pak Wibowo hanya bagian awal dari rahasia besar yang lebih dalam.
Cahaya redup dari lampu gantung toko antik berayun pelan. Kirana dan teman-temannya berdiri mematung di tengah ruangan, napas mereka tercekat. Lemari besar yang tadi menutup pintu tiba-tiba berderit dan bergerak kembali ke tempat semula, membuka jalan keluar.
Namun tak satu pun dari mereka berani melangkah keluar duluan.
“Dia... membiarkan kita pergi,” gumam Nila. “Untuk saat ini.”
Kirana menatap foto tua yang tergantung di dinding. Ketiga gadis dalam foto itu Mira, Liana, dan Anindya tersenyum, tapi senyum itu kini terasa seperti jeritan tanpa suara.
“Aku pikir mereka marah,” kata Diriya pelan, “tapi sebenarnya... mereka menunggu. Menunggu kita mengungkap siapa yang menyebabkan kematian mereka.”
Jalu, yang sedari tadi diam, akhirnya bicara. “Ada satu orang lagi yang tahu kejadian masa lalu. Tapi dia... bukan guru.”
“Siapa?” tanya Kezia.
“Penjaga sekolah,” jawab Radit. “Pak Giman. Dia sudah kerja di sekolah sejak dua puluh tahun lalu. Bahkan sebelum Pak Wibowo jadi guru sejarah.”
---
Sore hari, di sekolah
Langit mendung menggantung rendah ketika mereka menyelinap ke ruang satpam belakang, mencari Pak Giman. Mereka menemukannya sedang duduk sendiri, menatap foto lama sambil menghisap rokok kretek.
“Pak,” sapa Jalu perlahan. “Kami... perlu bicara soal toko antik dan ketiga siswi yang hilang bertahun-tahun lalu.”
Pak Giman mendesah berat. Matanya tampak lelah, penuh cerita yang disimpan terlalu lama.
“Aku sudah duga kalian bakal datang,” katanya akhirnya. “Tiga anak perempuan itu... terlalu ingin tahu.”
Ia mulai bercerita,
bahwa dulu, toko antik itu bukan sekadar tempat penyimpanan barang. Tapi tempat pertemuan rahasia antara beberapa guru dan tokoh luar sekolah. Termasuk... pemilik toko sebelumnya yang tidak pernah tercatat di dokumen resmi: seorang pria bernama Aditya Surya, yang disebut-sebut bisa ‘mengikat roh untuk kekuatan kekayaan’ dukun modern berkedok pedagang barang antik.
“Ketiga gadis itu,” kata Pak Giman lirih, “mereka menemukan bukti... dan ingin membongkar semuanya. Tapi mereka tidak pernah sempat.”
Kirana menggigil. “Jadi... mereka dibunuh?”
Pak Giman mengangguk. “Tapi tubuh mereka tidak pernah ditemukan... karena dikubur... di bawah lantai toko itu.”
---
Malam hari, mereka kembali ke toko antik
Dengan sekop dan senter, mereka membuka kembali ruang bawah tanah dan mulai menggali lantai tanah di sudut ruangan tempat meja batu berada.
Setiap sekop yang menggali membawa aroma busuk tanah yang lama tak tersentuh.
Sampai akhirnya... terdengar suara krek!
Sesuatu keras terhantam. Sebuah kotak kayu lapuk muncul dari dalam tanah.
Kirana menyingkirkan tanah dengan tangan. Kotak itu perlahan dibuka.
Dan di dalamnya...
Tiga pita rambut, penuh darah kering. Sepucuk surat kecil tertulis dengan tinta merah:
“Untuk mereka yang mati demi kebenaran jangan biarkan darah mereka sia-sia.”
---
Namun belum sempat mereka menarik napas lega, lilin-lilin yang mereka nyalakan tiba-tiba padam serempak.
Suara tangisan terdengar dari sekeliling. Tangisan tiga gadis.
Lalu, satu suara bergema, jelas:
“Aditya Surya belum mati. Dia kembali… dalam wujud yang tak kalian kenal…”
Semua saling berpandangan. Takut. Bingung.
Radit berkata pelan, “Berarti… dalang sebenarnya… masih hidup.”
Tubuh mereka bergetar, antara takut, sedih dan bingung.
perjuangan mereka untuk menunjukkan kebenaran tidak mudah dan panjang.
Tubuh mereka sulit untuk bergerak meninggalkan tempat itu, seakan akan di luar sana ada yang menunggu mereka untuk di tangkap dan di adili.
"Kirana..." panggil Nila, Diriya dan Kezia pelan
Kirana terdiam kaku, ia sedang berfikir hingga panggilan ke tiga kali barulah ia tersadar.
"Kalian tenang dulu...." jawab Kirana pelan
Bersambung
semangat Thor berkarya itu tidak mudah salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️🙂🙏
lanjutkan Thor semangat 💪 salam sehat selalu 👍❤️🙂🙏