Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.
Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Suara bel rumah menggema tegas, memecah keheningan pagi yang semula tenang. Kaila buru-buru bangkit dari duduk nya di sofa ruang tamu lalu bergegas menuju pintu utama.
Rumah itu begitu besar dan mewah, hingga setiap langkahnya terdengar menggema.
Begitu pintu dibuka, seorang pria dengan setelan jas abu-abu berdiri di ambang. Usianya sekitar lima puluhan, postur tegap, dan tatapan mata tajam yang memindai Kaila dari ujung kepala hingga kaki. Sorot matanya seolah menembus dinding, membuat Kaila seketika gugup.
"Selamat pagi," ucap pria itu dingin. "Arya dimana?"
Kaila menunduk sedikit. "Sedang di lantai atas, Pak. Silakan masuk."
Wira melangkah masuk tanpa menunggu diundang lebih lanjut. Matanya menyapu interior rumah, lalu kembali menatap Kaila. Ia mengerutkan kening.
“Kau pembantu baru di sini?”
Kaila menelan ludah, lalu tersenyum kaku. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Ya… bisa dibilang begitu.”
Ia tahu itu bohong. Tapi ia tidak sanggup menyebut dirinya istri Arya di depan pria itu. Ada wibawa dan tekanan dalam cara Wira menatap yang membuat dadanya sesak. Apalagi ia tahu, statusnya di rumah ini masih samar bahkan untuk dirinya sendiri.
“Hmm,” gumam Wira. “Setidaknya kau masih tahu sopan santun.”
Wira berjalan ke arah ruang tamu dan duduk. Ia menyilangkan kaki dengan tenang, meski matanya masih menelisik. “Beritahu Arya. Aku tak punya banyak waktu.”
Kaila mengangguk, nyaris seperti pembantu sungguhan, lalu bergegas menaiki tangga.
Tak sampai lima menit kemudian, Arya turun dengan langkah cepat. Ia sempat melirik Kaila yang berdiri di ujung anak tangga, lalu menghampiri ayahnya.
"Papa? Tumben datang tanpa kabar."
"Aku tidak perlu izin untuk mengunjungi anakku sendiri, bukan?"
Arya tersenyum kecil, namun gugup. "Tentu saja tidak."
Wira menatap Kaila yang masih berdiri mematung. "Kau biarkan saja pembantu berdiri seperti itu?"
Arya menoleh. Seketika ekspresinya berubah.
"Papa… dia bukan pembantu."
Wira mengerutkan dahi.
"Dia Kaila. Perempuan yang… tinggal bersamaku."
Wira menoleh kembali ke arah Kaila, kali ini lebih lama. “Tinggal bersamamu?” ulangnya dengan nada mencurigakan.
“Ya.”
Wira menatap Kaila tajam, lalu berkata pelan, “Menarik. Gaya hidupmu makin aneh, Arya.”
Kaila merasa tubuhnya kaku. Saat Wira berdiri dan berjalan melewatinya, ia sempat berhenti sejenak, lalu berkata pelan namun jelas, “Kalau kau hanya main-main, setidaknya jangan buat rumah ini kehilangan wibawa.”
Setelah Wira masuk ke ruang kerja, Kaila hanya bisa menahan napas.
Ia sadar. Ia belum diakui.
Tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Melainkan rasa malu karena dalam diam, ia membiarkan dirinya tampak begitu kecil di mata ayah Arya.
.....
Di dalam ruang kerja yang tertutup rapat, suasana berubah sunyi dan mencekam. Arya berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan di dada.
Sementara Wira duduk tenang di kursi kulit cokelat tua yang biasa ia duduki saat berkunjung ke rumah itu meski jarang sekali.
Wira membuka suara terlebih dulu, suaranya datar namun dingin, seperti badai yang tak terdengar tapi terasa mengancam.
“Masih segar di ingatanku... lebih dari satu bulan lalu, kau tertangkap kamera masuk ke hotel bersama perempuan. Bukan istrimu. Bahkan bukan siapa-siapa.” Wira menatap tajam.
“Dan kini kau bawa perempuan lain tinggal di rumah ini. Tanpa status. Tanpa perkenalan. Tanpa rasa hormat.”
Arya menghela napas, pelan. “Itu bukan seperti yang Papa pikirkan.”
“Jangan beri aku alasan murahan. Nama Satya sudah cukup kotor karena ulahmu. Aku diam bukan berarti aku tidak tahu. Media bisa kami bungkam, tapi tidak dengan reputasi.”
“Papa ”
“Aku tidak selesai bicara!” potong Wira, nadanya meninggi. Matanya menyipit, suaranya kembali tenang tapi tajam.
“Perempuan di luar sana mengira kau pewaris perusahaan yang layak diperebutkan. Tapi bagaimana aku bisa menyerahkan masa depan keluarga ini pada laki-laki yang bahkan tidak bisa mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri?”
Arya terdiam, tak menjawab.
“Aku hanya punya kau satu-satunya, Arya. Tapi satu kali lagi kau mencemari nama keluarga, kau akan kuhapus dari silsilah.
” Wira berdiri dari kursinya, tubuhnya tinggi dan berwibawa. “Dan soal perempuan yang tinggal di rumah ini, aku akan menyelidikinya sendiri.”
Arya segera menahan. “Papa,Kaila hamil. Anak saya.”
Langkah Wira terhenti. Seketika ruangan itu seakan membeku. Ia menoleh perlahan.
“Apa?”
“Dia mengandung, Papa,” ujar Arya, mantap. “Anak saya. Anak yang sah.”
Wira menatap lekat wajah putranya, lalu duduk kembali dengan tubuh sedikit melemas. Untuk pertama kalinya sejak masuk rumah itu, ia terlihat goyah.
“Kenapa aku baru tahu?” bisiknya pelan.
“Kami tidak berniat menyembunyikan. Tapi… hubungan ini belum benar-benar kami bentuk. Kami pun belum sempat bicara soal itu.”
Wira menatap ke depan, diam cukup lama.
“Kau tahu apa artinya ini, Arya?”
Arya menelan ludah. “Tahu.”
“Kau harus menikahinya secara resmi. Di hadapan publik. Dan membawa nama Satya dengan benar.” Suaranya tegas, tak bisa ditawar.
Arya memejamkan mata sejenak. Di luar ruangan, Kaila berdiri membisu, mendengarkan dari balik pintu. Dadanya bergemuruh antara takut, lega, dan bingung. Ia tak menyangka rahasianya akan terbongkar secepat itu.
Dan kini… nasibnya ditentukan oleh keputusan dua pria yang bahkan belum sepenuhnya mengenalnya.
Suasana ruangan kembali tegang. Wira masih duduk, namun sorot matanya kembali menajam saat mendengar jawaban putranya.
“Aku tidak bisa menikahi Kaila,” ucap Arya pelan namun tegas.
Wira mengerutkan dahi. “Apa maksudmu? Kau sendiri yang bilang dia mengandung anakmu.”
“Ya. Tapi aku sudah menikah, Papa. Secara hukum dan agama. Nayla adalah istriku. Dan dia... dia tidak akan pernah menyetujui ini.”
Wira bangkit dari kursi, tangannya mengepal di sisi tubuh. “Lalu kau ingin membiarkan perempuan itu menanggung anakmu seorang diri? Apa kau pikir ini permainan, Arya? Papa sangat menginginkan anak itu, keturunan Satya yang sah !”
“Aku tidak bilang begitu,dan aku juga menginginkan anak itu” sahut Arya, nada suaranya meninggi, tapi masih mencoba menahan amarah.
“Tapi menikahi Kaila bukan solusi. Ini akan menghancurkan banyak pihak, termasuk dia. Papa tidak tahu bagaimana dia selama ini. Dia bahkan belum mengiyakan status kami, dia tidak pernah meminta ini semua.”
Wira menatap tajam ke arah putranya. “Jangan bersembunyi di balik nama Nayla atau perasaan Kaila. Yang kutanyakan hanya satu kau akan bertanggung jawab atau tidak?”
Arya memalingkan wajah, rahangnya mengeras. “Aku akan bertanggung jawab, tapi bukan dengan menikahinya secara publik. Aku akan urus segalanya. Kehamilannya, kehidupannya, anak kami. Tapi jangan paksa kami menikah hanya demi menyelamatkan nama keluarga.”
Wira menghela napas berat. “Kau pikir ini hanya tentang nama keluarga? Ini tentang kehormatan. Tentang warisan. Anak itu akan lahir membawa darah Satya. Dan aku tidak akan biarkan dia hidup sebagai anak di luar nikah.”
Di luar pintu, Kaila yang masih berdiri membeku, tiba-tiba memejamkan mata. Setiap kata itu menghujam hatinya.
Ia ingin masuk dan menyela. Ingin berkata bahwa dia baik-baik saja. Bahwa ia tak memerlukan nama Satya untuk hidup. Tapi sekaligus… ia juga ingin tahu, sejauh mana Arya akan melindunginya.
Wira menatap Arya sekali lagi, lebih dalam.
“Kalau begitu,” katanya perlahan, “bawa perempuan itu padaku. Biarkan aku yang bicara dengannya. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya dia inginkan.”
Arya mendongak, terdiam beberapa detik sebelum menjawab dengan pelan. “Baik.”
Dan dari balik pintu, Kaila menyadari waktunya untuk masuk… telah tiba.