Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Ketidaksukaan, Belum Pelarangan
Sabtu itu, Dion menjemput Wina pagi-pagi sekali. matahari bahkan belum bersinar terang ketika Mbak Ria membukakan pintu pagar buatnya. Kali ini ia menemui Oppung untuk meminta izin secara langsung karena berniat menghabiskan hari di Berastagi.
“Selamat tahun baru Oppung!” sapa Dion menyalami nenek Wina yang menemuinya di teras rumah. Sementara Wina masih di kamarnya bersiap-siap.
“Baru sekarang kau salam selamat tahun baru sama Oppung, padahal hampir tiap hari kau ke rumah ini, tapi cuma sampai pagar saja,” sindir Oppung membuat Dion terdiam.
“Maaf Oppung. Bukan maksudku tidak sopan...” kata Dion tapi terputus oleh kalimat Oppung.
“Ah sudahlah nggak apa-apa. Kurasa Wina sudah cerita soal apa yang terjadi di Jakarta,” sela Oppung.
“Dion minta maaf!”
“Kenapa kau minta maaf?”
“Dion menyebabkan ada masalah di keluarga Oppung,” jawab Dion.
Wanita tua itu hanya terdiam sesaat.
“Tidak apa-apa. Masalah selalu ada selama kita hidup. Baik-baik lah kau. Dan harus dewasa. Apapun masalahmu jangan sampai gelap mata dan harus hindari dosa,” ujar Oppung membuat Dion sedikit bingung.
Sebenarnya kalimat Oppung tadi ditujukan pada keluarganya sendiri, terutama putrinya, mamanya Wina, yang telah berani menghardiknya.
Dion melihat kesedihan di wajah Oppung tapi tak tahu harus mengatakan apa. Oppung sebenarnya menyukai Dion dan mulai memperlakukannya seperti cucu sendiri. Apalagi beberapa bulan belakangan ini Dion sering menemaninya ngobrol mengurangi rasa sepian di masa tuanya.
Lagipula Dion memperlakukan Wina dengan baik dan cucunya itu pun sangat menyukai Dion. Bahkan ia mulai mengharapkan agar kelak Dion menjadi cucu menantunya.
Oppung menatap Dion yang sedikit tertunduk. “Kenapa kau tak cerita sama Oppung kalau kau itu tading maetek?”
Tading maetek adalah istilah dalam Bahasa Tapanuli untuk anak yang telah yatim piatu sejak kecil.
Mendengar istilah itu disebutkan, hati Dion jadi tersayat juga. Tapi ia berusaha menguasai diri karena masih ingin tahu mengapa Oppung bertanya demikian.
“Dion tidak bermaksud berbohong. Aku memang tidak pernah bilang-bilang ke orang kalau aku itu tading maetek,” jawab Dion.
“Waktu itu kau belum pacaran sama cucuku, memang tak ada gunanya kau mengakuinya. Tapi setelah ada hubungan, kalian pun tak ada cerita. Baru pas tahun baru kemarin Wina mengaku sama mamanya. Oppung jadi kaget.”
“Dion bersalah Oppung! Dion sudah lupa diri,” ujar Dion dengan suara lirih masih sambil tertunduk. Ia kembali merasakan sakit yang sebenarnya hampir ia lupakan.
“Jangan kau bilang begitu. Oppung tak bermaksud merendahkanmu,” jelas Oppung sambil memegangi bahu Dion. Ia merasa bersalah karena membuka luka di hati Dion. “Maksudku, seandainya tahu lebih dahulu, mungkin Oppung bisa memikirkan cara lain.”
“Justru Oppung mau bilang, biarlah orang menganggapmu rendah. Itu tidak penting. Dion jangan merasa rendah karena yatim piatu. Di mata Tuhan semua kita ini sama saja. Tua-muda, kaya-miskin, tading maetek atau tidak, tak ada bedanya,” hibur Oppung.
“Asalkan kalian rukun, kau setia dan baik sama Wina dan, Oppung akan dukung kau sebisanya. Tapi Oppung minta biarlah dulu tamat kuliahnya si Wina baru kalian pikirkan yang lain,” tambah Oppung lagi membuat beban berat di hati Dion seolah terangkat.
“Iya Oppung. Dion juga masih muda sekali. Belum berpikir menikah dalam waktu dekat,” sahut Dion.
“Situasi bisa saja cepat berubah. Masalah bisa meruncing tiba-tiba. Bisa saja besok kalian memutuskan kabur karena berpikir itu adalah jalan keluar,” Oppung berusaha menjelaskan maksudnya.
“Dion janji akan setia dan menunggu Wina tamat kuliah baru memikirkan pernikahan,” tukas Dion mulai memahami permintaan Oppung.
“Ingat kata Oppung ini yah, Kau harus! Harus dewasa, berbesar hati dan lapang dada apapun yang terjadi,” kata Oppung yang sebenarnya ingin mengingatkan Dion akan sifat keras putrinya, mamanya Wina, tapi ia urungkan.
Oppung tak ingin Dion berprasangka yang tidak penting karena masih ada kemungkinan mamanya Wina berubah pikiran.
Apalagi menantunya, papanya Wina tak pernah menyatakan penolakannya selama beberapa bulan ini menerima laporan mengenai hubungan Wina dan Dion. Menantunya itu selalu bilang akan melihat perkembangan hubungan keduanya terlebih dahulu.
“Dion akan ingat, Oppung,” sahut Dion sambil mengangguk mengisyaratkan ia memahami wejangan yang diberikan nenek Wina.
“Selain itu, kalian jangan terus-terusan menghabiskan waktu di luar. Habis nanti uang mu. Di sini saja di rumah. Lagipula Oppung bingung menjawab kalau ditanya ke mana saja Wina pergi oleh ibunya,” pesan Oppung.
“I’m ready!” seru Wina yang baru turun dari kamarnya sambil tersenyum dan siap berangkat. Wina mengenakan t-shirt putih dengan jeans hitam. Ia mengikatkan sweeter rajut abu-abu di leher layaknya syal.
“Aih, ganteng kamu Dion!” puji Wina yang senang melihat Dion mengenakan jaket sweater abu-abu gelap berkancing dan juga kemeja biru yang dibelinya di Jakarta.
“Sarapan lah kalian sebelum berangkat! Sari sudah selesai memasak dari tadi,” kata Oppung sebelum meninggalkan Wina dan Dion.
...***...
Sudah hampir pukul sepuluh pagi ketika Dion, Wina, Hendrik, Atik, Andi, dan Nita tiba di Kota Berastagi. Udara sejuk khas pegunungan langsung menyapa mereka begitu keluar dari kendaraan.
Tanpa membuang waktu, mereka segera melanjutkan perjalanan ke Bukit Gundaling menggunakan angkutan kota yang ramai dengan wisatawan. Bukit itu merupakan salah satu destinasi utama di kota tersebut, menawarkan pemandangan menakjubkan yang sulit dilewatkan.
Tak butuh waktu lama buat Andi untuk akrab dengan Hendrik dan Atik, apalagi ia juga sudah kenal Wina beberapa bulan lalu. Hanya Nita yang jadi agak pendiam. Praktis hanya Dion yang paling dekat dengannya. Sementara pada Wina, Nita masih menyimpan rasa segan.
Setelah puas berkeliling bukit, mereka kini bersantai di sebuah gazebo yang menghadap ke lanskap menakjubkan. Dari tempat itu, mereka bisa menyaksikan Kota Berastagi yang dikelilingi hutan pinus, lahan pertanian yang membentang luas, serta gagahnya gunung-gunung yang berdiri di kejauhan. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah dan pepohonan yang menyegarkan.
Ketika Nita memisahkan diri untuk membeli air mineral, Dion menggunakan kesempatan itu untuk berbicara pada sahabat lamanya itu.
“Hei, mau ke warung juga?” tanya Nita pada Dion yang melangkah di sampingnya.
“Iya nih. Tenggorokanku agak gatal, mau beli permen,” sahut Dion mencari alasan.
Nita menawarkan diri untuk membelikannya, tapi Dion menolak. Mereka berdua pun menyusuri pathway atau jalan setapak menuju barisan para pedagang.
“How’s life, Sis?” Dion membuka obrolan.
“Same old same old. How about you?” sahut Nita.
“Couldn’t be better, thanks. Still busy with the night class?” tanya Dion lagi.
“I am. If everything goes according to the plan I’m graduating next year. How’s your furthering education plan?”
“Good for you! I think I’ll start next year, again! Huh, another years of tiring,” sahut Dion sambil tersenyum mengeluhkan lelahnya kuliah sambil bekerja.
“Very tiring indeed,” timpal Nita yang menghentikan langkah karena mereka telah tiba di sebuah warung.
Setelah membeli yang mereka cari. Dion memperlambat langkahnya agar punya waktu untuk berbicara dengan Nita.
“Kalau boleh bicara jujur, sebenarnya pertama niatku ke tempat ini hanya berdua dengan Wina. Tapi aku teringat kamu.” Dion mulai menyampaikan maksud pada Nita yang berjalan di sampingnya.
“Aku tak berniat mencampuri kehidupanmu dan aku bicara tak mewakili siapapun, kecuali sebagai teman lama,” lanjut Dion.
“Sudah tahu, kok. Kamu berniat mendekatkan aku dengan Andy bukan?” tukas Nita seolah meminta Dion berhenti berbasa-basi.
“Syukurlah Nita tahu maksudku. Berjanji lah akan merahasiakan apa yang akan kukatakan,” tambah Dion.
“Rahasia? Ada apa memangnya?” Nita penasaran.
“Sebenarnya Andi sudah menyukaimu sejak kelas satu dulu. Aku yakin sekarang masih tetap begitu,” ungkap Dion membuat Nita kaget.
“Kalau Nita masih ingat, dulu dia sering main ke kelas kita. Dia sebenarnya mengakrabkan diri denganku agar punya kesempatan berteman denganmu,” tutur Dion.
“Tapi rasa takut membuatnya terus menerus menunda untuk mendekatimu. Hingga Rudi…”
“Andi mengakuinya sendiri?” sela Nita.
“Ya. Dia mengakuinya ketika kelas tiga. Tapi tanpa pengakuannya pun aku sudah tahu sejak semula,” jelas Dion.
“Andi orangnya baik. Nita juga orangnya baik. Kalian berdua adalah teman baikku. Andai pun tak jadi kekasih, kalian pasti bisa jadi teman baik juga,” ujar Dion diplomatis.
“Terima kasih,” kata Nita setelah beberapa saat menimang-nimang kata-kata Dion.
“Mbak Wina itu baik yah. Kalian sepertinya akan jodoh,” Nita mengalihkan pembicaraan.
“Iya dia baik. Rasanya masih seperti mimpi Wina menerimaku. Kami cocok nggak Nit? Nggak timpang?” tanya Dion setengah bercanda.
“Cocok sekali, sampai-sampai terlihat aneh. Aku jadi iri,” jawab Nita.
“Aih, aneh bagaimana?” Dion heran.
“Kalian itu saling meraih tangan tanpa saling melihat. Kamu ngobrol dengan Andi, Mbak Wina dengan Atik tapi entah bagaimana kalian saling tahu kalau sedang berjalan bersampingan, trus saling mengulurkan tangan secara bersamaan pula,” jelas Nita yang berubah antusias.
“Masa sih begitu?” Dion penasaran.
“Waktu duduk, Wina keluarkan botol air mineral, buka penutupnya dan memberikannya padamu. Kamu sepertinya sudah tahu kalau botol itu sudah dibuka, langsung minum.”
“Nah, waktu kembalikan botolnya, Wina seolah bisa memperkirakan padahal dia sedang membelakangi kamu. Dia menerima sodoran botol darimu pada waktu yang tepat, lagi-lagi tanpa melihat. Apa itu nggak aneh?” jelas Nita sementara Dion garuk-garuk kepala coba mengingat-ingat kejadian yang disebutkan sahabatnya itu.
“Trus cara kalian saling melengkapi kalimat. Seolah-olah otak kalian saling tersambung. Orang yang sudah menikah bertahun-tahun pun belum tentu seperti itu. Padahal kalian jadiannya, berapa bulan?”
“Enam bulan.”
“Di bus tadi kau sangat mengkhawatirkannya. Kelihatan sekali sangat sayang pada Mbak Wina. Kau selalu tersenyum senang padanya. Trus mata Mbak Wina selalu berbinar ketika melihatmu,” tambah Nita membuat Dion menaikkan sebelah alisnya.
“Wah, sudah dong Nit! Telingaku jadi naik, kepalaku jadi besar,” protes Dion membuat Nita tertawa.
“Tapi apa nggak kelihatan timpang?” tanya Dion yang menghentikan langkah karena gazebo tinggal beberapa meter dan dia tak ingin pembicaraan itu didengar teman-teman lain.
“Timpang bagaimana maksudnya?” Nita yang belum mengerti pertanyaan Dion balik bertanya.
“Yang cantik dengan yang tampan, putri dengan pangeran,” Dion memperjelas maksud pertanyaannya.
“Oh, kalau yang pertama sih OK. Dion kan tampan juga,” balas Nita membuat Dion merasa senang mendapat pujian itu.
“Tapi untuk yang kedua, gak tau deh,” imbuh Nita.
“Orang tuanya sudah menolak,” sahut Dion cepat. Dion lalu mencurahkan isi hatinya tentang penolakan ibu Wina secara ringkas, meskipun tidak menyebutkan soal yatim piatu.
“Dion harus bersabar. Lagipula masih tahap penolakan, belum pelarangan,” hibur Nita.
“Bedanya apa Nit?” tanya Dion.
“Tahap penolakan berati masih sekadar ungkapan ketidaksukaan, seperti yang dilakukan calon mertuamu itu,” jelas Nita.
“Kalau tahap pelarangan?” tanya Dion lagi.
“Sudah pada tindakan. Bisa juga tindakan verbal misalnya melarang Mbak Wina menemuimu, atau intimidasi agar Dion menjauhi Mbaknya. Pada tahap yang lebih jauh, tindakan untuk memisahkan kalian, misalnya menjauhkan Mbak Wina darimu atau dengan menjodohkannya dengan pria lain,” jelas Nita.
“Sebagai perempuan, menurutmu aku harus bagaimana?” Dion meminta saran.
“Mereka bisa saja melarang hubungan kalian. Tapi tidak ada yang bisa melarang dua hati saling mengasihi. Maka kamu perlu bersiap,” tukas Nita.
Dion hanya memandangi Nita dengan alis berkerut. Ia berharap Nita memberinya penjelasan sederhana.
Merasa kalau kata-katanya tak sepenuhnya dipahami, Nita lalu berkata, “Kalau perlu bawa kabur!”
“Oh!” seru Dion lalu kembali diam.
“Menurutmu Wina akan mau andai diajak kabur?” tanyanya kemudian membuat Nita tertawa membayangkan Dion melarikan Wina.
“Aku tidak bisa menjawab itu. Tapi kami perempuan biasanya selalu mengikuti kata hati. Berbeda dengan kaummu yang cenderung pakai logika. Pikir sini pikir situ, timbang kanan timbang kiri, akhirnya ragu,” jawab Nita sambil tertawa.
“Thanks. I appreciate your advice. What a mind-opener!” kata Dion yang kini melangkah mendekati gazebo.
“Consider the elopement as the last option, though!” seru Nita berjalan di samping Dion.
Keduanya melarutkan diri dalam obrolan bersama teman lainnya yang kemudian dihentikan oleh jam makan siang.
Ketika mereka beranjak ke rumah makan di sekitar bukit itu, Dion sempat berbisik meminta agar Hendrik menahan obrolan dengan Andi agar ia punya kesempatan mendekati Nita. Hendrik yang paham maksud Dion pun mengangguk sambil tersenyum.
Sehabis makan siang, mereka kembali berkeliling di sekitar bukit yang kian ramai pengunjung. Mereka yang semula berkelompok mulai terpisah. Hendrik yang tak bisa menahan diri tentu saja sudah lebih dahulu memisahkan diri dengan memegangi tangan Atik.
Dion dan Wina yang berjalan bergandengan tiba-tiba sadar Andi dan Nita juga sudah tidak ada sekitar mereka.
“Kupikir mereka sedang punya waktu berdua,” ujar Wina.
“Now, it's only you and me!” seru Dion dengan alis terangkat membuat Wina tersenyum dan merapatkan tubuhnya pada bahu Dion lalu melangkah menyusuri bukit itu.
Mereka berhenti pada satu sudut yang memungkinkan mereka memandangi rumah-rumah penduduk dan lahan pertanian dengan latar belakang Gunung Sibayak.
“Dion, rindu!” seru Wina yang kini merebahkan kepala di bahu kekasihnya.
“Ha? Tapi aku di sini,” tukas Dion.
Wina membalas kata-kata Dion dengan tatapan sendu. Dion yang paham maksud Wina lalu meraih pinggang gadisnya itu membawanya lebih dekat ke tubuhnya.
“Lihat! Itu kampung yang sangat indah,” seru Wina memandangi rumah-rumah petani yang meskipun tampak sederhana tapi berkesan sangat damai.
“Indeed, even more as the weather is clear. Wina mau tinggal di kampung itu?” tanya Dion.
“Mau asalkan dengan Dion,” balas Wina membuat Dion kasmaran dan mempererat pelukan pada pinggang gadisnya.