Tak ingin lagi diremehkan oleh teman-temannya, seorang bocah berusia enam tahun nekad mencari 'Ayah Darurat' sempurna; tampan, cerdas, dan penyayang.
Ia menargetkan pria dewasa yang memenuhi kriteria untuk menjadi ayah daruratnya. Menggunakan kecerdasan serta keluguannya untuk memanipulisi sang pria.
Misi pun berjalan lancar. Sang bocah merasa bangga, tetapi ia ternyata tidak siap dengan perasaan yang tumbuh di hatinya. Terlebih setelah tabir di masa lalu yang terbuka dan membawa luka. Keduanya harus menghadapi kenyataan pahit.
Bagaimana kisah mereka? Akankah kebahagiaan dan cinta bisa datang dari tempat yang tidak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diana Putri Aritonang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emergency Daddy 2.
Tiba di kediaman mewah keluarga Abraham. Kedatangan Anggita dan putranya-Elvano sudah dinanti-nanti oleh Sekar. Wanita paruh baya itu berdiri di depan teras pintu utama, ia langsung tersenyum saat matanya sudah mampu melihat mobil sang suami masuk ke dalam pekarangan kediaman mewah mereka.
"Nenek!!"
"Cucuku yang tampan!!"
Elvano langsung melompat keluar setelah membuka pintu mobil, ia berlari memeluk tubuh wanita paruh baya yang ia panggil dengan sebutan nenek.
Mereka berpelukan erat, membuat Anggita dan Galang yang baru saja menyusul keluar dari mobil menggeleng.
"Awas pinggang Mama," ucap Anggita memperingatkan, karena melihat ibunya yang memaksakan diri untuk menggendong Elvano.
"Turunkan aku, Nek. Aku terlalu berat. Jangan memaksakan dirimu seperti Kakek."
"El!!" suara Galang terlihat geram sekaligus gemas melihat cucunya yang sempat meragukan kekuatannya tadi.
"Benar, Cucu Nenek yang sangat tampan ini semakin tinggi. Empat tahun tidak bertemu, Nenek sungguh rindu." Mata Sekar sudah berkaca-kaca. Tergambar jelas perasaan haru saat kini ia sudah bisa dengan nyata menatap putri, juga cucunya. "Kalian benar-benar tidak mau ditemui," tambah Sekar dengan nada dongkolnya.
"Ma..." Anggita mendekat pada ibunya. Suara wanita itu cukup dalam. Ia memeluk Sekar sesaat dan kembali berkata, "Mama tahu alasannya apa. Dan yang terpenting kami sudah ada di sini sekarang."
Apa yang Anggita katakan tak terdengar oleh siapa pun kecuali Sekar. Sekar melirik Elvano yang mata polosnya kini memperhatikan mereka.
Sekar mengangguk. Ia segera mengusap wajahnya dan langsung tersenyum menatap Elvano.
"Ayo masuk! Nenek sudah masak banyak makanan untuk menyambut kedatangan kalian."
Bocah kecil yang dari tadi berusaha menyimak itu segera menyambut uluran tangan Sekar. Mereka sama-sama masuk ke dalam hunian mewah itu.
"Ayo!" Galang merangkul bahu putrinya. Membawa Anggita masuk, mengikuti langkah Sekar yang sudah lebih dulu bergandengan tangan bersama Elvano.
Sekar dan Galang sungguh bahagia dengan kembalinya Anggita bersama putranya-Elvano dari luar negeri dan memutuskan untuk menetap di negara ini.
Sekar terlihat bersemangat dan semua itu ia ekspresikan dalam banyaknya sajian makanan yang kini terhidang di atas meja. Sekar sendiri lah yang memasaknya.
Setelah menyiapkan makanan untuk suaminya-Galang, kini Sekar mulai menyajikan berbagai makanan ke dalam piring sang cucu.
Sangking bersemangatnya Sekar, ia tampak tidak sadar jika piring Elvano sudah sangat penuh. Entah mampu atau tidak bocah kecil berusia enam tahun itu menghabiskannya.
"Ini terlalu banyak, Nek. Bagaimana aku menghabiskannya?"
Gerakan Sekar yang masih ingin menambahkan makanan ke dalam piring Elvano terhenti. Netra tuanya sendiri terlihat kaget, ia baru sadar.
Namun, selanjutnya ia tertawa dan tanpa rasa bersalah kembali meletakkan makanan itu ke dalam piring Elvano.
"Cucu tampan Nenek harus makan yang banyak. Biar semakin tinggi dan kuat."
Netra polos Elvano membulat. Menatap makanan di dalam piringnya, lalu beralih pandang pada sang ibu.
"Mom...?" terdengar seperti rengekan untuk meminta bantuan.
"Apa?" Tanpa menoleh Anggita menanggapi panggilan sang putra. Ia tetap makan dengan tatapan yang tak mengarah pada putranya itu.
Melihat sang ibu yang tak ingin menatapnya, Elvano berwajah masam. Ia kemudian melirik Sekar. Wajah tua yang begitu ceria menyambut kedatangannya, dan Elvano merasa terharu. Ia tidak tega, tapi juga tidak sanggup jika harus menghabiskan semua makanan yang Sekar berikan.
Netra polos bocah tampan itu tiba-tiba bergerak menangkap tatapan sang kakek. Secepat kilat ia memasang ekspresi memelas. Seakan berkata 'Selamatkan aku dari Nenek, Kek'
Galang terkekeh. Ia meletakkan sendok makannya dan menyentuh lembut lengan sang istri.
"Sudah, Sayang. El tidak akan bisa menghabiskan semuanya. Dia bukan Tsania yang akan menghabiskan semua masakanmu. Biarkan El makan dengan tenang."
Sekar menurut dengan perkataan Galang. Ia tersenyum dan juga segera mulai makan. Meski sesekali ia tetap menambah makanan ke dalam piring Elvano.
Setelah beberapa saat, acara makan bersama itu pun selesai. Mereka kini lanjut duduk di sofa yang ada di ruang keluarga.
Anggita terlibat pembicaraan serius dengan kedua orang tuanya. Tak jauh dari sana, Elvano duduk di atas karpet berbulu tebal, membuka ransel kecil yang dipenuhi oleh mainan hasil rakitan bocah itu sendiri.
Robot, mobil dan helikopter mainan yang semuanya berbentuk mini. Elvano meletakkan mobil kecilnya dan mulai melepas untuk mengitari ruang keluarga. Bocah itu tengah mengukur seberapa jauh kemampuan mobil remot yang ia rakit sendiri.
"Jadi kau hanya sementara di sini? Tapi kenapa? Mama sangat merindukan mu, Anggi. Juga El." Suara Sekar terdengar serak. Elvano yang terlihat fokus mengutak-ngatik remot kontrol itu sebenarnya masih mampu menangkap pembicaraan orang dewasa yang ada di sofa.
"Ayolah, Ma. Aku dan El sudah ada di negara ini. Aku hanya akan pindah tempat tinggal. Aku akan mencari apartemen sendiri. Aku ingin mandiri." Anggita berusaha meyakinkan sang ibu.
"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Papa percaya padamu." Galang menatap Anggita.
"Mas, bagaimana jika pria berbahaya itu menemukan Anggi?" Sekar tetap tidak terima.
"Itu tidak akan terjadi, Ma," suara Anggita pelan. Ia melirik sekilas pada putranya yang masih terlihat fokus pada mainan.
Sedangkan Sekar hanya bisa menghela napas lemah. Bagaimana bisa putrinya hidup di luar sana seorang diri dengan anak sekecil-Elvano. Sekar tak bisa menutupi perasaan khawatirnya. Apalagi mengingat kehidupan Anggita yang tak berjalan mulus setelah ia bebas dari penjara, hingga memutuskan untuk tinggal di luar negeri.
Kini putrinya sudah kembali, Sekar ingin mereka hidup bersama, berdekatan. Dan ia bisa menghabiskan banyak waktu bersama putrinya-Anggita dan juga cucunya-Elvano.
"Kita harus percaya pada putri kita sendiri. Anggita itu kuat," ucap Galang menggenggam tangan Sekar. Ia kembali menatap pada Anggita. "Papa juga sudah mencarikan sekolah terbaik untuk El dan Papa sudah menyerahkan semua datanya sesuai permintaanmu."
"El, kemarilah!" pinta Galang pada Elvano.
Bocah tampan itu segera beranjak untuk mendekat, ia duduk di antara kakek dan neneknya.
"Kakek sudah mendaftarkanmu di sekolah terbaik. Kau sudah bisa bersekolah mulai besok."
"Sekolah?" ulang Elvano. Tak hanya pada Galang, Elvano langsung memberikan tatapan heran pada ibunya.
Ia tak menyukai sekolah. Tepatnya lingkungan sekolah.
"Iya, sekolah. Kakek mendaftarkanmu di sekolah internasional terbaik di kota ini. Kau pasti akan sangat senang di sana."
Elvano tak menanggapi ucapan sang kakek. Netra polos itu terus menatap sang ibu. Seakan menunggu apa yang akan ibunya katakan.
"Kenapa harus sekolah resmi, Mom? Tidak homeschooling?" tanya Elvano akhirnya.
Sekar dan Galang saling pandang mendengar pertanyaan Elvano.
"Kenapa harus homeschooling, El? Kau tidak akan punya teman jika belajar di rumah. Kakek mendaftarkanmu di tempat terbaik, kau akan memiliki teman yang banyak di sana." Panjang lebar Sekar memberikan pengertian pada sang cucu. Ia mengusap sayang rambut sang cucu yang berwarna keperakkan itu. Semakin menambah daya tarik dari wajah yang sudah terlahir menawan.
"Kakek sudah mendaftarkannya. Dan besok kau mulai sekolah." Akhirnya Anggita bersuara. Kalimatnya terdengar tenang, namun jelas ada ketegasan di sana. Dan Elvano tahu, ia tidak bisa membantah ucapan sang ibu.
Sekolah?
Entah kenapa kata itu selalu tak terdengar ramah di telinga Elvano.
Teman?
Rasanya malas untuk Elvano.
Tetapi kini ibunya sudah berkata demikian, mau tak mau Elvano akan menurutinya. Ia akan masuk ke sekolah internasional terbaik di kota ini.
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/