Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pariyem
Setelah meninggalkan Sumi di pendopo, Raden Mas Soedarsono memasuki dalem, bagian utama rumah yang menjadi tempat tinggalnya dengan garwo padmi.
Langkahnya terhenti ketika mendengar suara-suara berbisik dari arah jendela. Suara itu terdengar antusias, mengandung nada gosip yang segera menarik perhatiannya.
Dengan perlahan, ia bergerak ke arah pintu samping dan mengintip ke taman. Di sana, sekelompok abdi tampak sedang berkumpul dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
Mereka saling berbisik, sesekali mengangguk-angguk serius. Di antara mereka, Soedarsono mengenali sosok Pariyem, istri ketiganya, yang mengenakan kebaya merah muda.
Meski tidak secantik Sumi, Pariyem memiliki daya tariknya sendiri—tubuh sintal dengan kulit kuning langsat yang selalu terawat.
Pariyem dan para abdi dengan cepat membubarkan diri begitu terdengar suara pintu samping terdengar dibuka, bergegas kembali ke pekerjaan masing-masing dengan wajah tertunduk.
Namun, rasa penasaran telah menguasai pikiran Soedarsono. Apa yang mereka bicarakan dengan begitu antusias? Apakah tentang pemuda Belanda itu dan Sumi?
Dengan tekad untuk mencari tahu lebih banyak, Soedarsono melangkah menuju gandhok kulon—bangunan di sisi barat kompleks rumah yang menjadi tempat tinggal Pariyem.
Ia melihat istrinya yang ketiga itu masih berbisik-bisik dengan salah satu abdi, keduanya begitu larut dalam percakapan hingga tidak menyadari kedatangannya.
"Tuan muda itu tampan sekali. Belum pernah saya lihat Belanda setampan itu," bisik abdi itu dengan nada kagum. "Tidak heran kalau Raden Ayu—"
Soedarsono berdeham keras, mengejutkan keduanya.
Abdi itu segera membungkuk dalam-dalam, wajahnya pucat pasi sebelum tergopoh-gopoh pergi meninggalkan gandhok.
Pariyem, di sisi lain, segera menyambut suaminya dengan senyum lebar dan sikap manja yang selalu ia tunjukkan di hadapan Soedarsono.
"Ndoro …!" serunya gembira, bergegas menghampiri dengan langkah kemayu. "Semalam Ndoro tidak pulang, saya rindu berat, tidak bisa tidur.”
Soedarsono tersenyum tipis. Perhatian dari istri muda itu selalu membuatnya tersanjung.
"Aku sibuk di kadipaten, Yem," jawabnya singkat sambil melangkah masuk ke dalam gandhok yang ditata dengan selera yang lebih ramai dibanding dalem utama.
Berbeda dengan kesederhanaan elegan ruangan Sumi, ruangan Pariyem dipenuhi dengan berbagai hiasan dan kain berwarna cerah.
Pariyem segera memanggil abdi untuk membawakan teh. "Ndoro pasti lelah. Mari, saya pijati punggungnya," tawarnya dengan nada menggoda.
"Nanti saja," tolak Soedarsono halus. Ia duduk di kursi berukir, matanya mengamati wajah Pariyem dengan seksama. "Aku ingin tahu, apa yang kalian bicarakan tadi di taman?"
Wajah Pariyem seketika berubah, ada kilat licik di matanya yang cepat-cepat ia sembunyikan dengan menunduk.
"Oh, itu tadi …." Ia terdiam sejenak, seolah ragu untuk melanjutkan. "Para abdi hanya sedang membicarakan tamu yang datang hari ini, Ndoro. Tuan Belanda muda yang membawa mobil."
"Tuan van der Spoel?" Soedarsono memastikan, matanya tak lepas memperhatikan raut wajah Pariyem.
"Betul, Ndoro. Tuan Martin van der Spoel. Putra tunggal pemilik pabrik gula terbesar di karesidenan."
Soedarsono mengangguk pelan. "Sejak kapan dia datang dan berapa lama mereka mengobrol?"
Pariyem tampak bersemangat mendapat pertanyaan ini. "Tuan Martin datang sejak siang tadi, Ndoro," jawabnya cepat. "Nampaknya beliau langsung datang ke sini setelah makan siang, karena mobil Ford hitamnya memasuki gerbang kira-kira pukul dua. Dan mereka mengobrol sangat lama, Ndoro. Sangat serius."
Soedarsono mengerutkan dahi. "Berapa lama?"
"Hampir tiga jam," jawab Pariyem, sedikit melebih-lebihkan durasi yang sebenarnya. "Dari pukul dua hingga hampir pukul lima, saat Ndoro pulang."
"Tiga jam?" ulang Soedarsono, tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dalam suaranya. "Apa yang mereka bicarakan selama itu?"
Pariyem mengedikkan bahunya. "Saya tidak bisa mendengar, Ndoro. Mereka bicara di pendopo depan, dan kami hanya bisa mengintip dari pintu seketheng. Tapi mereka tampak sangat akrab."
Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Soedarsono sebelum melanjutkan dengan nada lebih rendah.
"Raden Ayu bahkan tersenyum beberapa kali. Ndoro tahu sendiri, beliau jarang sekali tersenyum pada tamu, apalagi tamu Belanda."
Kata-kata Pariyem seperti minyak yang disemburkan ke api yang sudah menyala. Napas Soedarsono menarik napas dalam-dalam, dadanya panas oleh api cemburu.
"Apa lagi yang kau lihat?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar menahan emosi.
Pariyem tersenyum dalam hati, tahu bahwa kata-katanya telah mengenai sasaran. "Tuan Martin tampak sangat tertarik pada Raden Ayu, Ndoro. Matanya tidak pernah lepas dari beliau. Beberapa kali, mereka tampak berbisik, seperti membicarakan rahasia."
Soedarsono mengepalkan tangannya. Apa yang dikatakan Pariyem, kini menjelaskan mengapa sikap Sumi berubah setelah bertemu pemuda itu.
Ada keberanian baru, ketegasan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dan kini, mendengar bahwa mereka telah menghabiskan waktu berjam-jam berdua saja, ia tak meragukan lagi kecurigaannya.
"Mbakyu Lastri juga melihat mereka, Ndoro," lanjut Pariyem, menyebut nama istri kedua Soedarsono. "Bahkan Mbah Joyo merasa heran, karena tidak biasanya Raden Ayu mau berbicara begitu lama dengan tamu, apalagi tamu Belanda."
Api cemburu semakin berkobar dalam dada Soedarsono. Ia teringat tatapan Martin ke arah Sumi sebelum pemuda itu meninggalkan Dalem Prawirataman, dan bagaimana Sumi masih memandang ke arah gerbang meski mobil itu telah lama menghilang.
Soedarsono bangkit dari kursinya dengan gerakan tiba-tiba, mengejutkan Pariyem. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras.
"Cukup," ucapnya tegas saat Pariyem hendak berkata lagi. "Aku tidak ingin mendengar lebih banyak lagi."
Pariyem terdiam, menyadari bahwa ia mungkin telah berbicara terlalu berani tentang sang garwo padmi.
Namun, ada kepuasan tersendiri dalam hatinya melihat kecemburuan yang tergambar jelas di wajah suaminya.
Sebagai istri ketiga yang selalu merasa dinomortigakan dibanding Sumi, ini adalah kemenangan kecil baginya.
"Ndoro tidak marah, kan?" tanyanya dengan nada manja, mendekat untuk menyentuh lengan Soedarsono. "Saya hanya menceritakan apa yang saya lihat."
Soedarsono menarik napas dalam, menatap Pariyem dengan memaksakan senyum. "Tidak, aku tidak marah padamu." Suaranya terdengar dingin. "Tapi jangan kau sebarkan kabar ini. Itu tidak pantas."
Pariyem mengangguk patuh, meski dalam hati ia tersenyum puas. Benih keraguan telah tertanam, dan ia tahu betul bagaimana Soedarsono sangat menjunjung tinggi kehormatan keluarga.
Jika benar ada sesuatu antara Sumi dan pemuda Belanda itu, maka posisi Sumi sebagai garwo padmi akan semakin terancam.
"Ndoro mau kemana?" tanya Pariyem saat melihat Soedarsono bergerak menuju pintu.
"Ada hal yang harus kuurus," jawabnya singkat, meninggalkan Pariyem dengan langkah cepat.
Soedarsono melangkah keluar dari gandhok dengan pikiran berkecamuk. Darah priyayi dalam dirinya mendidih oleh cemburu, dibumbui oleh keraguan dan kecurigaan yang kini semakin kuat.
Sebagai patih, ia selalu mengandalkan logika dan kepala dingin, namun kini emosi menguasainya.
Bagaimana mungkin Sumi, Sumi-nya yang selalu patuh dan setia, menghabiskan waktu berjam-jam dengan pemuda Belanda?
Dan yang lebih mengganggu—apakah perubahan sikap Sumi memang karena pengaruh pemuda itu, seperti yang ia curigai sebelumnya?
Langit senja telah berganti menjadi kegelapan malam saat Soedarsono melintasi pendopo, matanya mencari sosok Sumi yang tadi ia tinggalkan di sana.
Namun pendopo telah kosong, hanya menyisakan dua cangkir teh yang sudah dingin dan sepiring kue yang tidak tersentuh.
puaaanaaaskan
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri