Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
Maura melangkah ringan meninggalkan gerbang kampus. Tas ranselnya tersampir di punggung, dan wajahnya sedikit lelah, tapi semangatnya belum padam. Hari pertama kuliah yang melelahkan itu cukup berkesan, apalagi dengan kejadian-kejadian tak terduga—dari aksi mengejar jambret, hingga obrolan ringan bersama Alex, Ketua BM kampus yang terkenal dengan kesan dingin dan arogan.
Langkahnya menyusuri trotoar kota yang mulai diselimuti senja. Angin sore membelai rambutnya, dan mata Maura menangkap papan kecil bertuliskan "Swalayan Kecil - Serba Ada".
“Pas banget, aku butuh sabun mandi dan air mineral,” gumamnya.
Ia pun masuk ke dalam swalayan dengan langkah ringan. Rak-rak berjejer rapi, suasananya tenang, tidak terlalu ramai. Maura memilih beberapa kebutuhan pribadinya—sabun, cemilan ringan, dan sebotol air mineral.
Setelah membayar di kasir, ia kembali melanjutkan perjalanan ke halte bus. Jalanan mulai lengang, hanya ada beberapa kendaraan melintas. Ia menyusuri trotoar perlahan, menikmati suasana kota yang asing namun terasa menyenangkan di hatinya.
Setibanya di halte, Maura duduk sambil memeluk tas belanjanya. Hatinya tenang, pandangannya lurus ke depan menatap jalanan. Sesekali, ia menghela napas, mengingat kejadian hari ini.
“Entah kenapa… kota ini nggak seburuk yang aku bayangkan,” ucapnya pelan sambil tersenyum kecil.
Maura masih duduk di halte itu, menatap kosong ke arah jalan yang mulai lengang. Tangannya memeluk kantong belanja kecil yang tadi ia ambil dari minimarket. Angin sore mengelus pelan pipinya. Ia mulai memejamkan mata sebentar, mencoba menikmati sunyi.
Tiba-tiba, suara langkah cepat mendekat—berat dan tergesa. Sebelum sempat bereaksi, sosok tinggi dengan setelan jas rapi langsung duduk di sampingnya. Nafas pria itu memburu. Wajahnya tegang. Matanya menatap lurus ke depan, seperti sedang dikejar waktu atau sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Dan dalam satu tarikan nafas, tanpa memberi Maura kesempatan bertanya, pria itu meraih wajahnya dan menahannya dengan kedua tangannya yang dingin tapi kuat.
“Apa—”
Bibir mereka bertemu.
Hangat. Mendadak. Dalam.
Maura membeku. Matanya melebar, tubuhnya menegang. Tapi genggaman pria itu begitu kokoh, begitu terkontrol. Bibirnya menekan bibir Maura—tidak kasar, tapi penuh ketegangan. Seperti seseorang yang sedang putus asa, seperti pria yang menjadikan ciuman itu pelarian dari rasa takut, marah, dan amarah dunia.
Maura tak tahu harus bagaimana. Ia tidak membalas, tapi ia juga tidak menolak. Bibirnya dibiarkan tertahan dalam kecanggungan yang luar biasa.
Nafas pria itu hangat di wajahnya. Ia memejamkan mata, meresapi ciuman itu seolah menaruh seluruh jiwanya di sana. Dan dalam detik-detik panjang yang membuat dunia seakan berhenti berputar, Maura bisa merasakan, ini bukan sekadar ciuman… ini seperti permintaan tolong dalam diam. Lama kelamaan Maura dan pria itu sama sama tenggelam menikmati ciuman mereka.
Barang belanjaan yang ia pegang terjatuh berhamburan di sekitar mereka.
Saat akhirnya pria itu melepaskan ciumannya perlahan, ia menatap Maura lekat-lekat, seolah ingin mengingat wajahnya selamanya. Tapi ia tak berkata sepatah pun. Ia hanya menghela nafas, lalu berdiri, melangkah cepat meninggalkan Maura yang masih duduk kaku, wajahnya memerah, jantungnya berdebar tak karuan.
Bibirnya masih hangat. Tangan gemetar. Tubuhnya lemas.
"Apa barusan aku… dicium?" bisik Maura lirih, tak percaya dengan apa yang baru terjadi.
Maura berdiri terpaku beberapa saat setelah pria itu pergi, masih merasakan bekas ciuman yang entah mengapa terasa nyata dan meninggalkan jejak panas di pipinya.
Namun, ketika kesadarannya kembali pulih sepenuhnya, wajah Maura memerah—bukan karena malu, tapi karena marah!
“A..a……Apa-apaan barusan tadi ?! Kurang ajar…..!” serunya keras, melupakan sejenak bahwa ia sedang berada di tempat umum.
“Gila! Aku bahkan gak kenal siapa dia!” lanjutnya sambil menghentakkan kakinya. “Seenaknya nyium orang—udah gitu kabur lagi! Kurang ajar!”
Ia meracau sambil memegang kepalanya sendiri, mondar-mandir kecil di depan halte. “Apa aku kelihatan seperti cewek gampang, hah?!”
Beberapa kendaraan melintas di jalan depan halte, tapi Maura terlalu emosi untuk peduli.
Namun saat terdengar langkah kaki mendekat, Maura spontan terdiam. Seseorang—seorang bapak tua dengan kantong belanjaan—melirik ke arahnya dengan tatapan heran.
Maura buru-buru menegakkan diri, mencoba terlihat tenang. Ia mengatur napas, lalu dengan canggung menunduk dan mulai memunguti barang belanjaannya yang masih berserakan.
“Tenang, Maura... tarik napas. Nggak usah bikin drama,” bisiknya sendiri.
Setelah semua barang masuk ke kantong, ia melangkah ke kursi halte dengan wajah masih merah padam, tapi kali ini karena rasa malu. Ia mendesah berat, bersandar dan memandang langit yang mulai temaram.
" tolong jangan aneh-aneh lagi ya, dunia..." gumamnya lirih
Begitu bus kota yang ditunggunya berhenti di depan halte, Maura segera naik. Ia duduk di kursi dekat jendela, memeluk kantong belanjaannya dengan erat. Wajahnya lelah, tapi pikirannya masih sibuk memutar ulang kejadian tadi.
"Kenapa harus aku, sih?" gumamnya lirih, menatap keluar jendela yang dihiasi cahaya kota senja.
Perjalanan ke kos terasa lebih panjang dari biasanya. Sepanjang jalan, ia hanya terdiam, mencoba menenangkan gejolak hatinya. Namun, bayangan wajah pria itu—dingin, misterius, dan... entahlah….
Sesampainya di kos sederhana yang ia sewa tak jauh dari kampus, Maura langsung membuka pintu kamarnya yang sempit namun nyaman. Ia meletakkan belanjaan di meja kecil, melepas sepatunya, dan merebahkan diri di kasur tipis yang menjadi tempat satu-satunya untuk benar-benar beristirahat.
Perutnya sebenarnya lapar. Tapi rasa letih sudah lebih dulu menguasai tubuhnya.
“Besok aja deh makannya...” ucapnya lirih, matanya mulai terpejam.
Satu tarikan nafas panjang kemudian, Maura pun tertidur—masih dengan baju kampus yang belum sempat ia ganti, dan dengan pikiran yang perlahan dibawa masuk ke dunia mimpi... yang mungkin, akan mempertemukannya kembali dengan pria misterius itu.
*
*
*
Di salah satu gedung pencakar langit paling mewah di jantung kota, suasana sebuah ruangan di lantai tertinggi mendadak mencekam. Suara kaca meja yang hampir retak akibat benturan keras tangan menghentak ruangan itu.
Shaka Prawira berdiri dengan rahang mengeras dan mata tajam menatap layar monitor di hadapannya. Setelan jas hitamnya tampak begitu sempurna membalut tubuh proporsionalnya. Gaya bicaranya biasanya tenang dan berwibawa, tapi kali ini—sangat jauh dari itu.
“Berani-beraninya dia...” gumamnya dingin. “Menginjak wilayah Darmawan Group seolah tanpa konsekuensi.”
Shaka adalah pewaris tunggal Kerajaan Bisnis Darmawan—imperium multinasional yang menguasai sektor properti, tambang, dan teknologi. Di dunia bisnis, nama Shaka dikenal bukan hanya karena kekayaan dan kekuasaannya, tapi karena reputasinya yang tak kenal kompromi. Ia adalah milyader muda yang disegani dan ditakuti sekaligus.
Lelaki itu berjalan menuju jendela besar yang menghadap kota, menatap lampu-lampu gedung yang mulai menyala, seolah sedang menyusun strategi balasan di benaknya.
“Kalau dia pikir aku akan diam saja setelah pengkhianatan itu... dia tidak tahu siapa aku.”
Seorang pria berkacamata masuk dengan gugup, membawa dokumen. “Tuan Shaka, kami sudah dapatkan data lengkap transfer ilegal dari Akara Corp.”
Shaka tak menoleh. Suaranya datar namun mengandung ancaman, “Kunci semua akses mereka malam ini. Mulai besok, mereka bukan siapa-siapa.”
“Baik, Tuan.”
Dio segera keluar dari ruangan bosnya dengan cepat menuju ruangan nya,ia memberikan perintah kepada anak buah nya untuk segera bertindak . dokumen di tangan kirinya sementara telinga kanannya masih terhubung ke earphone kecil berisi instruksi terbaru dari tim keamanan internal. Nafasnya sedikit berat, tapi wajahnya tetap tenang. Sebagai sekretaris pribadi Shaka Prawira, ia terbiasa berada di tengah badai.
Masuk ke ruang kerja utama sang bos , Dio menunduk sedikit. “Tuan Shaka, akses ke seluruh akun perusahaan Akara Corp telah dibekukan. Beberapa mitra yang terlibat sudah mulai menarik diri.”
Shaka mengangguk tanpa menoleh. Masih berdiri di depan jendela, matanya seperti menembus malam yang mulai turun.
“Bagus. Pastikan tidak ada satupun yang lolos. Termasuk partner bayangan mereka,” ucapnya dingin.
Dio menatap tuannya dengan waspada. Ia tahu, ini bukan sekadar soal bisnis. Shaka baru saja lolos dari skandal besar—jebakan yang hampir saja menyingkirkannya dari kursi pewaris utama Darmawan Group. Untungnya, dengan kecerdasan dan keberanian yang terkenal kejam, Shaka berhasil membalikkan keadaan.
Namun kali ini, ancaman itu datang lebih terorganisir, lebih brutal.
Dio menarik napas dalam. Ia tahu, satu kesalahan saja, bisa membuatnya berada di posisi yang tak diinginkan.
“Saya akan hubungi kepala pengamanan pribadi Tuan. Kita perlu pastikan jalur-jalur akses pribadi Tuan tetap aman.”
Shaka menoleh perlahan, menatap Dio tajam. “Lakukan semuanya diam-diam. Aku tidak ingin media mencium satu hal pun sebelum aku menjatuhkan mereka.”
Dio mengangguk mantap. “Baik, Tuan. Akan saya pastikan semuanya terkendali.”
Saat Dio keluar dari ruangan, ia tahu malam ini akan panjang. Tapi satu hal pasti—selama ia berdiri di sisi Shaka Prawira, ia akan terus setia. Karena ia tahu, pengkhianatan... hanya berakhir dengan kehancuran.
Setelah semua urusan hari ini berakhir seperti yang ia rencanakan, Shaka akhirnya bisa menarik napas lega. Mobil yang membawanya kembali ke apartemen melaju mulus menyusuri jalanan kota. Malam menjelang larut, lampu-lampu menyala di setiap jalan kota, menciptakan pantulan temaram di jendela mobilnya yang gelap.
Sesampainya di apartemen mewahnya, ia langsung melemparkan jas ke sofa dan melangkah ke kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitnya, membawa rasa tenang setelah hari yang panjang. Tapi pikirannya tidak tenang.
Wajah itu...
Gadis itu...
Bibir itu...
Setelah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian ,Shaka mengambil minuman dingin dari kulkas—air soda favoritnya. Ia duduk di sofa, meneguk perlahan sambil membiarkan pikirannya terbang. Matanya menatap kosong ke arah televisi yang tak dinyalakan. Hanya keheningan malam dan denting halus jam dinding yang terdengar.
Entah kenapa, ia masih bisa merasakan manisnya bibir gadis itu. Ciuman yang seharusnya hanyalah kamuflase pelariannya. Tapi nyatanya, meninggalkan bekas. Dalam.
“Siapa dia...?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengusap bibirnya sendiri, seakan mencoba menghapus jejak rasa yang tertinggal.
Ia sudah berkali-kali mencium wanita—baik untuk urusan pribadi maupun permainan bisnis. Tapi yang satu ini… berbeda.
Ada rasa yang menempel.
Ada detak yang berubah.
Ada sesuatu dari gadis itu—kesederhanaan, sorot matanya, kekagetan yang tulus—yang membuat hatinya yang dingin sedikit bergetar.
“Kenapa aku merasa... ini salah, tapi tidak bisa aku lupakan?” gumamnya lagi, nyaris seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Shaka menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap langit-langit apartemen. Ia menyesap minumannya perlahan, namun rasa soda pun tak mampu menghapus rasa penasaran di lidah dan hatinya.
Malam ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang penuh strategi dan pengendalian, ada satu hal yang tidak bisa dikendalikan, rasa penasaran terhadap seorang gadis asing yang bibirnya tak sengaja ia sentuh… tapi hatinya seakan ikut terbawa.
Baru saja Shaka hendak meneguk sisa minumannya, suara bel apartemen berbunyi, memecah keheningan. Dengan alis sedikit mengernyit, ia bangkit dan berjalan menuju pintu.
Begitu pintu dibuka, berdirilah seorang wanita yang selalu tampil memukau. Talitha — tunangannya. Rambut panjang terurai, gaun feminim ketat dengan potongan rapi yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Wajahnya dihiasi senyum menggoda.
“Sayang...,” ucap Talitha lembut seraya segera melingkarkan tangannya ke dada bidang Shaka, mengendus aroma tubuh pria itu yang masih segar sehabis mandi.
Shaka diam sesaat, tak langsung membalas pelukannya. Tapi kemudian, dengan tatapan tenang, ia mempersilahkannya masuk.
Pintu tertutup perlahan. Talitha berjalan dengan percaya diri menuju sofa, lalu duduk manja dan menyilangkan kakinya anggun.
Shaka kembali ke tempat duduknya, kali ini tak di samping Talitha, tapi agak menyudut.
“Aku rindu,” ucap Talitha, menatap Shaka sambil mengedipkan mata. “Kamu makin susah diajak ketemu. Sibuk terus.”
Shaka hanya menatapnya sejenak. Wajahnya tenang, tapi pikirannya tidak. Masih ada bayang gadis asing yang tanpa sengaja ia cium sore tadi. Dan entah mengapa, kehadiran Talitha malam ini terasa berbeda. Hambar.
“Maaf, banyak urusan di kantor,” jawabnya singkat.
Talitha tertawa kecil, lalu meraih tangan Shaka dan meletakkannya di pahanya yang terbuka sedikit oleh belahan gaunnya. “Kamu butuh relaksasi, kan?”
Shaka menatapnya sekilas. Lalu tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju kulkas, mengambil satu botol air mineral. Ia minum, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan.
“Talitha,” ujarnya kemudian, tanpa menatap langsung, “kenapa kamu kesini malam-malam begini?”
Talitha terdiam sejenak, lalu tersenyum manja. “Karena aku calon istrimu, sayang. Bukankah wajar aku datang tanpa harus diundang?”
Shaka hanya tersenyum kecil, lalu kembali duduk. Tapi pikirannya jauh. Talitha ada di hadapannya, wanita yang cantik, cerdas, dan selama ini selalu mendampinginya di publik.
Talitha berdiri mendekati Shaka. mengenakan gaun tipis berwarna peach yang membalut lekuk tubuhnya sempurna. Wajahnya dihias senyum menggoda, matanya berbinar saat bertemu dengan tatapan Shaka.
“Sayang, kamu kelihatan lelah…” ucapnya lembut, lalu duduk di pangkuan Shaka.
Tanpa ragu, ia menyandarkan diri di dada Shaka. Hembusan nafasnya menghangatkan kulit pria itu, menyalakan bara kecil yang tertahan sejak pertemuan singkat dengan gadis asing tadi siang.
Talitha mendongak, menyentuh rahang Shaka, dan menatapnya dalam. “Malam ini… cuma milik kita, kan?” bisiknya nyaris seperti mantra. Ciumannya mendarat perlahan di bibir Shaka, lembut… lalu menuntut.
Shaka membalas, awalnya ragu, namun gairah Talitha menuntunnya. Kedua tangan Talitha menyusuri dada kekar tunangannya, lalu ke belakang leher, merengkuh penuh hasrat. Shaka mengangkat tubuhnya dan membawanya ke kamar. Gaun tipis itu melorot perlahan saat tubuh mereka saling menyatu, kulit menyentuh kulit, desah berbaur dengan detak jantung yang semakin cepat.
Udara di ruangan menjadi panas. Talitha menciumi lehernya, bisikan lembut terdengar di sela napas mereka. Suasana larut dalam cengkeraman gairah, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Namun saat Talitha tertidur di pelukannya, Shaka hanya menatap langit-langit ruangan itu. Jiwanya belum benar-benar utuh. Ia baru merasakan kehampaan rasa pada hubungan nya dengan Thalita.