Diselingkuhi sedih? Sudah tidak jaman! Angkat kepalamu, gadis, mari kita balas dendam.
Betari diselingkuhi oleh kekasih yang dia pacari selama tiga tahun. Alih-alih menangis, dia merencanakan balas dendam. Mantan pacarnya punya ayah duda yang usianya masih cukup muda. Tampan, mapan, dan kelihatannya lebih bertanggungjawab. Jadi, Betari pikir, kalau dia tidak dapat anaknya, dia akan coba merebut ayahnya.
Namun ditengah misi balas dendamnya, Betari justru dikejutkan oleh semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nando Terkecoh
Malam mulai merangkak naik. Waktu istirahat telah tiba. Betari duduk dengan punggung bersandar di atas ranjang. Di tangannya, novel terjemahan karya J.K Rowling berkali-kali dibalik dengan irama yang konstan. Dia begitu serius membaca setiap kalimat yang tertera di sana, seakan enggan membiarkan satu detail pun terlewat.
Berbeda dengan Betari, Melvis tampak cemas di depan pintu balkon kamar mereka. Lelaki itu sudah mondar-mandir sejak satu jam yang lalu. Ponsel menempel di telinga, ditarik, ditempelkan lagi, ditarik lagi, begitu terus sampai sudah puluhan kali. Dia sedang berusaha menelepon Nando. Mencari keberadaan sang putra yang pergi meninggalkan rumah dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Berkali-kali mencoba dan tidak mendapatkan hasil, Melvis akhirnya menyerah. Dia letakkan ponselnya di atas nakas, lalu bergabung dengan Betari. Bokongnya mendarat di ujung kasur. Memakan hanya sedikit ruang, seperti enggan terlalu memangkas jarak dengan gadis cantik yang sudah sah menjadi istrinya itu.
Betari, di sela-sela kegiatannya membaca, menyadari kecanggungan yang menyelimuti Melvis. Senyumnya terkulum seketika. Merasa lucu menyaksikan duda anak satu itu bertingkah layaknya pengantin baru yang belum pernah mencecap rasa manis malam pertama.
Gerak-gerik Melvis yang canggung membuat Betari teringat pada sesi ketika mereka mengikuti kelas pra-nikah sebelumnya. Dia menyadari lelaki itu terlihat gugup dan awkward, padahal ini bukan pernikahan pertamanya. Betari di sisi lain juga sebenarnya gugup, hanya saja penerimaan terhadap takdir yang sudah ada di depan mata membuatnya lebih legowo menjalani semuanya. Let it flow saja. Dia hanya mencoba percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Semakin lama, kecanggungan Melvis semakin terasa mengusik. Betari memutuskan menutup bukunya. Diletakkannya buku itu di samping tubuh, lalu dia menegakkan posisi duduknya. Dipandanginya Melvis sejenak dengan segaris senyum.
“Sebelum ada saya, Om biasanya ngapain dulu sebelum tidur?” tanyanya.
“Nongkrong di ruang kerja,” jawab Melvis sambil mengusap tengkuknya. Sejak setuju mendaftarkan pernikahan mereka, Betari sekonyong-konyong mengubah panggilannya menjadi Om, yang mana sampai detik ini pun masih terasa aneh di telinganya.
Betari tertawa pelan sambil menggeleng kecil. "Nongkrong kok di ruang kerja. Kelihatan banget jomblonya,” ledeknya.
“Yaa ... Habis mau ngapain lagi? Mau dugem juga udah nggak kuat, udah encok,” gurau Melvis.
Bibir Betari mencebik. “Masa iya? Kayaknya masih jago tuh joged di dance floor,” godanya.
“Enggak, saya udah tua.” Melvis mengikis sedikit jarak, menaikkan kedua kakinya yang semula masih menggantung menyentuh lantai. “Lagian, dari dulu juga saya nggak terlalu suka dugem.”
“Oh ya?” Betari tampak antusias. Dia melipat kedua kakinya—bersila. Menatap Melvis dengan mata berbinar. “Terus, waktu masih muda dulu, hobinya apa?”
“Main musik. Saya dulu punya band di SMA.”
Betari tampak semakin tertarik. “Wah, keren dong. Posisi apa? Vokalis?”
Melvis menggeleng. “Drummer. Vokalisnya perempuan,” tuturnya. Pandangannya tampak menerawang, seperti menembus dimensi waktu—mendatangi masa lalu. Senyumnya terbit segaris, kala kenangan masa SMA melintas apik di kepala.
“Terus, band itu gimana nasibnya?”
Pertanyaan tersebut membuat senyum Melvis sedikit pudar. Dia menatap Betari sejenak sebelum menjawab, “Bubar.” Ada kesedihan dalam nada suaranya.
“Kenapa?”
“Karena saya memutuskan menikah sama vokalis perempuan di band itu.”
Untuk beberapa lama, Betari terdiam, berusaha mencerna kalimat Melvis dengan baik. Kemudian, dia membuka mulutnya, mengeluarkan ahh panjang sambil manggut-manggut.
“Mamanya Nando, ya?” Itu bukan pertanyaan. Betari hanya meloloskan suaranya begitu saja.
Melvis mengangguk. “Kami menikah setelah lulus SMA. Biasalah, dibutakan asmara,” ujarnya diakhiri tawa pelan.
Meski sudah lama berlalu, dia kadang-kadang masih sedikit menyayangkan keputusannya yang terburu-buru. Tentu saja ini sudah menjadi jalan hidup yang harus dia jalani. Hanya terkadang, dia masih suka berharap bisa memutar balik waktu.
“Tapi saya yakin, kalau disuruh balik ke masa itu lagi, Om pasti tetap bakal milih buat menikah.” Seperti bisa membaca isi pikiran, Betari menyuarakan pendapatnya di tengah-tengah keheningan. Statement itu kedengaran halus dan biasa, tetapi berhasil menyadarkan Melvis akan satu hal: semua yang sudah berlalu tidak bisa diulang. Dan sekalipun bisa, jalan hidupnya jelas akan berubah total.
“Iya.” Melvis menyetujui statement Betari pada akhirnya. “Kalau nggak menikah, saya nggak akan punya Nando. Kalau nggak menikah, saya nggak akan tahu kalau ngurus anak ternyata susahnya minta ampun.”
Semakin berlalu waktu, semakin tua malam menyerbu, obrolan mereka berlanjut ke titik yang lebih serius. Daripada memikirkan soal malam pertama selayaknya pengantin baru, malam itu mereka berbagi banyak hal. Bertukar isi kepala. Mencoba menyelami diri masing-masing selayaknya dua orang teman yang ingin berjalan beriringan untuk waktu yang lama. Serta diakhiri dengan membahas kebiasaan di rumah ini.
Saya pamit, mau beresin sofa buat tidur," ucap Melvis sambil beranjak pergi. Tangan Betari refleks meraih pergelangan tangannya.
"Ih, om, jangan lebay deh. Kita nggak perlu ikut-ikutan drama sinetron yang karena nikah nggak direncanain, jadi harus tidur terpisah."
Melvis menoleh, sedikit canggung. "Tapi saya cuma nggak mau bikin kamu nggak nyaman."
"Aku nggak apa-apa kok tidur satu ranjang sama om. Serius. Asal... om sekarang nggak ngapa-ngapain saya dulu."
Melvis mengangguk cepat, wajahnya langsung kaku seperti patung.
"I-ya, saya nggak akan ngapa-ngapain kamu sebelum kamu siap, Be."
Betari nyengir kecil melihat ekspresi gugup suaminya itu. Mereka berbaring bersebelahan, masing-masing di sisi tempat tidur. Betari menarik selimut sampai ke dagu sambil bergumam pelan. "Tenang aja, om. Saya juga nggak bakal tiba-tiba loncat ke pelukan om kok. Santai aja."
Melvis mengulum senyum. "Kalau gitu... selamat tidur, istri saya."
Betari menahan senyum. "Selamat tidur juga, suami om-om saya."
Keduanya tertawa pelan, kemudian hening mengambil alih ruangan. Tak ada yang mencoba menyentuh, tak ada kalimat romantis dibuat-buat. Hanya dua orang asing yang perlahan belajar menerima kehadiran satu sama lain, satu napas dalam malam yang sama.
Dan malam itu, mereka tidur nyaman berdua sampai lupa tentang Nando yang entah dimana rimbanya.
...******...
Sudah lewat tengah malam waktu Nando kembali ke rumah. Kondisi sekitar jelas sudah sepi. Pak Hadi sudah pasti lelap di kamarnya, begitu juga dengan dua asisten rumah tangga mereka yang lain. Lampu-lampu di rumah ini tidak pernah dibiarkan mati. Entah karena Melvis yang terlalu kaya sampai tidak perlu pusing akan tagihan listrik, atau sebenarnya itu adalah upaya agar mereka yang tinggal di dalamnya tidak terlalu merasa sepi.
Nando berjalan melintasi ruang tamu dengan langkah ragu-ragu. Sedikit demi sedikit jarak terpangkas sampai kakinya akhirnya menyentuh anak tangga pertama untuk menuju lantai dua. Dia mendongak, menatap satu persatu anak tangga yang akan dia Titi dengan langkah berat dan beban di dada.
Beberapa lama terdiam, dia ayunkan langkahnya. Satu demi satu, sedikit demi sedikit. Makin lama pundaknya terasa makin berat dan sakit. Sampai kemudian anak tangga terakhir berhasil dia titi. Nando merasakan separuh hidupnya melayang pergi.
Di depan kamar utama, dia berhenti cukup lama. Tatapannya jatuh pada pintu kokoh di hadapannya. Andai memiliki kekuatan, dia ingin mencoba mengintip apa yang sedang terjadi di dalam.
Memangnya apa yang bakal dilakukan sepasang pengantin baru di malam pertama? Main gundu? Ya sudah jelas mereka akan memadu kasih.
Bisikan setan melesat cepat di telinga, membuatnya memanas. Kedua tangannya terkepal erat. Rahangnya mengetat. Betari yang bibirnya bahkan belum pernah dia cium... sekarang mungkin sedang memadu kasih dengan ayahnya. Pikiran liar membuat emosinya semakin menggila. Nando mengentak langkah, bermanuver jauh menuju kamarnya.
Di depan kamarnya, dia raih handle dan diputar kasar. Melesat masuk ia ke dalam begitu pintu terbuka lebar. Debaman terdengar sedetik kemudian. Jika tidak kokoh, rumahnya bisa saja roboh saking kuatnya dia membanting pintu di belakangnya.
Isi kepala Nando semakin ribut seiring dengan banyaknya bayangan-bayangan tidak pantas di sana. Dia kalut. Ingin marah, ingin mengamuk, tetapi tidak tahu harus melampiaskannya kepada siapa.
Maka, tembok kamarnya yang tak berdosa menjadi sasaran empuk karena benda mati itu tak bisa bicara, tak bisa protes, tak bisa melawan. Berkali-kali Nando mengeluarkan bogem mentah. Menghantam tembok tak bersalah menggunakan seluruh kekuatan yang dia miliki. Hasilnya? Buku-buku jarinya terluka—mengeluarkan darah.
Nando tidak memedulikan rasa perih di buku jarinya. Dia masih terus meninju tembok kamarnya, berharap rasa sakit di hatinya bisa lenyap setelah menciptakan luka-luka fisik di sana.
Yang Nando tidak tahu, ini hanyalah permulaan. Suatu hari, dia mungkin harus menyakiti dirinya lebih dari ini.
.
.
.
Bersambung.
hanya bisa😮💨😮💨😮💨
lucu....
goo upppp