NovelToon NovelToon
Trial Of Marriage

Trial Of Marriage

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta setelah menikah / Romansa / Pernikahan rahasia
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Coffeeandwine

Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.

Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.

Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

When the Strongest Man Breaks

Udara dipenuhi bau menyengat dari plastik terbakar dan serpihan karbon yang menggantung di udara. Suara alarm masih meraung, menggema dari sudut-sudut bangunan yang kini kosong. Langkah Jae Hyun terdengar cepat dan mantap, seolah waktu yang tersisa hanya menghitung detik. Setiap hembusan napasnya bercampur asap, panas, dan ketegangan yang menggerogoti dada.

Meski matanya mulai perih, pikirannya tetap tajam. Ini bukan saatnya untuk panik.

"Tangga darurat... kalau dia tak sempat ikut evakuasi dan lift sudah mati, dia pasti mencoba ke tangga darurat," gumam Jae Hyun dalam hati.

Ia tidak boleh membuat keputusan yang salah. Ia tidak punya waktu untuk mencarinya di sembarang tempat. Riin bukan tipe orang yang tinggal diam menunggu diselamatkan_ia pasti berusaha keras mencari jalan keluar. Dan satu-satunya kemungkinan logis adalah jalur tangga darurat.

Tanpa ragu, Jae Hyun membelokkan langkah menuju arah barat gedung, ke pintu logam yang menandai awal dari lorong sempit menuju tangga darurat. Tangan kanannya meraba dinding mencari tuas pegangan, sementara tangan kirinya menutup hidung dan mulut dengan sapu tangan basah.

Tangga itu dingin, gelap, dan penuh jelaga. Sumber cahaya hanya berasal dari lampu emergency yang temaram, berkedip-kedip seperti napas terakhir. Langkahnya dipercepat. Ia memanggil.

“Riin!” Suaranya parau, teredam asap.

Tak ada jawaban. Tapi sesaat kemudian, suara batuk kecil terdengar dari bawah. Lemah. Terputus. Dan seperti paku tajam, suara itu menghantam jantung Jae Hyun.

Ia berlari menaiki beberapa anak tangga.

Di sana ia melihatnya. Riin. Meringkuk sambil memegangi perutnya. Wajahnya pucat pasi, keringat mengalir deras, dan tubuhnya gemetar hebat. Satu tangannya berpegangan di dinding, tangan lainnya melindungi perutnya seperti mencoba menahan sesuatu yang terasa sangat menyakitkan.

"Riin!"

Riin membuka mata perlahan, kabur, seolah suara Jae Hyun hanya ilusi samar dalam kesadarannya yang mengambang. Bibirnya bergerak, nyaris tak bersuara.

“Jae Hyun…?”

Jae Hyun segera berlutut, tangannya menyingkirkan rambut basah dari wajah Riin. Sentuhannya lembut, tapi penuh kepanikan.

“Aku di sini. Kau dengar aku? Kau dengar, kan?” suaranya gemetar. “Aku akan membawamu keluar. Bertahanlah, Sayang.”

Riin mencoba bicara, tapi hanya suara isakan kecil yang keluar. Saat ia menggoyangkan tubuhnya sedikit, Jae Hyun terkejut melihat noda merah mulai merembes dari bawah rok Riin, turun ke kedua pahanya. Darah. Segar.

Jae Hyun mendadak membeku.

Pandangan logisnya yang biasa tajam kini porak-poranda. Rasa takut mencengkeram hatinya seperti pisau dingin yang menusuk tanpa ampun.

“Riin... kau...” suaranya nyaris tak terdengar.

Riin membuka mata lagi, kali ini pandangannya basah.

“Aku tidak tahu... perutku sakit dari tadi pagi... kupikir hanya kram biasa…” Suaranya serak, terbata, hampir seperti bisikan.

Jae Hyun tidak menjawab. Ia segera meraih tubuh Riin dalam gendongannya, meski tubuh wanita itu terasa panas dan lemas. Ia mengencangkan pelukannya, menahan agar tubuh Riin tidak terombang-ambing.

"Aku akan membawamu keluar. Sekarang. Pegang aku erat-erat."

Riin menyandarkan kepalanya di dada Jae Hyun, tubuhnya gemetar tak terkontrol. “Jae Hyun~a... maafkan aku...”

Air mata Jae Hyun jatuh, tanpa suara. “Jangan bicara dulu. Simpan tenagamu. Aku tidak butuh permintaan maaf. Aku ingin kau bertahan,” ucap Jae Hyun, pelan tapi tegas.

Tangannya sedikit bergetar saat menuruni anak tangga. Jae Hyun selalu perhitungan dalam hidup_selalu tahu apa yang harus dilakukan, selalu punya rencana. Tapi saat ini, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah berlari. Membawa wanita yang diam-diam telah membuat hatinya runtuh itu keluar dari neraka yang membara ini.

***

Ketika pintu tangga darurat terbuka dari dalam, semua mata langsung berbalik. Petugas medis bergegas begitu melihat Jae Hyun keluar membawa Riin yang lemas, dengan darah mengalir di kedua kakinya.

"CEPAT! KITA BUTUH TANDU DAN OKSIGEN DI SINI!" seru salah satu petugas medis.

Ah Ri menutup mulutnya, menahan jeritan panik. Seon Ho membeku. Seluruh tubuhnya terasa dingin. Ia ingin melangkah, tapi kakinya seolah terikat di tempat.

Jae Hyun tidak melepas pelukannya bahkan saat petugas menarik tandu mendekat. “Aku ikut di ambulans,” katanya tegas.

“Tuan, Anda bisa—”

“Aku bilang, aku ikut. Istriku tidak akan pergi tanpa aku.” Sekejap, keheningan menyelimuti mereka yang mendengarnya. Termasuk seluruh karyawan Colors Publishing yang seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

Ah Ri menoleh pelan, terkejut. Tidak menyangka bahwa kepanikan dan amarah bisa membuat sahabatnya kehilangan kendali dan mengabaikan segalanya.

Seon Ho menunduk, merasa kecil di tengah keramaian sekaligus merasa tidak berguna karena nyaris membuat wanita yang ia cintai kehilangan nyawanya alih-alih menyelamatkannya. Namun ia sadar, ini bukan waktunya untuk menjelaskan apapun.

Riin ditangani cepat, diberi oksigen dan diperiksa tekanan darahnya di dalam ambulans. Jae Hyun duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya yang dingin. Di antara suara mesin dan gemuruh ban ambulans, ia berbisik pelan. “Kau tidak akan meninggalkanku. Kau tidak boleh pergi kemana-mana. Aku tidak akan mengizinkan. Tidak akan pernah.”

Tubuh Riin terbaring di atas ranjang lipat ambulans, wajahnya pucat seperti kertas. Selang infus sudah tertanam di punggung tangannya, oksigen disalurkan melalui selang tipis di hidungnya. Darah masih menodai bagian bawah bajunya, meski para paramedis telah berusaha menghentikan pendarahan secepat mungkin.

Jae Hyun terus menggenggam tangan istrinya yang dingin. Jemarinya menggigil. Matanya tak lepas dari wajah Riin yang tak sadar. Hatinya berdenyut keras, seperti dipukul-pukul rasa bersalah dan ketakutan.

“Tekanan darahnya drop, masih terlalu rendah. Siapkan cadangan darah,” ujar salah satu paramedis sambil menatap monitor dengan alis berkerut.

Jae Hyun menoleh cepat. “Apa dia akan baik-baik saja?” suaranya terdengar kasar, tapi ada nada putus asa yang bergetar di dalamnya.

Si perawat pria itu menatapnya sekilas, mencoba bersikap netral. “Kami belum bisa pastikan. Tapi dia kehilangan cukup banyak darah. Kami akan lakukan pemeriksaan sesampainya di rumah sakit.”

Pikiran Jae Hyun langsung meloncat pada fragmen-fragmen kecil yang selama ini tak ia perhatikan secara penuh—Riin yang akhir-akhir ini lebih mudah lelah, sering mengeluh punggungnya sakit, emosi yang naik turun tanpa alasan jelas, dan... ya Tuhan, bagaimana bisa ia tak memikirkannya?

“Kau harus bangun, Riin,” bisiknya pelan, menunduk dekat ke telinga istrinya. “Kau tidak boleh pergi meninggalkan aku. Tidak seperti ini. Kau dengar aku, kan?”

Ia mengelus rambut Riin yang basah oleh keringat dingin. Urat di lehernya menegang. Ada kekacauan dalam pikirannya yang tak bisa ia jelaskan, tapi di balik segalanya, satu hal menjadi jelas—ketakutan kehilangan Riin jauh lebih menyakitkan dari yang pernah ia duga.

Matanya menyapu wajah istrinya sekali lagi, seolah menghafal tiap inci wajah itu jika sewaktu-waktu ia harus kehilangannya. “Aku minta maaf,” katanya lirih, suaranya pecah. “Kalau selama ini aku terlalu sibuk... terlalu lambat menyadari semuanya. Aku harusnya menjagamu lebih baik.”

Tangannya mengeratkan genggaman pada jari-jari Riin yang masih lemah. Paramedis lain menginterupsi, “Kami hampir tiba. Ruang gawat darurat sudah siaga.”

Jae Hyun mengangguk singkat, lalu menunduk kembali. Wajahnya mendekat pada tangan Riin yang ia cium perlahan, seolah menyuntikkan harapannya sendiri ke dalam tubuh lemah itu.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia mengenal dirinya sendiri, ia benar-benar merasa takut.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!