NovelToon NovelToon
Kapten Merlin Sang Penakluk

Kapten Merlin Sang Penakluk

Status: sedang berlangsung
Genre:Action
Popularitas:459
Nilai: 5
Nama Author: aldi malin

seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

serangan di tengah malam

Hujan rintik-rintik membasahi atap seng warung. Dika duduk di sudut, menyamar dengan jaket ojek dan topi rendah. Seorang pria pincang dengan wajah setengah tertutup tudung jaket masuk. Itu Frenki.

Frenki (dengan suara pelan):

"Aku nggak datang buat cari masalah, Ka. Aku datang karena aku udah capek."

Dika (dingin, curiga):

"Capek? Bukannya kamu yang dulu bantu culik Kapten Merlin? Yang bikin istri gue hampir mati?"

Frenki (terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam):

"Aku disuruh, Ka... aku cuma pion. Tapi sekarang... Komplotan Chen nggak kayak dulu lagi. Dia dikendalikan orang lain. Seseorang yang lebih berbahaya. Mereka manggil dia… Sibayangan."

Dika menegang. Nama itu mulai sering ia dengar, tapi tak pernah punya wajah.

Frenki:

"Aku tahu jalur pelabuhan gelap, bunker pengiriman senjata, sampai markas penghubung komplotan Chen dan Sibayangan. Aku mau buka semuanya. Tapi aku minta satu hal..."

Dika:

"Apa?"

Frenki (suaranya serak, matanya berkaca-kaca):

"Lindungi anakku. Dia satu-satunya alasanku masih hidup. Kalau aku harus mati, biar... Tapi tolong, jangan biarkan dia jadi sasaran Chen."

Hening. Hujan makin deras.

Dika:

"Lo gila atau nekat, Frenk... Tapi gue percaya satu hal—orang yang nyari penebusan biasanya bawa kebenaran. Oke. Tapi lo ikutin aturan gue. Sekali lo ngaco…"

Frenki:

"Gue ngerti. Bawa gue ke Kapten Merlin... Gue siap bantu."

Aina duduk di sofa sambil mengelus perutnya yang mulai membesar. Wajahnya tampak lelah setelah memikirkan laporan-laporan dari kantor dan perkembangan kasus terbaru. Dika datang dengan raut wajah serius, menggenggam tangan Aina dengan lembut.

Dika:

"Aku baru ketemu Frenki, Na..."

Aina menoleh cepat, alisnya langsung terangkat curiga.

Aina:

"Frenki? Maksudmu… Frenki yang dulu culik aku?"

Dika (mengangguk):

"Iya. Tapi dia minta bantuan. Dia bilang mau keluar dari jaringan Chen. Katanya, dia udah nggak tahan hidup dalam ketakutan. Dia juga janji bakal buka semua jalur Chen dan identitas Sibayangan."

Aina (dingin):

"Kau percaya dia, mas? Dia itu dalang penculikan dan hampir membunuhku. Sekarang dia cuma datang bilang 'aku tobat' dan kita harus terima dia?"

Dika (pelan):

"Bukan soal percaya atau nggak. Tapi dia bawa informasi penting, Na. Dia tahu bunker, jalur penyelundupan, bahkan penghubung ke Sibayangan."

Aina (masih tegas):

"Kalau dia benar-benar mau tobat, dia harus siap diselidiki. Kita nggak bisa main percaya gitu aja. Banyak agen ganda di luar sana, Ka. Apalagi dia pernah kerja langsung di bawah Chen."

Dika:

"Aku tahu, Na. Makanya aku datang dulu ke kamu. Dia mau bicara langsung sama kamu... atau Tania. Tapi semua harus lewat pengawasan kita. Aku pastikan dia nggak bisa kabur."

Aina diam sejenak, matanya menerawang. Tangan kirinya meremas selimut kecil di sampingnya. Perutnya terasa sedikit menegang—tanda ia tak boleh terlalu stres. Tapi wajahnya masih keras.

Aina:

"Aku akan temui dia. Tapi bukan sebagai Aina istrimu. Aku akan datang sebagai Kapten Merlin. Kalau dia bohong... aku sendiri yang akan mengakhirinya."

Setelah pertemuan rahasia itu, Dika memandangi langit malam dari balkon kecil rumahnya. Pikiran tentang Frenki masih berputar di kepalanya. Di balik masa lalunya yang kelam, Dika yakin—teman lamanya itu sungguh ingin keluar dari jeratan komplotan Chen.

Aina muncul dari balik pintu kaca, memeluk perutnya yang mulai membesar. “Aku ingin bicara langsung sama Frenki,” ucapnya tegas.

Dika menoleh. “Aina, percayalah… dia sudah berubah. Dia bahkan rela menyerahkan jalur rahasia komplotan itu. Dia ingin menebus semua kesalahannya.”

“Tapi bagaimana kalau ini hanya perangkap, mas?” nada suara Aina penuh kekhawatiran. “Kamu sendiri tahu mas, komplotan Chen dan si Bayangan bukan orang biasa. Mereka bisa menyusup ke sistem, bahkan ke pikiran.”

Dika mendekat, memegang tangan Aina. “Aku kenal dia sejak sebelum kamu jadi istriku. Frenki pernah selamatkan nyawaku. Dia nggak akan tega menghianati aku…”

Aina diam sejenak. Napasnya berat. Ia tahu Dika tak mudah percaya pada siapa pun, kecuali seseorang yang sangat ia yakini. Tapi instingnya sebagai komandan berkata lain—ada yang janggal.

“Baik,” ucap Aina akhirnya. “Tapi aku tetap mau bertemu dia. Dengan pengawalan. Aku ingin lihat sendiri matanya saat bicara. Kalau dia jujur, aku akan dukung. Tapi kalau tidak…” Aina menatap tajam, “aku yang akan menghabisinya.”

Suara dering ponsel memecah keheningan malam. Dika yang baru saja menutup buku laporan rahasia, langsung menjawab begitu melihat nama yang muncul di layar: Frenki.

“Dik, aku nemu sesuatu,” suara Frenki terdengar cepat dan tegang. “Salah satu titik temu jaringan Bayangan ada di sebuah bar lama di daerah Pelabuhan Selatan. Mereka ngumpul setiap malam. Aku udah pantau—malam ini mereka ada di sana.”

Tanpa buang waktu, Dika menuju lokasi. Di dalam bar berasap itu, lampu temaram menyala merah. Musik jazz klasik mengalun pelan, namun ada hawa mencurigakan yang menyelimuti tempat itu. Frenki duduk di sudut, mengenakan jaket lusuh dan topi, menyamar layaknya pelanggan biasa.

“Mereka di meja belakang, tiga orang. Salah satunya pernah aku lihat bareng si Bayangan waktu masih kerja buat Chen,” bisik Frenki saat Dika duduk.

Belum sempat Dika membalas, salah satu pria yang dicurigai menoleh tajam. Matanya menatap Dika—dan seketika tahu, mereka terperangkap.

“BONG!” Kursi terjungkal. Salah satu dari mereka menarik pistol dari balik jaket. Dika reflek menyambar botol kosong di meja dan melemparkannya ke arah musuh. Frenki ikut bergerak cepat, menjatuhkan satu dari mereka ke lantai.

Perkelahian brutal pecah di dalam bar. Pengunjung berhamburan keluar. Sementara itu, Dika dan Frenki bahu-membahu melumpuhkan anggota jaringan Bayangan. Tiga pria berhasil ditangkap hidup-hidup, satu lagi kabur lewat pintu belakang, namun wajahnya terekam oleh kamera tersembunyi milik Dika.

Satu langkah lebih dekat pada si Bayangan.

Bar tua itu kini sepi. Hanya suara dentingan lampu tua dan nafas terengah para tahanan yang terdengar. Dika berdiri di depan tiga pria yang terikat di kursi. Frenki berdiri di belakangnya, diam—wajahnya gelap dalam keremangan cahaya.

Dika mengetukkan jari ke meja. “Siapa dalang sebenarnya di balik jaringan Bayangan?”

Salah satu pria itu meludah ke lantai, menolak bicara. Dika melirik Frenki sejenak, memberi kode agar berjaga. Tapi entah kenapa, tatapan Frenki terasa berbeda malam ini.

“Frenk, ayo... bantu gue tekan mereka. Kita harus dapet infonya malam ini juga,” ujar Dika sambil memutar kursi.

Tiba-tiba...

SRET!

Rasa perih menembus punggung Dika. Ia menoleh perlahan, darah mengalir dari sudut bibirnya. Frenki berdiri dengan pisau berlumur darah.

“Kenapa…?” suara Dika lirih, tubuhnya sempoyongan.

Frenki menunduk, tak sanggup menatap mata sahabat lamanya. “Maafkan aku, Dika… Aku tak punya pilihan. Mereka... mereka sandera anakku.”

Langkah berat terdengar dari lorong belakang. Sosok berjubah hitam muncul, wajahnya tertutup topeng perak. Si Bayangan.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Si Bayangan mengeluarkan belati panjang. Dengan gerakan cepat, ia menghantam Dika yang tak lagi berdaya.

Darah membasahi lantai bar. Dika jatuh, tak sempat mengucap salam perpisahan. Frenki terduduk, gemetar, menyadari bahwa ia telah kehilangan satu-satunya orang yang pernah menganggapnya saudara.

Di ruang isolasi rumah sakit, jasad Dika masih dalam proses otopsi. Tim forensik bekerja cepat namun hati-hati. Di balik kaca pengawas, Reno berdiri kaku bersama Tania. Tak ada suara, hanya detak jam dan bunyi alat medis.

“Dia belum tahu, kan?” bisik Reno tanpa menoleh.

Tania menggeleng. “Belum. Aina masih di rumah. Kandungannya udah tua. Gak bisa kita kasih kabar ini sekarang. Bisa membahayakan dia dan bayinya.”

Reno menatap kosong ke tubuh sahabatnya. “Dia janji mau pulang malam itu. Mau makan malam bareng Aina dan Laila…”

Tania menarik napas panjang. “Kita gak bisa biarin ini sia-sia. Frenki, Bayangan, semuanya harus bertanggung jawab.”

Reno mengepalkan tangan. “Satu hal yang pasti. Aina gak boleh tahu sampai semua aman. Kita buat seolah Dika sedang dalam misi jauh. Biar dia tetap tenang…”

“Dan kuat,” lanjut Tania pelan.

Di luar gedung rumah sakit, langit mendung. Seseorang memperhatikan dari kejauhan, dari balik mobil hitam yang kaca depannya buram. Sosok itu menghidupkan radio dan bergumam pelan, “Waktunya belum habis, Merlin…”

Pagi itu mendung menggantung di langit Jakarta Timur. Aina duduk di teras rumah, memegangi perutnya yang kian membesar. Laila bermain di dekatnya, tak sadar ada sesuatu yang ganjil di raut wajah sang ibu.

Tiba-tiba, pengawal pribadi Aina datang tergesa. "Bu, ada seseorang ingin bertemu. Katanya penting, dari tim Dika."

Aina mengangguk. "Suruh masuk."

Masuklah seorang pria bertopi, mengenakan jaket tebal dan celana jeans kusam. Wajahnya asing, tapi matanya menunjukkan kesedihan yang dalam. Ia membuka topinya pelan, lalu menatap Aina.

"Saya informan kepercayaan Mas Dika. Dia pernah menyelamatkan nyawa saya saat misi di Kalimantan. Saya… saya minta maaf, Bu..."

Aina menegang. "Apa maksudmu?"

Informan itu menggenggam topinya erat. "Mas Dika… dia... gugur. Dalam misi terakhir. Dia dikhianati."

Seketika dunia Aina runtuh. Ia terdiam. Laila yang sedang bermain mendekat, menggenggam tangan ibunya.

"Bunda, kenapa bunda nangis?"

Air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Aina menarik Laila ke pelukannya. Nafasnya tercekat. Dunia terasa sunyi.

Berita itu datang seperti badai. Tanpa aba-aba. Tanpa peringatan.

Dika gugur dalam tugas.

Aina terduduk di lantai ruang tamu, tubuhnya gemetar tak terkendali. Foto pernikahan mereka yang tadi malam jatuh, kini terasa seperti firasat nyata. Laila memeluknya dari belakang, menangis tanpa tahu pasti apa yang terjadi.

“Bunda… kenapa ayah gak pulang?” tanyanya lirih.

Aina tak menjawab. Matanya kosong, wajahnya pucat.

Tiba-tiba…

"Aaaakhh!"

Sakit luar biasa menjalar dari perutnya. Air ketubannya pecah. Reno yang baru tiba langsung panik.

“Panggil ambulans! Aina mau melahirkan!!” teriak Reno pada pengawal pribadi.

1
aldi malin
terima kasih semoga ikutin episode berikutnya
Lalula09
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
うacacia╰︶
Aku sangat penasaran! Kapan Thor akan update lagi?
aldi malin: oke ...dintunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!