Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Nadine dan Hati yang Tak Bisa Dibohongi
Bab 23 – Nadine dan Hati yang Tak Bisa Dibohongi
Langkah kaki Nadine terdengar pelan menyusuri lorong kantor yang mulai sepi. Jam kerja hampir selesai, namun ia tetap memilih bertahan sejenak, menyibukkan diri dengan pekerjaan kecil yang tak terlalu penting. Sebenarnya, ia hanya ingin menenangkan hati yang semakin hari semakin sulit dikendalikan.
Beberapa hari ini, ada hal yang tak bisa ia abaikan—perhatian Randy. Sikapnya, tatapannya, bahkan caranya memanggil namanya terasa berbeda. Dan yang lebih mengacaukan lagi, Nadine mulai membiarkan dirinya berharap.
Ia tahu itu salah.
Ia tahu, dunia mereka berbeda. Terlalu jauh.
Ia hanya seorang cleaning service, sementara Randy adalah CEO muda yang dihormati banyak orang. Tapi… bukankah hati tidak pernah benar-benar bisa dibohongi?
Nadine berdiri di dekat jendela besar lantai atas, memandang senja yang perlahan menelan langit kota. Tangannya menggenggam kain pel, namun pikirannya entah ke mana.
“Nadine.”
Suara itu menghentikan lamunannya. Ia menoleh cepat dan mendapati Randy berdiri di ambang pintu, masih mengenakan jas kerjanya, dengan rambut sedikit berantakan karena sibuk seharian.
“Oh… Maaf, Pak. Saya belum selesai bersih-bersih di lantai ini.”
“Kamu selalu menyelesaikan lebih dari yang diminta,” balas Randy, langkahnya mendekat. “Boleh aku bicara sebentar?”
Nadine mengangguk, meski jantungnya berdetak tak karuan. Ia tidak tahu kenapa suara Randy terdengar begitu hangat malam ini.
“Kamu kelihatan lelah,” ujar Randy, duduk di kursi dekat jendela.
Nadine tersenyum samar. “Saya baik-baik saja.”
“Boleh jujur?”
Nadine menatap Randy pelan, lalu mengangguk.
“Aku sering memperhatikan kamu,” Randy mulai berbicara, suaranya rendah dan tenang. “Dan entah kenapa, setiap kali melihat kamu, ada sesuatu yang… menenangkan.”
Nadine tercekat. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi membuat dadanya terasa sesak.
“Maaf kalau aku membuat kamu tidak nyaman,” lanjut Randy, melihat ekspresi Nadine. “Aku hanya… aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ingin tahu lebih banyak tentang kamu.”
Nadine menunduk, menggenggam kain pel erat-erat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Perasaannya sudah terlalu berantakan untuk berpikir jernih.
“Pak Randy… dunia kita beda,” ucap Nadine akhirnya, pelan dan nyaris berbisik. “Saya hanya orang biasa. Saya bahkan belum selesai kuliah, hidup saya rumit… dan saya punya banyak luka yang mungkin tidak semua orang bisa terima.”
Randy tidak langsung menjawab. Ia menatap wajah Nadine lama, seolah ingin menyelami luka yang disembunyikan wanita itu.
“Kamu pikir aku hidup tanpa luka?” tanyanya lirih. “Semua orang punya luka, Nadine. Tapi bukan berarti kita tidak berhak mencintai atau dicintai.”
Kalimat itu menusuk hati Nadine dalam-dalam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Aku tidak tahu masa lalu kamu, dan aku tidak akan paksa kamu cerita,” ujar Randy. “Tapi kalau suatu hari kamu siap… aku di sini.”
Nadine menatapnya, kali ini dengan air mata yang tak bisa dibendung lagi. Ia tidak pernah membayangkan seseorang seperti Randy bisa bicara sehangat itu padanya. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan ia berharap laki-laki itu hadir lebih dari sekadar atasan.
“Saya… saya hanya takut,” bisik Nadine, suaranya pecah. “Takut semua ini hanya mimpi. Takut akhirnya saya disakiti lagi.”
Randy berdiri, lalu mendekat dan menggenggam tangan Nadine perlahan.
“Aku tidak janji bisa membuat semuanya mudah. Tapi aku bisa janji satu hal—aku nggak akan pergi hanya karena masa lalu kamu.”
Nadine menggigit bibir bawahnya, air matanya jatuh satu per satu. Ini terlalu emosional untuknya. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya setelah bertahun-tahun memendam luka, ada seseorang yang membuatnya merasa pantas untuk dicintai kembali.
Dan entah bagaimana… hatinya mulai ingin mempercayai harapan kecil itu.