Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 19
Seharusnya ini hanya bagian dari kesepakatan. Seharusnya ini hanya sekadar kewajiban. Tapi mengapa kata-kata Adrasta barusan justru membuat hati Rania mencelos dalam sekejap?
"Kamu nggak akan bisa ke mana-mana lagi, Rania..." bisik Adrasta di sela napasnya yang berat, masih membungkus tubuh Rania erat dalam dekapan pasca badai yang baru saja mereka ciptakan bersama.
Seketika kesadaran Rania mencuat tajam. la tersentak. Seolah kata-kata itu membangunkannya dari buai keterlenaan yang sempat membuatnya lupa siapa Adrasta, lelaki keras kepala yang paling ingin ia jauhi. Dengan cepat, Rania berusaha melepaskan diri. Tangannya mendorong tubuh bidang Adrasta, berusaha keluar dari cengkeraman hangat itu.
"Lepaskan aku, Adrasta..." desisnya, penuh perlawanan. Namun Adrasta hanya menatapnya dari atas, dengan sorot mata penuh keyakinan dan... bahaya.
"Untuk apa lepas?" gumam Adrasta pelan, namun terdengar begitu mendominasi. "Tubuh ini udah terlalu cocok di pelukanku, Rania."
Rania mendengus lirih, tetap berusaha memberontak. "Aku masih membencimu, Adrasta... terlepas dari semua yang baru saja terjadi. Jangan pernah berpikir ini akan mengubah apa pun." Alih-alih marah, Adrasta justru terkekeh rendah suara itu dalam dan menusuk tepat ke hati Rania.
"Kamu nggak benci aku, Rania. Kamu cuma belum mau ngaku aja." Jemarinya terulur, mengusap lembut pipi Rania yang memerah, bukan hanya karena marah... tapi karena sisa-sisa kehangatan yang baru saja mereka bagi.
"Aku nggak akan pernah luluh ataupun jatuh cinta sama kamu," tegas Rania dengan suara bergetar. Dan sekali lagi, Adrasta tersenyum kecil senyum berbahaya yang hanya dimiliki lelaki seperti dirinya. Lelaki yang tahu pasti apa yang menjadi miliknya... dan bagaimana cara membuatnya tunduk.
"Kita lihat saja..." bisik Adrasta. Tanpa memberi waktu bagi Rania untuk berkata apa-apa, Adrasta kembali menundukkan wajahnya. Bibir mungilnya kembali menyapu lembut sepanjang leher Rania, meninggalkan jejak lembut namun terasa membakar kulit.
"Adrasta- jangan..." bisikan Rania terdengar seperti lirih sia-sia, karena tubuhnya kembali melemah di bawah sentuhan penuh rasa memiliki itu.
Adrasta tak memberinya kesempatan untuk melawan. Bibirnya mencicipi habis leher jenjang itu, menelusuri setiap inci tubuh yang sempat bergetar. Jemarinya kembali menelusuri lekuk indah tubuh Rania, dengan gerakan yang terlalu sabar untuk seorang Adrasta.
Ciumannya tak berhenti hanya di leher. Adrasta kembali mengukir namanya kepemilikannya di sepanjang bahu dan pundak Rania. Lalu turun, tanpa jeda, ke puncak keelokan Rania yang selama ini hanya menjadi miliknya seorang. Saat bibir Adrasta mengulum salah satu puncak dari bukit kembar itu, Rania terlonjak kecil.
Kepalanya terangkat, matanya membelalak dalam sensasi yang merambat tanpa ampun ke seluruh syarafnya. "Adrasta..." panggilnya dengan suara putus asa, antara marah dan tak berdaya.
Adrasta menyambut panggilan itu dengan gumaman rendah di antara kecupannya, seolah menikmati cara Rania mengucapkan namanya di tengah badai rasa yang ia ciptakan sendiri. Ketika akhirnya Adrasta puas memberikan jejak-jejak tak kasat mata di tubuh Rania, ia kembali menatap dalam mata istrinya itu mata yang penuh kekerasan hati, namun kini mulai dipenuhi keremangan rasa yang bahkan Rania sendiri takut untuk mengakuinya.
"Aku udah bilang, kamu milik aku, Rania..." bisiknya, sebelum akhirnya Adrasta kembali menegaskan seluruh kebenaran kata-katanya menyatu, menghujam, menegaskan siapa dirinya dalam hidup wanita itu. Gerakan mereka menggila, berputar, hingga tubuh mereka berguling ke kanan dan kiri, seolah Adrasta tak pernah rela melepaskan Rania walau sedetik.
Ranjang besar itu pun ikut bergoyang, berderit, menjadi saksi bisu atas segala rasa, ambisi, dan rasa memiliki Adrasta terhadap satu-satunya wanita yang kini terjebak dalam dunia gelapnya. Dan di sela hiruk-pikuk rasa, ada bisikan Adrasta yang terdengar berat di telinga Rania penuh rasa ingin memiliki, penuh janji, dan penuh ancaman halus yang membuat jantung Rania berdetak lebih keras lagi.
"Kamu boleh benci aku sepuas mu, Rania... tapi satu hal yang nggak akan pernah bisa kamu ubah..." Adrasta menunduk, menatap tajam tepat ke dalam mata Rania. "Kamu... adalah milik aku. Dan aku nggak akan pernah melepaskan kamu. Sampai kapan pun."