Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sehari Bersama
Shanna mencoba satu per satu gaun yang tersedia, sementara Damian hanya duduk memperhatikan, mencari yang paling cocok untuknya.
"Itu bagus," ucap Damian akhirnya.
"Om suka yang ini?" tanya Shanna, menatapnya melalui cermin.
Damian hanya mengangguk.
"Baiklah, kita pakai yang ini," ujar Shanna mantap. "Om mau coba jas yang mana?"
"Entahlah... kamu mau pilihkan?" tawar Damian santai.
Shanna tersenyum kecil, tampak bersemangat. "Boleh!"
Ia mulai memilah beberapa setelan, mencari yang paling cocok untuk Damian. Meski berasal dari keluarga biasa, Shanna cukup berbakat dalam urusan fashion. Ia tahu bagaimana membuat seseorang terlihat menawan dengan pakaian yang tepat.
"Ini cocok buat om." Shanna menyerahkan satu set jas berwarna putih lengkap dengan celananya.
"Coba, om," pintanya dengan antusias.
Damian menerima setelan yang dipilih Shanna, lalu masuk ke ruang ganti tanpa banyak bicara.
Sementara menunggu, Shanna duduk di sofa butik, memainkan ujung gaunnya dengan gugup. Rasanya aneh melihat dirinya mencoba gaun pengantin, sesuatu yang bahkan belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Tak lama, Damian keluar. Setelan jas putih yang dipilih Shanna melekat sempurna di tubuhnya, membuatnya terlihat semakin berwibawa.
Shanna menatapnya sesaat, lalu tersenyum kecil. "Om kelihatan bagus," komentarnya jujur.
Damian menatap pantulan dirinya di cermin, lalu menoleh ke arah Shanna. "Bagus?" ulangnya, seolah memastikan.
Shanna mengangguk. "Iya, cocok banget."
Willy yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya akhirnya menoleh dan mengangguk setuju. "Gue juga setuju. Lo kelihatan lebih—apa ya—elegan, tapi tetap maskulin."
Damian hanya mendengus kecil sebelum kembali ke ruang ganti. Sementara itu, Shanna kembali memperhatikan gaunnya sendiri.
"Kalau udah yakin sama pilihan lo, kita bisa langsung kasih konfirmasi ke WO," ujar Willy.
Shanna menghela napas pelan. Semuanya terasa berjalan begitu cepat. "Iya, aku siap."
Damian keluar dari ruang ganti, kembali mengenakan pakaian asalnya. "Kalau udah beres, kita langsung lanjut ke urusan lainnya. Masih banyak yang harus disiapin."
Shanna mengangguk. Pernikahan ini benar-benar semakin nyata di depan matanya.
Setelah selesai memilih pakaian, Damian, Shanna, dan Willy melanjutkan ke tahap berikutnya—memilih desain undangan. Mereka tiba di sebuah studio desain eksklusif yang sudah bekerja sama dengan banyak keluarga terpandang di kota.
Seorang desainer menyambut mereka dan menyajikan beberapa katalog undangan dengan berbagai konsep.
“Kita perlu desain yang elegan, tapi nggak terlalu berlebihan,” ujar Damian sambil membuka salah satu katalog.
Shanna menelusuri halaman demi halaman, sedikit kewalahan dengan banyaknya pilihan. “Saya suka yang simpel tapi tetap ada sentuhan klasik,” gumamnya.
Willy menunjuk salah satu desain. “Kalau yang ini? Warna ivory dengan aksen emas, elegan tapi nggak terlalu mencolok.”
Shanna mengamati desain yang ditunjukkan Willy. Undangan itu memiliki tulisan timbul dengan font klasik dan pita kecil sebagai aksen. “Aku suka, tapi mungkin tanpa pita. Kayaknya lebih clean Kak.”
Damian mengangguk. “Setuju. Ganti pita dengan emboss sederhana di bagian tepinya.”
Desainer mencatat permintaan mereka. “Untuk isinya, apakah ingin mengikuti format formal atau ada tambahan kata-kata khusus?”
Damian menatap Shanna. “Kamu mau tambahin sesuatu?”
Shanna berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Nggak perlu yang berlebihan. Format standar aja.”
“Baik, kalau sudah fix, kami akan mulai proses cetak. Berapa banyak undangan yang dibutuhkan?”
Damian melihat daftar tamu yang sudah dibuat Willy. “Sekitar seribu eksemplar.”
Shanna hampir tersedak. “Sebanyak itu?”
“Ini bukan cuma pernikahan kita, tapi juga acara keluarga besar,” jawab Damian santai.
Shanna hanya bisa mengangguk. Pernikahan ini semakin terasa seperti sebuah peristiwa besar yang tak bisa dihindari.
Selanjutnya mereka berpindah ke sebuah hotel bintang lima yang menjadi rekanan Wiratama Group. Hari ini, mereka akan memilih venue dan menyusun menu yang akan disajikan dalam perjamuan di acara pernikahan nanti.
Damian dan Shanna memasuki ballroom hotel bintang lima yang telah menjadi rekanan Wiratama Group. Ruangan luas dengan dekorasi elegan itu sudah ditata sedemikian rupa, memberikan gambaran seperti apa perjamuan pernikahan mereka nanti.
"Kami telah menyiapkan beberapa pilihan menu untuk perjamuan," ujar manajer acara hotel, menyerahkan daftar hidangan kepada Damian. "Mulai dari sajian tradisional hingga menu internasional yang dapat disesuaikan dengan preferensi Anda."
Damian menerima daftar tersebut dan membacanya sekilas. "Saya ingin sesuatu yang elegan, tetapi tidak berlebihan. Yang terpenting, tamu merasa nyaman dan menikmati hidangannya."
Shanna turut meneliti daftar menu yang disediakan, lalu menunjuk beberapa pilihan. "Menurut saya, kombinasi menu ini cukup seimbang. Ada variasi antara hidangan lokal dan internasional, jadi dapat diterima oleh semua tamu."
Manajer acara mengangguk. "Baik, kami akan menyesuaikan sesuai dengan permintaan Anda. Bagaimana dengan pilihan hidangan penutup dan minuman?"
Damian menoleh pada Shanna. "Kamu pilih sesuai keinginan mu."
Shanna mengangguk kecil sebelum berdiskusi lebih lanjut dengan tim hotel mengenai pilihan dessert dan minuman yang paling sesuai untuk acara tersebut. Sementara itu, Damian menatap ballroom dengan ekspresi serius, memastikan setiap detail telah diperhitungkan dengan matang.
Baginya, pernikahan ini bukan sekadar acara seremonial, tetapi juga bagian dari tanggung jawabnya. Tidak boleh ada kesalahan, tidak boleh ada celah bagi spekulasi atau gosip yang dapat mencoreng nama baik keluarga.
Dalam satu hari, seluruh persiapan telah rampung. Seminggu ke depan, mereka akan kembali bertemu di tempat yang sama, namun dengan status yang berbeda—sebagai suami dan istri.
Damian melirik sekilas ke arah Shanna sebelum akhirnya berkata, "Istirahat yang cukup. Untuk sementara, jangan dulu kuliah."
Shanna mengangguk. "Iya, Om. Saya sudah mengurus izin ke kampus."
Damian kembali fokus pada kemudi, matanya lurus ke depan. "Rasanya tidak ada lagi yang perlu dibahas. Jadi selama satu minggu ini, kita tidak akan bertemu. Jika ada hal mendesak, kamu bisa menghubungi saya atau Willy."
Shanna menerima keputusan itu dengan tenang. "Baik, Om."
Mobil melaju tenang di jalanan malam yang mulai lengang. Hari yang panjang telah menguras tenaga mereka, dan Damian tidak ingin memperpanjang waktu di luar yang tidak perlu. Ketika mobil akhirnya berhenti di depan rumah keluarga Shanna, ia menoleh sekilas.
"Saya pamit. Malam ini saya tidak bisa mampir, tapi sampaikan salam saya pada Ayah dan Ibu," ucapnya dengan nada formal.
Shanna menatap pria itu sejenak. Ada sesuatu dalam sikapnya—bukan hanya kehormatan, tetapi juga batasan yang tegas. Damian bukan sekadar pria kaya, tapi seseorang yang sangat menjunjung tata krama dan etika.
Shanna mengangguk kecil sebelum turun dari mobil. "Terima kasih, Om. Hati-hati di jalan."
Tanpa banyak kata lagi, Damian kembali menginjak pedal gas, meninggalkan rumah itu dalam kesunyian malam.
Dengan napas pelan, Shanna melangkah masuk ke dalam rumah. Malam ini, ia ingin tidur nyenyak, sebab dalam seminggu ke depan, hidupnya akan berubah selamanya.