Alrazi adalah seorang suami yang hanya memiliki pekerjaan sebagai tukang ojol, saat ia kembali ke rumah, ia semua bajunya sudah ada di teras rumah. Dan istrinya mengaku telah berhubungan dengan mantan pacarnya yang kaya.
Ia di usir dari rumah, dan motornya di ambil, akhirnya ia pun pergi dari rumah tersebut. Tak sengaja ia menendang sebuah kotak misterius, yang ternyata ada sistem.
Dengan adanya sistem, hidupnya berubah total menjadi lebih baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
"Mas, tolong jatuhkan talak 3 padaku, setelah ini kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jika nanti kita berpapasan, anggap saja kita tidak saling kenal. Aku tak mau gara-gara kamu, rumah tanggaku hancur bersama calon suamiku. Capek banget hidup susah denganmu," kata Sarah dengan nada dingin, menusuk hati Alrazi seperti ribuan jarum.
Alrazi merasakan dunianya runtuh. Kata-kata Sarah bagaikan palu godam yang menghancurkan setiap harapan yang masih tersisa di hatinya. Mata Alrazi berkaca-kaca, air mata mulai menggenang, siap tumpah membasahi pipinya. Dengan susah payah, ia mengangkat kepalanya, mencoba menahan gejolak emosi yang bergemuruh di dadanya.
"Aku... aku talak engkau... dengan talak 1, 2, dan 3. Kita... tak punya hubungan lagi," ucap Alrazi dengan suara parau, tercekat oleh isak tangis yang tak tertahankan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti mengoyak jantungnya.
Bu Marni, ibu Sarah, yang sedari tadi berdiri di samping putrinya, menyunggingkan senyum sinis. "Bagus, kau bisa pergi sekarang. Jangan pernah muncul lagi di hadapan kami," ujarnya dengan nada merendahkan.
Alrazi hanya bisa terdiam, menunduk lesu.
Suasana tegang di depan rumah Sarah tiba-tiba terusik oleh deru mesin mobil mewah yang berhenti tepat di depan gerbang. Seorang pria tampan dengan setelan jas mahal dan kacamata hitam keluar dari mobil. Dia adalah Ardo, mantan kekasih Sarah semasa SMA yang baru saja kembali dari luar negeri. Ardo tidak tahu menahu tentang pernikahan Sarah dengan Alrazi.
Ardo melangkah dengan percaya diri menuju rumah Sarah. Matanya menangkap pemandangan yang membuatnya mengerutkan kening. Alrazi, dengan wajah penuh air mata, berlutut di depan Sarah.
"Ada apa ini, sayang?" tanya Ardo dengan nada bingung, menatap Alrazi dengan tatapan menyelidik.
Sarah, yang terkejut dengan kedatangan Ardo, berusaha menutupi kegugupannya. Ia menggenggam erat tangan Ardo dan tersenyum paksa. "Oh, dia ini... sopir pribadiku. Dia ketahuan mencuri, makanya aku pecat," jawab Sarah dengan nada merendahkan.
Alrazi, yang mendengar perkataan Sarah, semakin terisak. Ia tidak menyangka wanita yang dicintainya tega berbohong dan mempermalukannya di depan orang lain.
Ia merasa seperti sampah yang tak berguna, diinjak-injak dan dibuang begitu saja. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah gontai meninggalkan rumah yang pernah menjadi saksi bisu cinta dan harapannya.
Alrazi berbalik badan, saat ia ingin membawa motornya, Bu Marni langsung menyergahnya.
"Kalau kau berani membawa motor itu, berurusan kita di kantor polisi! Itu adalah motorku! Dan atas namaku!" kata Bu Marni membuat ia tersentak.
Motor ini memang di kredit atas nama ibu mertuanya, tapi tiap bulan dia yang bayar, jika ia mengambilnya, Otomatis ia akan di anggap pencuri.
Mau tak mau, Alrazi meninggalkan sepeda motor yang telah lama menemani ia dalam mencari nafkah.
Rasanya tidak rela meninggalkan sepeda motor itu yang telah menjadi saksi bisu perjalanannya.
Langkah Alrazi membawanya menyusuri jalanan kota yang ramai. Namun, di tengah hiruk pikuk kehidupan, ia merasa sendirian, terasing, dan hampa. Kenangan tentang Sarah terus menghantuinya. Wajahnya, senyumnya, tawanya, semua berputar-putar di benaknya, menambah perih luka di hatinya.
Alrazi teringat saat pertama kali bertemu Sarah. Kala itu, ia adalah seorang pemuda sederhana yang bekerja sebagai buruh perusahaan. Sarah, seorang gadis cantik dan ceria dari keluarga berada, mampu melihat ketulusan hatinya. Mereka jatuh cinta, menikah, dan membangun rumah tangga sederhana namun bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Krisis ekonomi melanda, Alrazi di pecat, dan ia kehilangan pekerjaannya. Sejak saat itu, hidup mereka mulai diliputi kesulitan. Sarah mulai berubah, sering marah-marah dan menyalahkan Alrazi atas kemiskinan mereka.
Ia sungguh tak menyangka jika Sarah bertemu dengan seorang mantannya yàng menjadi pengusaha kaya yang menawarkan kehidupan mewah.Tanpa ragu, Sarah meninggalkan Alrazi dan memilih pria lain.
Hujan tiba-tiba mengguyur kota, memaksa Alrazi mencari tempat berteduh. Ia berlari menuju jembatan terdekat, berharap bisa berlindung dari derasnya air yang jatuh dari langit. Di bawah jembatan, ia menemukan beberapa kardus bekas yang berserakan. Dengan sigap, ia mengambilnya dan merapikannya, menciptakan alas tidur seadanya.
Alrazi merebahkan tubuhnya di atas kardus, menggunakan tas lusuhnya sebagai bantal. Di dalam tas itu hanya ada beberapa potong pakaian yang sudah usang. Ia tidak punya tempat untuk pulang. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia, dan rumah peninggalan mereka di desa telah ia jual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sekarang, ia benar-benar tidak punya apa-apa.
Tiba-tiba, perut Alrazi berbunyi, memecah kesunyian malam. "Ah, perutku lapar sekali," gumamnya dengan nada lemah.
Perutnya terasa sangat perih, seolah-olah ada yang meremasnya dari dalam. Ia juga merasa sangat haus. Uang lima ribu rupiah yang tadi ia miliki telah habis untuk membeli minuman. Sekarang, sepeser pun ia tidak punya uang.
Alrazi menatap sungai yang mengalir di bawah jembatan. Airnya tampak keruh dan kotor. Ia tahu bahwa air itu tidak bersih dan bisa menyebabkan penyakit. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia sangat haus, dan tidak ada sumber air lain di sekitarnya.
Dengan ragu-ragu, Alrazi mendekati sungai dan menangkupkan tangannya. Ia meminum air sungai itu dengan hati-hati, mencoba menahan rasa jijik yang menyeruak di dadanya.
Setelah minum air sungai, Alrazi merasa sedikit lebih baik. Rasa hausnya sudah hilang, meskipun perutnya masih terasa lapar. Ia mencoba memejamkan mata, berharap bisa tertidur dan melupakan rasa laparnya.
Rasa lapar terus menggerogoti perut Alrazi. Ia tidak bisa tidur nyenyak. Ia berbaring dan berguling-guling di atas kardus, namun rasa lapar itu tidak kunjung hilang. Akhirnya, ia menyerah dan memutuskan untuk duduk.
Ia memeluk lututnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Di tengah rasa sakitnya, matanya menangkap sesuatu yang aneh di sungai.
"Benda apa itu?" gumam Alrazi penasaran.
Dengan memegangi perutnya yang keroncongan, Alrazi berjalan berjongkok menuju tepi sungai. Ia berusaha melihat lebih jelas benda yang hanyut itu. Ternyata, benda itu tampak bercahaya, memancarkan sinar redup di tengah kegelapan malam.
Alrazi semakin penasaran. Ia ingin tahu apa sebenarnya benda itu. Ia mencoba meraihnya dengan tangannya, namun benda itu malah tersangkut di antara bebatuan.
Tanpa menyerah, Alrazi mencari sebatang kayu di sekitar sungai. Ia menggunakan kayu itu untuk mengais benda bercahaya itu, berusaha melepaskannya dari bebatuan.
Setelah beberapa saat berjuang, akhirnya Alrazi berhasil mendapatkan benda itu. Ia mengangkatnya dengan hati-hati, menatapnya dengan tatapan tak percaya.
"Apa ini? Kenapa benda ini bersinar?" tanya Alrazi dengan nada bingung, masih terus memegangi perutnya yang sakit.
Benda itu ternyata sebuah batu kristal berukuran sedang. Batu itu tampak bening dan berkilauan, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan. Alrazi tidak pernah melihat batu seperti itu sebelumnya.
Ia mencoba membersihkan batu itu dari lumpur dan kotoran yang menempel. Semakin bersih batu itu, semakin terang pula cahayanya. Alrazi merasa ada sesuatu yang istimewa pada batu itu.
Tiba-tiba, Alrazi merasakan sesuatu yang aneh. Perutnya yang tadi terasa sangat sakit, kini mulai mereda. Rasa laparnya pun perlahan-lahan menghilang. Ia merasa tubuhnya menjadi lebih segar dan berenergi.
"Eh, ada apa ini?" tanya Alrazi kebingungan
why bekas bininya pun dikerjakan
kenapa tak direjek saja
lanjut up lagi thor