Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nebeng Tapi Julit
Keesokan harinya. Pagi itu cerah, dengan sinar matahari yang memantul di aspal basah sisa hujan semalam.
Mobil sport Reno sudah menunggunya di depan gerbang mansion Ramon.
Zian keluar, terlihat sedikit lebih ceria dari kemarin, tapi matanya masih menyimpan rasa kantuk dan kelelahan.
Di sampingnya, hantu Lilis dengan gaun putih yang kini terlihat lebih bersih, wajah cantik namun muram, senantiasa di sisinya, seperti biasa.
Tiba-tiba, dari arah berlawanan datang Clarissa dengan riasan yang menutupi mata bengkaknya berjalan cepat.
Ekspresinya tenang, tapi tatapan matanya keras dan dingin. Dia membawa tas tangan besar.
Clarissa berhenti di depan Zian.
"Zian. Mau berangkat sekolah?"
"Kak Clarissa? Iya. Kenapa? Aku turut prihatin soal Pak Dimitri."
Clarissa menahan diri, senyum tipis, namun matanya memancarkan rasa benci yang tertuju pada satu titik di samping Zian.
"Terima kasih, Zian. Papa masih koma. Tapi aku harus optimis dia akan baik-baik saja."
Clarissa melangkah maju, tangannya meraih lengan Zian seolah hendak mengatakan sesuatu yang sangat rahasia.
"Boleh aku minta tolong? Aku mau sekalian ke rumah sakit. Aku butuh tumpangan. Jauh sekali kalau naik taksi dari sini."
Zian tampak ragu.
"Tapi... ini sudah hampir telat. Sekolah aku takut arahnya berlawanan."
"Tolonglah. Hanya diantar sampai ke sana. Aku janji tidak akan menghabiskan banyak waktu. Aku harus sampai di sana sebelum jam 9. Ini mendesak."
Clarissa menatap intens ke arah Zian. Di saat yang sama, tatapan matanya menyiratkan kemarahan pada Hantu Lilis/Alice yang berdiri tepat di samping Zian. Clarissa melihat hantu Lilis/Alice ada di sana.
Hantu Lilis tersenyum tipis, dingin, dan puas, seolah menantang Clarissa.
"Apa yang mau kamu lakukan, Clarissa?"
Clarissa menarik napas tajam, mengabaikan hantu itu.
"Kumohon. Aku harus segera mencari tahu sesuatu. Ini demi kebaikan kita semua."
Zian menyerah.
"Baiklah, Kak."
"Terima kasih, Zian."
Clarissa segera melangkah ke arah mobil. Zian membukakan pintu untuknya, dan dia duduk di kursi depan.
Zian menoleh ke samping.
"Kak Lilis, kamu tidak apa-apa kita bareng Kak Clarissa?"
Hantu Lilis hanya tersenyum simpul, matanya masih tertuju pada Clarissa.
"Aku akan mengikutinya. Aku ingin melihat sejauh mana dia bisa melangkah." batin Lilis.
Zian masuk ke kursi belakang.
"Kak Lilis, tolong antarkan Kak Clarissa ke rumah sakit. Setelah itu, baru ke sekolah."
"Oke." jawab Lilis.
Mobil melaju, meninggalkan mansion. Clarissa duduk tegak, tangannya memegang tas erat-erat. Sesekali ia melirik ke samping, mencoba melihat hantu Lilis yang sedang fokus menyetir mobil dengan wajah dingin.
Seseorang melihat mobil itu melaju tanpa sopir. Dia histeris. Seorang pria di pinggir jalan.
"Mo, mobil setaaaan!" teriak pria itu membuat kehebohan.
"Zian, aku mau tanya sesuatu. Tapi kamu harus jujur." tanya Clarissa.
"Ya, Kak?"
"Soal rekaman di kamar kakak kamu."
Zian menegang. Ekspresi Lilis menjadi lebih waspada.
"Rekaman... apa?"
"Jangan pura-pura tidak tahu. Aku yakin kamu yang memasang kamera itu atau paling tidak, kamu yang tahu siapa yang memasangnya. Sosok yang terekam... dia yang melakukannya pada Papaku, Zian."
Zian terdiam. Dia melirik ke arah hantu Lilis. Lilis menatapnya dengan pandangan mengancam.
"Aku tidak peduli kamu percaya atau tidak. Kamu lihat apa yang dia lakukan pada Papaku. Sekarang katakan, siapa yang memasang kamera itu?"
"Aku... aku tidak tahu."
"Jangan bohong, Zian! Aku tahu itu hantu Lilis yang ada di rekaman itu! Dia mencoba membunuh Papaku! Dia harus berhenti! Kamu tahu itu!"
"Cukup, Kak! Pak Dimitri terpeleset! Itu kata polisi! Kenapa Kakak terus menyalahkan Kak Lilis?"
Zian menatap Clarissa dengan mata memerah. Clarissa terkejut dengan pembelaan Zian.
"Kamu... Kamu melindunginya?"
"Dia... bukan hantu seperti yang Kakak pikirkan!"
"Dia merusak hidup semua orang, Zian! Apa yang kamu lihat darinya?! Obsesi hantu pengantin itu sudah membuatnya jadi pembunuh!"
"Dia tidak membunuh siapa-siapa!"
Clarissa memejamkan mata sejenak, menahan amarah yang membakar.
"Baiklah. Aku tidak akan memaksamu. Tapi kamu akan menyesal jika terus melindunginya."
Mobil tiba di depan rumah sakit.
"Terima kasih tumpangannya. Semoga harimu menyenangkan di sekolah."
Clarissa turun dari mobil tanpa menunggu jawaban Zian. Zian hanya menatap Clarissa yang kini berjalan cepat ke arah pintu masuk rumah sakit.
Zian menghela napas panjang.
Mobil sport itu melaju menjauhi gerbang rumah sakit. Di kursi belakang, Zian menyandarkan kepala, kelelahan mental setelah konfrontasi singkat dengan Clarissa.
Gedung rumah sakit modern dan tinggi. Suara ambulans samar-samar terdengar.
Koridor sepi dengan lantai marmer mengkilap. Clarissa berjalan cepat, langkah kakinya berdetak keras di lantai. Ia berhenti di depan sebuah pintu kayu mewah.
Clarissa menarik napas dalam, merapikan sedikit pakaiannya, lalu membuka pintu.
Kamar rawat VVIP yang luas, didominasi warna putih steril. Tirai jendela tipis membiarkan cahaya pagi masuk, menerangi sosok Dimitri yang terbaring kaku di ranjang rumah sakit.
Wajahnya pucat, mata tertutup, dihubungkan dengan berbagai selang dan mesin monitor yang berdetak pelan dan konstan. Suara BIP mesin EKG mengisi keheningan.
Clarissa berdiri di samping ranjang. Ia meletakkan tas tangannya di lantai dengan lembut, lalu meraih tangan Dimitri.
Clarissa berbisik, suaranya tercekat.
"Papa…"
Ia menunduk, mencium tangan ayahnya. Matanya yang sembap kini dipenuhi air mata yang ditahan.
Clarissa melanjutkan, lebih tenang, tapi dengan nada baja.
"Mereka bilang, Papa terpeleset. Aku tahu itu bohong. Aku sudah melihatnya, Pa. Aku sudah melihat dia. Hantu itu… Lilis. Dia melakukannya."
Clarissa mendongak, matanya menatap tajam ke langit-langit seolah bisa melihat Lilis di sana.
Clarissa terkekeh getir.
"Dia bahkan berani menatapku dengan senyumnya yang menjijikkan pagi ini. Dia menantangku. Dia pikir dia bisa lolos setelah merusak hidup kita dan sekarang mencoba membunuh Papa."
Ia menarik tangannya dari Dimitri, lalu membalikkan badan, berjalan ke jendela, dan menatap ke luar. Jalanan kota terlihat sibuk di bawah.
Clarissa bergumam, lebih kepada diri sendiri.
"Zian melindunginya. Reno menyembunyikannya. Mereka semua buta. Mereka tidak melihat apa yang kulihat."
Clarissa berbalik, kembali menatap Pak Dimitri. Tekad membara di matanya.
Clarissa berjalan ke tasnya, membukanya. Di dalamnya, terlihat sebuah kertas bertuliskan alamat rumah seorang indigo muda ternama.
Clarissa menggenggam kertas itu erat-erat.
"Aku akan tahu dari mana datangnya kekuatannya. Pengantin yang dibunuh… Kebencian yang tidak terurai."
Ia menoleh ke arah Dimitri, suaranya meninggi, dipenuhi amarah yang dingin.
"Mereka bilang hantu tidak bisa dilukai. Mereka bilang hantu tidak bisa mati dua kali. Tapi mereka salah. Ada cara. Ada tempat yang bisa melenyapkan mereka."
Clarissa mendekatkan wajahnya ke Dimitri, berbicara dengan suara rendah yang penuh sumpah.
Clarissa sambil memegang tangan Dimitri.
"Aku bersumpah, Pa. Aku akan memastikan Lilis dikirim ke tempat yang paling pantas dia dapatkan. Aku akan mengirimnya ke neraka."
Bersambung