Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
"Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu memulihkan ingatanmu, Tante?" tanya Theo di meja bar itu.
Mira menoleh ke sekitar, memastikan tidak ada orang lain selain mereka di ruangan ini. Wanita itu lantas membuka gawainya, lalu berbicara sambil berbisik.
"Kemarin waktu googling, aku gak sengaja melihat browser history di handphone- ku. Coba perhatikan."
Theo mengambil alih gawai Mira. Pria itu justru mengerutkan kening.
"Cara Bermain Golf, Kebiasaan Kaum Sosialita, Cara Bicara Orang Kaya, Mengapa Orang Kaya Itu Sulit Dimengerti--"
"Bukan yang terbaru!" Mira segera menggeser layar gawainya ke bawah. "Fokus saja ke waktu sebelum aku hilang ingatan. Yang ini. Perhatikan, Mira Mahalia ehm maksudnya aku, seperti sedang mencari tahu seluk beluk restoran ini."
"Right On You Restaurant. Sepertinya aku tidak asing dengan tempat itu."
"Wajar, restoran itu viral beberapa tahun terakhir ini."
Theo menggeleng, "Aku tidak tinggal di Indonesia, jadi aku tidak tahu yang sedang viral."
"Oh iya."
"Sepertinya dulu Kakek Roy pernah membawaku ke sana waktu aku masih kecil."
Mira menjentikkan jari, "Nah! Apa kubilang? Mira mencari tahu tentang restoran itu, pasti ada hubungannya dengan rencana kita."
"Jadi kita ke sana?"
"Berdua saja?"
"Ya masak mau bawa seisi rumah ini. Mau studytour?"
"M-maksudku, aku takut orang-orang berpikir yang tidak-tidak jika kita pergi ke sana hanya berdua."
Theo tergelak. "Tante, aku masih terlalu muda, sementara kamu sudah tua. Tidak ada yang akan berpikir kita punya hubungan seperti itu."
"Enak saja! Aku belum setua itu! Kita hanya selisih delapan tahun, bukan delapan belas tahun!"
"Oke. Kita akan bawa pengawal masing-masing. Cukup?"
Mira mengangguk setuju.
***
Setelah perjalanan sekitar satu setengah jam, tibalah mereka di sebuah restoran di pinggir kota yang bernama Right On You itu.
Rey memarkirkan mobil di area parkir yang sudah dipadati mobil pengunjung.
Tak lama, Ida keluar terlebih dulu untuk membukakan pintu Mira.
Mira dan Theo saling tatap, lantas mengangguk. Keduanya berjalan menembus antrian pengunjung hingga mendapat tatapan sinis dari beberapa orang di sana.
"Maaf Tuan, Nyonya, silahkan mengantri dengan tertib di deretan paling belakang ya," seru seorang karyawan resto.
"Saya ke sini mau bertemu dengan pemilik restoran," ucap Theo, yang disusul anggukan kepala Mira.
"Apa sudah buat janji sebelumnya?"
"Belum."
"Mohon maaf Tuan dan Nyonya, jika ingin bertemu Tuan Nick bisa membuat janji terlebih dulu. Tuan Nick jarang datang kemari. Beliau sering ke luar negeri. Sekarang saja, Tuan sedang berada di Roma."
"Boleh saya minta nomer telepon Tuan Nick?"
"Maaf, belum bisa, Nyonya."
"Begini saja. Kami titip catatan kecil. Kalau Tuan Nick datang, bisakah disampaikan pada beliau? Saya adalah cucu dari teman baik Tuan Nick."
"Bisa, Tuan. Nanti akan saya sampaikan."
Nah, begini baru cocok disebut jenius, batin Mira.
***
Theo bilang, kawasan di sekitar restoran tepi pantai ini memiliki kenangan masa kecilnya dengan sang kakek. Ia bersama Rey memutuskan untuk berkeliling sebentar sebelum kembali pulang.
Di sisi lain, Mira lebih tertarik berwisata kuliner di sini. Sebenarnya ia ingin mencicipi makanan di restoran tadi. Namun karena tak kuat dengan antrian pengunjung, Mira memilih makan di warung kaki lima yang terletak di pinggiran pantai.
Tak butuh waktu lama, warung yang tidak memiliki banyak pengunjung itu, sudah menyajikan beberapa menu masakan yang dipesan Mira.
Ada udang asam manis, gurami goreng dengan sambal bawang, dan kerang saos padang.
Mira mengamati satu per satu sambil menelan ludah.
"Mbak Ida kenapa hanya berdiri di situ? Duduk sini, kita makan bersama."
"Tidak, Nyonya. Saya tidak akan makan saat sedang bekerja." Ida tetap berdiri tegak di sudut warung.
"Aku sudah terlanjur memesan banyak. Gak mungkin aku habiskan sendiri."
"Tidak harus dihabiskan juga, Nyonya."
Tapi ini belinya pakai duit! Masak sisanya dibuang begitu saja?
Mira lalu mengetik pesan untuk Theo. Ia meminta Theo segera datang untuk membantu menghabiskan makanannya.
Wanita itu mulai menikmati satu per satu hidangan yang tersaji. Seperti biasa, tubuh Mira Mahalia yang kurus tidak bisa menghalangi nafsu makan seorang Mira Dania.
Sesekali Mira menoleh ke arah Ida. Barangkali, Ida berubah pikiran mau makan bersamanya. Namun Ida selalu sedingin itu. Jangankan tergoda, melirik sedikit saja, tidak.
Belum juga selesai makan, Mira merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Wanita itu meneguk es teh, lantas mulai memegangi bagian dadanya.
Semakin lama, ia merasakan sensasi panas seperti terbakar hingga membuat Mira kesulitan bernapas.
"Tante!"
Theo yang baru saja tiba, segera berlari menghambur ke arah Mira.
Wanita itu mulai tak sanggup mengontrol tubuh hingga nyaris terjatuh dari kursi. Untung saja Theo sigap menangkapnya.
"Kamu kenapa, Tante?"
Belum sempat Mira menyahut, tenaganya terasa makin terkuras. Mira merasa begitu lemah hingga pandangannya menghitam. Gelap gulita.
"Tante! Bangun, Tante!"
Dengan panik, Theo mengguncang tubuh Mira. Namun tak ada jawaban. Wanita itu kehilangan kesadaran.
***