Peraturan aneh yang ada di kampung halaman mendiang ibunya, membuat Maya dan Dika harus mengungkapnya.
Mereka seakan diminta oleh para tak kasat mata itu untuk membuka tabir kebenaran, akan adanya peraturan tak boleh keluar masuk desa saat hari mulai gelap.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kisah pasutri ini saat mendapat gangguan para tak kasat mata?
Baca secara runtun tanpa lompat bab agar dapat memahami dengan baik ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Hingga pagi ini, hanya asap yang masih tersisa. Rumah Pak Kades kini hanya tinggal puing-puing sisa pondasi bangunan. Tapi, tak ditemukan sosok mayat Pak Kades dan istrinya, juga pembantunya dan beberapa anak buah yang semalam sempat di berada di sana.
Warga berpendapat, tubuh mereka sudah hancur menjadi abu.
Dika yang merasa mengetahui banyak hal, mengambil alih desa dan mengumpulkan warga untuk memberikan penjelasan pada mereka, ada apa sebenarnya.
“Jadi, Bapak-bapak, Ibu-ibu, mulai saat ini, tidak ada lagi aturan yang melarang warga beraktivitas saat malam hari. Jadi, yang dulunya berjualan makanan di malam hari, bisa melakukannya kembali. Kita bisa hidup normal kembali sekarang, tanpa aturan aneh termasuk menggantung kalung bawah di pintu,” tutur Dika.
Dika juga menceritakan tentang Roni yang selama ini memang tak pernah ditangkap, seperti apa yang pernah disampaikan Bu Siti. Bahwa itu semua hanya akal-akalan Pak Kades agar pesugihannya selama ini tak ketahuan. Padahal, keluarga Pak Slamet memang sengaja ditumbalkan, melalui Roni. Tak hanya itu, Dika juga membeberkan apa yang dijelaskan Pak Bahar kala itu, semuanya tanpa ada yang terlewat. Tujuannya, agar warga tak lagi bisa dibodohi oleh kelicikan Pak Kades dan keluarganya.
“Mulai sekarang, hidup lah seperti manusia pada umumnya, mencari nafkah yang halal, dan tetap berdoa dan sembahyang pada Yang Maha Kuasa, agar selalu dilindungi. Bapak dan Ibu di sini bisa kembali bertani, berkebun, dan berdagang seperti semula. Jadikan kisah Pak Kades ini sebagai pelajaran yang tidak untuk ditiru,” lanjut Dika, kemudian mengizinkan warga untuk kembali ke rumah masing-masing.
Maya lalu mendekati suaminya, dengan mimik cemas dan takut. “Mas, kalau seandainya Pak Kades masih hidup dan ternyata hanya melarikan diri bagaimana? Bisa jadi dia hanya sembunyi. Setelah tahu kamu yang melakukan semua ini, aku takut dia akan melukaimu.”
Menenangkan sang istri, Dika tak peduli apakah Pak Kades masih hidup atau tidak, karena baginya ia sudah terlepas dari semua ini.
Hingga kemudian, tiba-tiba Maya merasakan kontraksi yang luar biasa. Mengerang kesakitan, Maya yakin kalau sepertinya ia akan melahirkan, karena calon bayi mereka seakan sudah siap keluar. “Mas, sakit sekali, aku sudah tidak kuat.”
Dika yang panik, buru-buru memanggil tetangganya untuk menanyakan di mana puskesmas atau klinik bidan terdekat.
Syukurnya, tetangga sebelah rumah mereka baik, mau meminjamkan motornya pada Dika untuk membawa Maya ke puskesmas, yang terletak di luar desa ini, meski sedikit agak jauh.
Tanpa pikir panjang, Dika dan salah seorang tetangga perempuan, mengapit Maya di tengah. Dika melajukan motornya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai. Sedangkan Maya terus menghela nafas menahan rasa sakitnya.
10 menit kemudian, Dika sampai di puskesmas. Memang tak ada dokter di sana, hanya ada bidan. Tapi syukurnya, Maya segera ditangani di ruangan bersalin.
Hanya menunggu 10 menit, terdengar suara tangis bayi yang memecah kecemasan Dika di luar ruangan.
“Alhamdulillah,” ujarnya penuh syukur.
Perawat yang membantu bidan, kemudian keluar ruangan dengan membawa bayi yang masih merah itu, untuk dibersihkan.
Dika pun dipersilakan untuk masuk menemui sang istri.
“Selamat ya, Pak, anaknya laki-laki. Persalinannya lancar, tanpa robekan, dan tanpa jahitan,” ujar bidan dengan tersenyum.
Maya pun bernafas lega dan tak henti mengucap syukur telah mampu melahirkan seorang bayi tampan, setelah apa yang ia lewati selama ini untuk mempertahankannya.
Air matanya pun menetes haru, kala mengingat betapa baiknya Gusti Allah masih mengizinkan dirinya menjadi seorang ibu, setelah berkali-kali janinnya itu dicoba direbut makhluk lain.
***
Malam ini, Maya sudah sampai rumah, setelah baru saja ia diizinkan pulang.
Suasana malam di kampung ini seakan tetap begitu mencekik, karena tak ada lalu lalang warga yang keluar rumah. Seperti malam-malam biasanya, hening. Cuek, Dika hanya fokus pada bayi pertamanya itu.
Syukurnya juga, ASI Maya begitu lancar, hingga Kama, nama anak pertama mereka tak kelaparan.
Anehnya, saat dibawa pulang, Kama terus menangis tak mau berhenti, diberi ASI pun tak mau. Sepertinya ia memang tidak sedang kelaparan atau kehausan. Padahal saat di puskesmas tadi, Kama begitu anteng, tak rewel sama sekali.
“Kenapa ya, Mas?” tanya Maya cemas.
Dika yang tak tahu, hanya bisa membisikkan kalimat dzikir di telinga anaknya.
Setelah itu, ia pun menghubungi sang ibu untuk memberitahukan kelahiran Kama, sekaligus menanyakan apa yang harus mereka lakukan karena sedari tadi Kama terus menangis dan melihat ke atas.
“Le, bayi dan anak-anak itu adalah makhluk yang belum punya dosa, sehingga mereka bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat. Bisikkan adzan di telinganya, dan bacakan surah-surah pendek. Lalu, katakan pada Ummu Sibyan, jin yang suka mengganggu bayi dan anak-anak agar mereka pergi dari rumahmu dan tak mengganggu lagi,” tutur sang ibu.
Setelah telepon ditutup, Dika mempraktikkan apa yang ibunya perintahkan.
“Wahai Ummu Sibyan! Pergi lah kau dari rumahku dan jangan ganggu anakku!” tukas Dika, setelah melafalkan adzan dan doa-doa di telinga Kama.
Seketika, bayinya berhenti menangis.
***
Pagi ini, Dika mendapat kabar dari kantornya terkait berita penyerahan diri Dio akibat penggelapan yang dilakukan temannya itu. Ia yang tak terbukti bersalah, diminta untuk kembali ke kantor. Mengaku masih memikirkannya, Dika ingin berdiskusi dengan sang istri.
Setelah itu, tak lama Dio menghubunginya.
“Dik, aku benar-benar minta maaf telah memakai namamu untuk pelanggaran yang aku lakukan. Aku pikir, setelah aku membantumu, hidupku akan tenang. Tapi, ternyata hantu-hantu itu tetap terus menerorku sampai aku menyerahkan diriku. Aku memang harus mempertanggungjawabkan kesalahanku. Sekali lagi, aku minta maaf, Dik,” ucap Dio penuh penyesalan.
Merasa penasaran dengan hantu seperti apa yang selama ini meneror temannya itu, Dika menanyakannya.
“Aku tidak tahu, yang jelas mereka berempat, sepertinya mereka 1 keluarga. 1 ayah 1 ibu, dan 2 anak perempuannya,” jawab Dio membuat Dika tercengang.
...****************...
author nya keren banget bisa bikin cerita dengan alur perpindahan yg mulus dan gak bertele-tele, semua penggambarannya tentang situasi dan kondisi terasa nyata karena dijabarkan dg jelas yang bisa ngebuat kita ikutan merinding..
singkatnya, kamu keren tor!! ditunggu kisah lainnya dari kamu
teruslsh berkarya 👍👍
Karyanya kereen sat set gak bertele2, i like it 💯👍❤
Ditggu karya laemya ka
Thanks 🙏