NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memastikan

Bukan Ida namanya kalau penampilannya tidak glamor dan berkilauan. Ditemani beberapa kenalan lama, Ida sukses menghidupkan suasana dalam salah satu ruang VIP sebuah klub malam. Di sanalah Ida dan teman-temannya mengubah malam tenang di Yogyakarta menjadi malam yang berisik. Hingar bingar musik kesukaan mereka mengiringi setiap tegukan minuman yang harganya cukup sengit di kelas alkohol 30%. Itu kadar terendah bagi Ida, mengingat ia sudah terbiasa menenggak yang berlipat kadarnya. Ibarat minum air putih, tak kurang dari empat botol minuman 300 ml ia habiskan sendiri.

Pukul sepuluh malam terus beranjak ke dua belas. Hari berganti. Namun semangat Ida untuk terus berjingkrak belum ingin mati. Kalau saja temannya tidak kelewat mabuk dan muntah parah, mungkin Ida masih akan terus di sana hingga pagi. Terpaksalah kesenangan Ida berhenti. Alhasil dirinya memutuskan menyudahi kesenangannya lalu pulang ke hotel lagi.

Lewat pukul satu pagi Ida kembali menjejakkan kaki di lobi. Tidak, Ida sama sekali tidak mabuk. Tubuhnya memiliki toleransi yang cukup baik terhadap alkohol. Mungkin karena belasan tahun ini Ida dan alkohol menjalin persahabatan yang erat. Hampir tidak pernah Ida mabuk berat gara-gara minuman keras itu.

Meski demikian rasa lelah menggelayuti setiap bagian tubuh Ida. Dengan susah payah Ida menahan diri untuk tidak menguap sepanjang jalan menuju depan pintu kamarnya. Menguap sambil berjalan, apalagi sampai dilihat orang, adalah aib bagi Ida. Bagaimana pun baginya penampilan adalah hal yang utama.

"Akhirnya... sampai juga di hotel. Bisa rebahan." Ida menghempaskan diri, bertelentang di atas tempat tidurnya. Penat. Lalu menggeliat. "Ahh. Makan enak, udah. Jalan-jalan, udah. Tinggal mandi terus tidur." Kantuk kembali menguasainya. Ida pun menguap lebar untuk kedua kalinya. "Hmmh. Pikiranku kok terus kembali ke foto itu, ya? Aneh. Masa, sih, di dunia ini ada orang yang mirip bahkan sampai namanya saja sama? Hanya kebetulan atau... Ah, nggak bisa begini caranya. Aku harus memastikan."

Tangan Ida meraih ponselnya yang ikut terbaring di kasur, persis di bawah bantal. Tanpa ragu ia mencari sebuah nama di barisan nomor kontak. Gunung. Lalu dipilihnya nama itu untuk ditelepon. Begitu besar rasa ingin tahunya hingga Ida lupa, ia melakukan panggilan telepon dini hari. Siapa yang mau mengangkat teleponnya pada jam satu pagi?

Nada tunggu terus bertahan hingga panggilan terputus. Tapi Ida tidak perduli. Ia harus mendapatkan jawaban atas pertanyaan dan kegelisahan yang. Maka panggilan itu ia ulangi. Terus hingga tiga kali. Sampai akhirnya... .

[Ya, halo?]

Suara serak parau penuh kantuk terdengar dari ujung panggilan.

"Halo, Mas Gunung?"

Namun tidak ada tanggapan dari penerima telepon. "Mas?" Ida menyapa lagi.

[Ini siapa, ya? Ada apa menelepon jam segini?]

Sudut bibir Ida terangkat. Ia cukup cerdas menangkap bahwa penerima telepon tidak menyimpan nomornya. Padahal pada hari kedatangannya ke kota ini beberapa hari yang lalu Ida sudah menelepon ke nomor yang sama. Ya ke nomor yang sekarang ini. Tapi rupanya nomornya tak dianggap penting oleh penerima.

"Mas Gunung masih ingat suaraku, 'kan?"

Hening. Kemudian.... [Ini Ida?]

Ida tersenyum puas. "Iya, Mas. Benar, ini Ida. Ida, istri Mas Yunus."

[Ada perlu apa kamu menelepon pada jam ini? Tahu nggak, sekarang jam berapa? Apa nggak bisa telepon nanti saja pada jam wajar? Ini 'kan masih jam tidur.]

"Aku telepon karena nggak bisa tidur. Aku penasaran, Mas. Aku perlu jawaban dari Mas Gunung dan Mbak Ayu sekarang juga."

Terdengar penerima telepon mendesah kesal. [Kalau kamu mau tanya soal anakmu, 'kan bisa...]

"Aku nggak akan tanya apapun soal anakku, Mas," potong Ida. "Tapi aku perlu tahu sesuatu. Dan aku maunya tahu malam ini."

[Ini sudah mulai pagi, Da. Bukan malam lagi.]

Namun Ida tak menggubris. "Apa benar, Mas Yunus sudah meninggal? Kalau benar, di mana kalian menguburkan jasadnya? Tolong jawab dengan jujur, Mas. Aku berhak tahu. kebenarannya!"

Penerima telepon diam tak bersuara. Sementara itu, Ida terus menunggu jawaban. Ida sudah bertekad, saat ini ia harus tahu, apakah benar suami yang dikiranya telah meninggal ternyata masih hidup. Kalaupun hidup, mengapa kakak iparnya tega membohonginya dan membiarkan ia hidup dengan hati merana sebagai janda? Ida ingin tahu alasan mereka.

"Jawab, Mas! Jangan diam saja!"

...*...

Matahari pukul enam kurang lima belas menit pagi mulai cerah menyinari kehidupan baru Kota Gudeg. Jalanan senggang berangsur ramai oleh kesibukan para pengguna jalan. Sebentar lagi bukan hanya pasar dan area kuliner pagi yang sibuk. Lalu lintas pun punya jam sibuknya sendiri. Tunggu saja kalau para pekerja, pelajar dan anak-anak kampus mulai berangkat, memenuhi panggilan tanggung jawab mereka selaku manusia pagi.

Tidak seperti biasanya, Ida yang mendeklarasikan diri sebagai manusia malam kini beralih jadi manusia pagi. Biasanya kalau jam belum menunjuk angka sembilan, mata Ida masih lengket. Paling pagi 8:30 lah dia bangun. Itu yang menjadi rutinitasnya selama belasan tahun ini. Namun, hari ini adalah pengecualian. Usai teleponnya dengan Gunung dini hari tadi, Ida bagai diguyur air es. Ia gemetaran dari kepala hingga ujung jari kaki dan kehilangan kata-kata. Pandangan matanya kosong seperti pikirannya.

Ida baru sadar sepenuhnya setelah mandi. Kini ia duduk di dalam taksi online kembali menuju tempat yang sudah dikunjunginya dua kali selama hadir di Yogyakarta. Tempat itu tidak lain adalah panti asuhan yang dikelola Dion.

Instrumental slow riang yang sengaja diperdengarkan sopir untuk mengiringi perjalanan pagi mereka nyatanya tak mampu mengusir kalut dalam hati Ida. Obrolan ringan dan sapaan sopir ditanggapi Ida sekenanya. Sopir pun akhirnya sungkan mengajak Ida berbincang. Jadilah mereka menjalani belasan kilometer yang tersisa dalam diam tanpa bicara.

Kondisi jalanan yang cukup lengang menjadikan waktu perjalanan sedikit lebih singkat. Kini mobil yang membawa Ida telah berhenti di seberang gerbang depan panti. Ida pun turun, masih dengan diam. Mobil pun berlalu meninggalkan Ida seorang diri.

Ida berdiri mematung. Matanya menyisir pelataran panti yang dapat dilihat sebagian dari tempatnya sekarang. Anak-anak kecil berseragam sekolah tampak berjalan meninggalkan panti. Ida juga melihat Dion, sang pengelola panti, berdiri sambil tersenyum ramah di dekat gerbang, di dalam area pelataran panti.

"Dadah, Bapak! Sekolah dulu yaaa!"

Anak-anak itu melambaikan tangan ceria usai mencium tangan Dion dengan tertib. Beberapa anak lainnya mengantri salim sambil bercanda.

"Eey, tali sepatumu lepas itu! Ayo, dibetulkan dulu, Nak!" Dion menegur seorang anak, tapi sepertinya tidak terdengar oleh yang ditegur. Anak itu sudah menjauh, berlari mengejar temannya sambil tertawa riang.

Dion adalah orang yang ingin ditemuinya. Untuk itulah dia kemari. Namun, Ida tidak berani mendekat. Malah, Ida cepat-cepat bersembunyi di balik tembok pagar yang mengapit gerbang panti, takut dirinya terlihat oleh Dion. Sejujurnya ia bingung, bagaimana nanti ia harus memulai pembicaraan dan menanyakan hal-hal yang ingin diketahuinya.

Setelah semua anak pergi, Dion pun berbalik. Ia mulai berjalan memasuki teras panti. Ketika itulah Ida memberanikan diri menyusul Dion.

"Pak? Pak Dion?" panggil Ida dari arah belakang.

Mendengar namanya dipanggil Dion pun berbalik. Ia terkejut melihat Ida yang berjalan mendekatinya. "Bu Ida? Pagi-pagi kemari. Apa ada lagi yang tertinggal di sini?"

Ida tersenyum gugup. Lalu katanya, "Pak Dion? Baru sibuk, nggak?"

"Eemm," Dion menjawab ragu. "Ada apa, ya, Bu? Nampaknya penting sekali."

Dari dalam tasnya dengan tergesa-gesa Ida mengeluarkan dompet. Itu dompet yang pernah tertinggal di panti dan baru kemarin ia ambil kemari. Dompet itu dibukanya cepat-cepat. Selembar foto lama berukuran kecil ia keluarkan dari dalam dompet. Foto itu adalah satu-satunya foto yang wajib ada di dalam dompetnya dan belum pernah sekalipun ia keluarkan dari sana. "I-ini, Pak!" Ida menyerahkan foto itu kepada Dion untuk dilihat.

Dion menerimanya penuh keheranan. "Apa ini, Bu? Foto? Ini foto. Punya siapa, Bu?" Dion mengernyit bingung.

"Itu foto dua puluh tahun yang lalu, Pak. Menurut Bapak, ... orang di foto ini... mirip siapa?"

"Maksud Ibu?" Ditanya begitu, Dion bertambah bingung. Langsung diamatinya foto di tangannya. "Emm, orang ini... mirip dengan.... Ah, tidak, tidak. Bukan mirip. Ini memang dia. Yunus. Orang yang kemarin kita bicarakan. Ibu dapat foto ini dari mana? Bu Ida dengan Yunus, maksud saya Pak Yunus, teman lama? Dari desa nelayan juga?"

Ida tercengang. "Hah? J-jadi, d-dia memang Yunus yang ku kenal?"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!