Byan, seorang pria yang memiliki mimpi, mimpi tentang sebuah keadaan ideal dimana dia membahagiakan semua orang terkasihnya. terjebak diantara cinta dan sayang, hingga terjawab oleh deburan laut biru muda.
tentang asa, waktu, pertemuan, rasa, takdir, perpisahan.
tentang mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arief Jayadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tentang Asih (3)
"mas... mas... bangun" ujarku pada mas Byan yang terlelap di dalam mobil
tidak ada respon, aku membuka pintu mobil dan mengguncangkan sedikit bahunya. badannya terjatuh lunglai lemas kearah ku.
"maaas............ " aku mulai khawatir, wajahku memucat.
Tubuh mas Byan dingin, ada keringat di sekujur tubuhnya, tapi suhunya dingin. Aku berteriak, sampai Cici dan beberapa karyawann boutique dan orang sekitar menengok kedepan boutique milik cici. mereka berhamburan ke arahku. sementara aku hanya bisa memeluk mas Byan, berusaha menghangatkan tubuhnya, sembari menangis ketakutan, aku merasakan sedikit nafas dari hidungnya, sesaat sebelum tim medis datang dan memisahkan aku dan mas Byan. Dia di tangani dan di bawa segera ke IGD Rumah Sakit swasta terdekat. seketika aku dipisahkan dari mas Byan, aku pun turut kehilangan kesadaran. Aku lunglai, aku lemas, aku takut, nampaknya semua perasaan didunia ini ada padaku saat ini.
saat aku terbangun aku masih di boutique milik cici, aku langsung bangkit tanpa sepatah katapun pada orang orang disekitarku, aku mengambil kunci mobil mas Byan dan segera meluncur kesana. aku tidak sempat mengucap terimakasih pada cici, bahkan aku tak sadar ada ibu di sana menunggui aku, aku malah meninggalkan ibu disana. yang ada di pikiranku aku harus segera bertemu mas Byan, aku mengemudi bak kesetanan, aku harus segera ada di samping mas Byan. sesampainya di Rumah Sakit, ponselku berbunyi. Bapak, aku angkat, bapak langsung memberitahu bangsal dan no ruangan mas Byan, dan bapak juga menyampaikan bahwa ibu mas Byan juga sedang dalam perjalanan. kupercepat langkahku menyusuri lorong, yang dalam pandanganku sangat panjang, tak ada habisnya, dan semakin berubah menjadi gelap, air mataku kembali tumpah.
sesampainya di kamar, yang kudapati hanya kasur kosong dan bapak yang sedang duduk di sofa hitam, tertunduk dengan kedua tangannya menopang kepala Bapak. Aku berteriak histeris, bapak terkejut dan segera bangkit memelukku. aku menangis sekencang kencangnya. aku menolehkan wajahku kesana kemari mencari sosok mas Byan, sementara bapak terus memelukku dengan kencang, seperti ingin menjadi podasi agar aku tetap berdiri.
"tenang dulu!" tegas bapak padaku
"Byan masih di bawa perawat dan sedang menjalani Observasi lanjutan, dia sudah sadar, tapi masih lemas" lanjut bapak menenangkanku.
mendengarnya tangisku semakin kencang, bukan hanya karena lega, tapi juga karena aku merasa tolol, aku terlalu cepat mengambil kesimpulan, tapi memang aku takut, aku sangat takut. Bapak tersenyum kecil, karena bapak menyadari apa yang sedang aku rasakan, dan bapak pun menyadari betapa aku mencintai mas Byan.
"tenangkan dirimu, semoga nak Byan tidak mengalami sakit apa-apa dan hanya lelah" bapak berusaha menenangkan aku.
aku segera menyusul mas Byan di ruang periksa dokter, tapi ternyata mas Byan sudah di bawa ke ruang rontgen kata perawatnya
emosiku semakin memuncak, aku merasa di putar putarkan. tapi kecintaanku padanya menguatkan aku. sesampainya disana aku menemukan mas Byan yang sedang berusaha berdiri dari duduknya, di hadapannya ada dokter, mas Byan tersenyum kecil yang berusaha menutupi sesuatu, aku langsung saja berhambur padanya, memeluknya, tak ingin melepasnya. mas Byan meringkik entah kesakitan atau kegelian, jelas sekali ia tak ingin membuat aku khawatir. ia memang seperti ini, selalu menyimpan pedih hanya untuknya sendiri.
mas Byan duduk di kursi roda di dorong oleh suster, ia menggenggam tanganku yang berjalan di sisinya. matanya mengambang kosong. aku tak mau bertanya dulu ada apa, yang penting buatku saat ini aku telah melihat mas Byan dan ia tampak baik baik saja. Sesampainya di ruangan kamarnya, mas Byan bangkit segera dan tidak langsung naik ke tempat tidur rumah sakit, ia malah duduk di sebelah Bapak dan menyalami bapak seperti sedang tidak sakit.
"bagaimana nak Byan?" tanya Bapak, sementara aku masih melangkah mengambil minum untuk kuberikan kepada kedua lelaki istimewa di hidupku ini.
"Hanya lelah kata dokter Pak, harus banyak istirahat" jawab mas Byan dibarengi suara pintu yang terbuka.
Ibu mas Byan dan Ibu datang bersamaan, Ibu mas Byan langsung memeluk dan menciumi mas Byan, tampak sekali beliau khawatir, takut, sementara mas Byan cekikian seperti tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Tapi aku menyadari sesuatu, entah bapak dan kedua Ibu diruangan ini turut membacanya atau tidak, mas Byan tidak ingin kami khawatir dan ia sedang menutupi sesuatu.
selang beberapa waktu, orang tua kami undur diri, tinggal aku dan mas Byan di ruangan ini. Aku masih menungguinya baik secara sesungguhnya, pun dapat diartikan menanti ia berbicara jujur. Instingku sebagai wanita mengatakan ada sesuatu yang besar yang ia sembunyikan dari ku, dari kami. Tapi tampaknya ia masih belum mau mengawali, ia masih ingin tampak kuat, bahkan ia tak mau lama berbaring di tempat tidur, ia selalu saja bergerak seolah ingin menunjukkan ia tidak sedang sakit.
"Mas...orangtua kita sudah pulang, sekarang kau sudah bisa jujur saja padaku ada apa!" tegasku padanya.
mataku memburu mata mas Byan, aku ingin menangkap basah ia. aku ingin menangkap sinyal sekecil apapun yang menunjukkan bahwa aku benar. Bahwa ia sedang tidak jujur.
"tak ada apa apa, aku beneran sedang lelah saja." tangkisnya
lalu mas Byan bangkit dari sofa, menghampiriku yang berdiri di depan meja televisi, merangkulku, menciumku dan membisikkan kata yang selalu ia ucapkan kepadaku. sontak tubuhku bergetar, airmata yang sedari tadi aku simpan karena ada orangtua kami seperti pecah wadahnya, deru tangis ketakutanku memburu, aku balas memeluknya, aku mengikatnya tak ingin melepaskannya.
"aku takut mas, jangan seperti ini lagi!!"
pelukannya semakin erat menekan punggung dan kepalaku ke dadanya, tenaganya seperti ingin menegaskan ia sedang baik baik saja. Ia memang masih terlihat kuat, dan ia ingin menguatkan aku. Aku telah memilih lelaki yang benar, dan aku telah dipilih oleh lelaki yang benar.
*****
"tanpamu aku lemah, tapi aku lupa, dirimupun manusia yang bisa menjadi lemah"
*****