Alma, Si anak baru di Sub Bagian SDM Rumah Sakit Harapan Hati mendadak terkenal di hari pertama masuk kerja. Alasannya yaitu wajahnya yang mirip dengan dr Ilman, Si tampan dari poli anak. Tidak hanya wajah, nama mereka juga mirip, Alma dan Ilman.
Gara-gara ini, banyak yang mengira bahwa keduanya adalah saudara, padahal bukan. Adik dr. Ilman yang sebenarnya juga bekerja di divisi yang sama dengan Alma. Tapi, karena suatu alasan, dia tidak mau mengakui bahwa Ilman adalah kakaknya sendiri.
...
"Saya izinkan kamu buat pamer kalau kita berdua bersaudara. Kalau bisa, puji saya tiap hari biar pekerjaan kamu makin gampang.” - Ilman -
“Hahaha... Dokter bercanda, ya?” - Alma -
“Saya serius. Sombongkan saja nama saya. Bukankah bagus kalau kamu jadi adik dari orang yang jenius dan ganteng seperti saya?”
Dih! Bisa ya, ada orang senarsis dan sesombong ini. Dokter pula. Pasiennya tidak apa-apa, tuh?
Tapi, anehnya Alma merasa pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eggpudding, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Bom Kenyataan
Pada akhirnya percuma saja aku merasa khawatir. Karena, setelah menceritakan keluhannya, dr. Ilman kembali seperti semula. Mungkin dia sudah terbiasa dengan hal itu.
Buatku yang cukup awam dengan dunia kesehatan, aku tidak bisa membayangkan sebanyak apa kematian yang harus mereka temui hingga akhirnya menjadi biasa. Namun, setidaknya sebagian dari mereka tidak kehilangan hati.
“Mikirin apa, sih? Itu sotonya udah dingin, loh.” dr. Ilman mengingatkan.
“Eh, iya.” lirihku yang kemudian mengaduk lagi soto yang bentuknya sudah tidak karuan itu.
Akupun memakan soto ayam itu. Biarlah, toh sudah terlanjur beli. Masa dibuang? Kalau kata Mama, nanti rejekiku dipatok ayam.
Sekarang dr. Dinda sudah pulang ke rumahnya. Meski begitu, aku khawatir dengan keadaannya. Tapi, kata dr. Dinda, itu juga keadaan yang sudah biasa untuk seorang dokter.
“Untung saya bukan dokter.” ujarku.
“Hm… kalau kamu mikirnya begitu, berarti kamu masih naif.”
Aku melirik sebentar ke dr. Ilman.
“Pekerjaan apapun akan ada masa-masanya terasa berat. Ada orang yang gak mau jadi tukang bangunan, karena pekerjaannya berat dan kotor. Ada juga orang yang tidak mau kerja kantoran kayak kamu, karena dia gak sanggup duduk berlama-lama di depan komputer dan ruang ber-AC.” lanjutnya.
“Tapi, kan kerja kantoran gak sampe berhubungan sama nyawa orang lain.”
dr. Ilman juga menyantap makanannya, semangkuk bakso dan tempe goreng. Baru, setelah itu dia kembali berkata.
“Kata siapa? Kematian itu bisa terjadi di mana aja. Banyak loh, orang kantoran yang mati kelelahan atau cidera permanen cuma gara-gara ngetik.
“Jadi, sama kan? Yang penting kita ikhlas aja jalaninnya.” jelasnya.
Akupun manggut-manggut paham.
“Dokter hari ini bijak banget.” pujiku.
“Dari dulu juga bijak. Gimana? Mau jadi adik saya kan?”
Eww! Aku hampir lupa kalau orang ini punya kadar kenarsisan yang sangat tinggi. Aku jadi menyesal sudah memujinya.
“Dulu saya pernah tanya, tapi jawaban dokter gak jelas. Jadi, saya mau tanya lagi, ya.”
“Silakan!” ujar dr. Ilman sambil mengangkat alis.
“Kenapa sih, dokter ingin saya jadi adik dokter? Bukannya dokter punya adik sendiri? Atau… jangan-jangan karena saya imut?”
Gapapa narsis sedikit, yang penting masih wajar.
CTAK!
Dokter spesialis anak itu menjentikkan jarinya, lalu berkata, “Itu salah satu alasannya. Kamu itu imut banget, Dek.”
“Stop itu, Dok! Jijik dengernya.”
“Kamu jangan rendah diri gitu dong. Kamu emang imut, kok.”
Aku mendengus, kemudian menyanggah, “Saya bukan rendah diri, tapi ngerasa aneh aja. Soalnya muka kita mirip. Berarti kan dokter lagi muji diri sendiri.”
“Hehehe…” kekehnya.
“Lagian, kok kita mirip, ya? Saya sampe kebawa mimpi, loh. Di mimpi saya jadi adik kembarnya dokter.”
Seketika dr. Ilman menghentikan suapannya. Wajahnya mendadak begitu serius saat mata kami bertemu.
“Kamu ngimpiin saya? Apa di mimpi kamu, saya juga ganteng dan keren?”
Ngobrol sama monyet kayaknya lebih mudah daripada ngobrol dengan dr. Ilman. Bikin emosi naik saja!
“Ck! Saya tuh nanya serius loh dari tadi.”
Lagi-lagi pria itu terkekeh. Agaknya dia begitu senang mengerjaiku.
“Maaf, maaf. Oh, iya. Saya harus ke poli sekarang.”
Kulihat makanan di piringnya memang sudah habis. Waktu istirahat siangku juga sudah mepet.
“Dokter belum jawab pertanyaan saya loh!” kesalku.
Dia lalu menepuk ujung kepalaku dan berkata, “Kalau kamu mau tahu, pulang bareng saya nanti.”
Kebetulan aku memang tidak membawa motor, karena sedang diservis. Mama yang membawa motor itu ke bengkel.
“Oke. Tapi, dokter beneran harus jawab loh, ya!”
“Iya, iyaaa!” serunya seraya melambaikan tangannya padaku.
Kulanjutkan lagi acara makanku yang tertunda. Begitu habis, aku langsung kembali ke ruangan.
Saat akan duduk, kulihat secarik surat di atas menjaku dengan kop surat milik BPJS Ketenagakerjaan. Rupanya Mbak Lia memintaku untuk menggantikannya pergi ke acara yang diselenggarakan di salah satu hotel bintang tiga di kota ini besok.
Ini nih, yang paling kutunggu-tunggu. Sebelum ini, Hani lah yang diminta untuk tugas di luar. Beda instansi, sih -waktu itu yang mengundang adalah Dinas Kesehatan-. Lalu, saat pulang dia kelihatan bahagia.
Mana dikasih uang saku pula! Padahal di sana dia juga sudah dapat makan siang. Sudah begitu, dia juga dapat mug sebagai souvenir. Kan lumayan! Kan aku jadi iri dengki!
Betewe, guys. Ini tergantung anggaran yang ada di instansi tersebut, ya. Tergantung skala acaranya juga. Kalau besar, biasanya ada oleh-oleh yang bisa dibawa pulang, entah makanan atau souvenir.
“Omong-omong Hani ke mana, Mbak?” tanyaku saat tidak melihat si pemilik nama di mejanya setelah jam istirahat selesai.
“Gak tahu. Boker kali.” jawab Mbak Lia asal.
Dilihat dari cara bicaranya, bisa dikira-kira kalau Mbak Lia sedang dalam mode senggol bacok. Entah dia diberi tugas apa, tapi tangannya terus bergerak mengetik dan menggerakkan mouse, bahkan saat matanya tidak menatap layar. Jadi, sebaiknya aku tidak menanyainya dulu.
Hingga jam kerja berakhir, Hani tak kunjung menampakkan hidungnya. Pak Arif biasanya akan ngamuk kalau ada bawahannya yang pergi tanpa izin. Namun, sepertinya kali ini beliau tenang-tenang saja, yang artinya Hani pergi dengan izin.
Setelah mematikan PC akupun membereskan tasku seperti karyawan yang lain. Sesuai rencana, aku akan pergi menemui dr. Ilman sore ini.
Berdasarkan chattingannya, dia baru akan selesai praktik satu jam lagi sesuai dengan jadwal. Karena itu, aku dengan santai antri di lift karyawan yang selalu berdesakan di jam-jam pulang.
Lalu, saat sebagian besar karyawan di lantai ini sudah turun, barulah aku turun ke lantai terbawah.
Mataku memicing saat kutemukan sosok Hani yang tengah menunggu di kursi poliklinik tepat di depan poli anak. Sembari menunggu, akupun memutuskan untuk menyapanya.
“Kok di sini, Han? Kirain kamu udah balik.” tanyaku.
“Ini lagi nungguin dulu.” katanya.
“Kamu sakit?”
Dilihat-lihat Hani tidak pucat dan sepertinya juga tidak lemas.
“Bukan. Aku lagi nunggu orang sebelum balik.”
“Yang jelas bukan nunggu pasien juga!” sergahnya sebelum aku membuka mulut lagi.
“Oke. Oke. Betewe, dari tadi kamu ke mana? Kok gak masuk kantor lagi habis istirahat.”
Hani melipat tangannya di depan dada, kemudian berkata, “Mm… bentar lagi kamu juga tahu.”
Ini anak kalau tidak bicara ngawur, yaa main rahasia-rahasiaan. Mukanya yang suka senyum-senyum tidak jelas itu kadang membuatku geram.
Sekitar setengah jam kemudian, dr. Ilman pun keluar dari poli. Akupun sertamerta berdiri dan menghampirinya, begitu pula Hani yang tiba-tiba mengekoriku.
“Mau ketemu dr. Ilman juga?” tanyaku padanya.
Senyum Hani menjadi semakin lebar, seakan membenarkan rasa penasaranku.
“Ayo!” ajak dr. Ilman yang sudah berada di hadapan kami.
Kami berdua -aku dan Hani- mengikuti pria yang masih memakai snelinya itu ke parkiran. Sesampainya di samping tesla model Y warna merah milik dr. Ilman, aku langsung membuka pintu belakang. Tetapi, saat mau masuk, tiba-tiba Hani menghalangi dan masuk ke dalam lebih dulu.
“Duduk depan aja, Al!” suruh Hani sambil meregangkan kakinya hingga tidak tersisa sela kursi di bagian belakang.
Memangnya boleh begitu? Kok berani banget? Jadi ingin selonjoran juga, nih.
“Sana! Sana!” paksa Hani.
Terpaksa akupun duduk di kursi depan samping pengemudi. Dan tak lama kemudian, mesin menyala.
Mobil pun melaju keluar rumah sakit. Lalu, begitu masuk jalan besar, dr. Ilman mulai berbicara.
“Siang tadi, kamu kan tanya kenapa saya ingin kamu jadi adik saya. Akan saya jelaskan sekarang.”
“Tunggu, Dok! Ngomongnya harus di depan Hani banget?”
“Iya.” sahut dr. Ilman santai.
Hani yang merasa terpanggil pun memajukan kepalanya. Wajahnya masih senyum-senyum menahan tawa seperti tadi. Apa menurutnya ini lucu? Atau memang dia senang tersenyum? Aku tidak tahu yang mana arti senyumnya.
“Harus dong! Kan aku adik dr. Ilman yang beneran.”
HEH?!?