Di hari pernikahannya, Dion harus menghadapi kenyataan jika sang mempelai wanita kabur tanpa meninggalkan pesan. Tidak ingin menanggung malu di depan para tamu, dia mengingkan pernikahan itu tetap terjadi.
Menjadi tumbal atas kaburnya pengantin wanita, yakni kakak tirinya–Jessica, Meiska harus menjadi pengantin pengganti sesuai permintaan pempelai pria.
Ikuti kisah mereka hanya di NovelToon...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23. Tentang Harga Diri
Di ruang makan, Meiska menyajikan dua piring spaghetti schotel sebagai hidangan makan malam sekaligus teman untuk mereka berbincang, "Mau bertanya apa?" tanya Meiska saat dia dan pria di depannya sudah dalam keadaan santai dan siap untuk membuka perbincangan.
Tangannya menggulung pasta yang lumer karena keju yang menyelimuti permukaannya, sembari menunggu jawaban dari lawan bicaranya.
Tidak seperti Meiska yang terlihat santai dalam situasi itu, Dion terlihat gelisah dan ragu untuk mengungkapkan isi pikirannya. Dirinya butuh waktu bersiap untuk mengatakan sesuatu, "Ya, langsung saja tidak sudah bertele-tele, apa kau mengenal James?" tembak pria itu secara langsung apa yang ingin dia ketahui tentang hubungan Meiska dengan pengusaha yang satu itu.
"James yang mana?" tanya Meiska yang seketika menghentikan aktivitas mengunyahnya, dia segera menelan makanan yang belum tergilas sempurna di dalam mulutnya, ia dibuat hampir tersedak dengan pertanyaan spontan yang Dion lontarkan.
Jelas, garis-garis di dahi gadis itu muncul. Sebenarnya, Meiska malas membahas hal itu. Tidak ada tanda-tanda akan ditarik kembali pertanyaan itu, lantas, nafsu makannya seketika menguap, dan dia langsung berdiri dengan mantap dia melangkah keluar dari ruang makan itu meninggalkan sisa makanannya begitu saja. Meiska hanya melemparkan tatapan tajam tanpa berkedip, “Kau membicarakan hal yang tidak penting, aku pulang,” kata Meiska kesal.
Dia segera menarik tas selempangnya dan berjalan secara brutal dengan langkah kaki yang menghentak-hentak.
“Mei, tunggu!” Dion mengejarnya, meraih tangan gadis itu sebelum dia pergi dari hadapannya.
“Apa yang ingin kau tahu? Aku tidak suka diinterogasi seperti ini,” kata Meiska menatap sewot Dion.
“Ini bukan kali pertama kamu bertanya tentang satu nama itu, memangnya sepenting apa dia? Ku meintaku datang hanya untuk bertanya soal dia? Tidak lain karen aini menyangkut tentang bisnis dan urusanmu saja? Sama sekali tidak ada hubungannya denganku!” seru Meiska yang marah besar.
"Entah mengapa, aku merasa jika dia hanya ingin memanfaatkan aku untuk kepentingannya belaka bukan karena benar-benar ingin bertemu denganku," pikir Meiska.
“Bukan tentang dia yang ingin aku tahu, tapi…” ujar Dion terjeda.
“Lalu apa? Bukankah sudah pernah kujawab sebelumnya saat itu? Apa jawaban itu tidak cukup untukmu? Lalu, jawaban apa yang kamu ingin tahu tentangnya dariku?” tegas Meiska.
“Aku ingin tahu, siapa dirimu yang sebenarnya,” aku Dion menghentikan langkah Meiska.
Mendengar pengakuan itu, membuat tubuh Meiska melemas, "Apa?"
“Maksudku, bisakah kita saling mengenal lebih jauh, Mei?” tanya pria itu sekali lagi.
Wajah gadis itu pias, seperti ada rasa ketakutan dan pengharapan di saat yang bersamaan. Dia menatap pergelangan tangannya yang masih berada di genggaman pria dengan erat.
Matanya menatap intens pergelangan tangannya yang tidak kunjung dilepas, malah ia rasakan semakin erat di dalam genggaman pria itu.
“Boleh, Mei?” Tanya Dion dalam sekali anggukan.
Meiska merapatkan bibirnya, berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan yang sepele itu. Sebuah anggukan ia terima, “Jadi, ayo kita lanjutkan makan malam ini,” ajaknya merangkul kemali bahu Meiska untuk kembali ke meja makan.
“Kamu tahu, Mei?” ujar Dion memulai.
Meiska hanya mencermati dia yang sedang menghela napas, menunggu kalimat selanjutnya yang akan terucap dari bibir pria itu.
“Aku seorang pengangguran,” katanya.
Meiska mengangkat alisnya, seakaan bertanya, “lalu?”
“Ya, aku tidak punya pekerjaan. Meski uangku banyak di tabungan, tetapi tidak cukup jika untuk bertahan sampai seumur hidup,” tuturnya pilu, tetapi tidak membuat Meiska merasa iba sama sekali..
Lagi-lagi, Meiska hanya diam menunggu kalimat-kalimat selanjutnya yang akan tersampaikan tanpa perlu memancing pria itu untuk mengatakan hal lain dan yang lebih. Namun, bagi Dion, sikap diam Meiska membuatnya merasa tertantang untuk mengatakan semua yang ada di pikirannya.
“Dengan tega, kakek menggulingkanku dari perusahaan,” katanya lagi tanpa respons pasti dari gadis di depannya.
“Pada akhirnya aku yang berjuang dan aku juga yang digulingkan,” ucapnya sampai dia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi, sedangkan Meiska cukup menjadi pendengar yang baik dengannya yang menyibukkan diri menyantap pasta, tetapi matanya sesekali masih menatap si lawan bicara yang sedang berbicara masalah hidupnya. Layaknya anak yang sedang mengadu pada ibunya.
Mereka saling diam. Saling menunggu seperti apa respons selanjutnya. “Lalu?” akhirnya satu kata terucap dari mulut Meiska.
“Untuk itulah,aku tengah mencari solusi dari masalah ini. Pekerjaan, setidaknya ada sesuatu yang bisa kau lakukan.”
“Banyak,” tanggapan Meiska.
Seakaan mendapat angin segar, sesuatu yang diharapkan terucap dari mulut seseorang di depannya terucap juga. “Sudah kuduga, kau pasti tahu peluangnya,” kata Dion yang terlihat secerah itu.
“Peluang apa?” tanya Meiska terheran-heran.
“Connection, aku tahu Mei. Kamu bukan orang biasa, aku tahu kau pasti punya banyak relasi.”
“Hah?” Ekspresi gadis itu kian menjadi-jadi saat pria di depannya kini mulai bangkit dan duduk di sampingnya.
“Jadi, katakanlah. Aku harus mulai darimana?”
“Bicara yang jelas, aku tidak paham,” pinta Meiska.
“James, kau pasti mengenal dia kan? Kau pasti akan membantuku supaya bisa terkoneksi dengan dia, kan? Partner, aku bukan orang sembarangan.” Kata Dion.
“Maksudnya?”
“Ya, bagaimana caranya supaya dia bisa merekrutku menjadi tangan kanannya,”
“Jangankan tangan kanan, jadi cleaning service pun belum tentu diterima dan aku tidak bisa menjamin apa-apa,” kata Meiska yang berhasil menyurutkan semangat Dion saat itu juga.
“Mei?! Tadi kau mengatakan banyak peluang pekerjaan. Kamu bisa membantuku kan?” teriak Dion saat Meiska malah berjalan menjauh meninggalkannya dan berjalan ke arah wastafel membawa serta peralatan bekas makanannya.
“Kata siapa? Bahkan aku tidak tahu tentang lowongan pekerjaan atau interview dan semacamnya, aku bukan pekerja kantoran. Aku petugas katering asal kau tahu,” ucap Meiska.
Senyum yang semula sempat secerah bintang kejora di malam itu, kian lama kian surut dan makin murung.
“Aku tidak tahu dan tidak bisa membantu, salahmu sendiri keluar dari zona nyaman. Sudah bagus dan terjamin bekerja di perusahan keluarga, kenapa mesti mengundurkan diri?” kata Meiska sembari gadis itu menata peralatan makan pada raknya setelah sudah dicuci bersih.
“Kau tidak tahu rasanya saat harga diri diinjak-injak, Mei,” ucap Dion lirih.
“Lebih terinjak mana dari perasaan seorang istri yang melihat suaminya tidur dengan wanita lain di depan mata kepalanya sendiri, hem?” kata Meiska meski gadis itu berbicara dnegan nada suara yang renyah seperti gurauan.
Sementara itu, Dion, dia tertegun mendengar untaian kata yang terucap dari gadis yang sedang berdiri memunggunginya. Dia bahkan hampir terlupa siapa gadis itu, apa perlunya di sini, mengapa dia bisa menjadi dekat bahkan sempat curhat sejak tadi, dan satu hal lagi yang dia lupakan; lupa jika ternyata gadis itu berstatus sebagai istrinya.
Sebab jalan cerita, karakter, dll aku ubah. Bukan sekedar revisi kata. Tolong, jangan dilanjutkan baca sampai bawah, cukup yg sudah direvisi saja dan ini masih bertahap.